karsalakuna

Jun as Kana. Tzuyu as Larena.


“Kok cemberut?” tanya Kana sembari menyerahkan helm pada Larena. Kekasihnya itu tidak menjawab, dia malah mengambil helm itu dengan sedikit kasar lalu memakainya. Tanpa kata dia langsung menaiki jok belakang motor Kana.

Kana mengerjap bingung. Ia sedikitnya sudah sadar dengan apa yang membuat Larena bersikap demikian. Laki-laki itu kemudian kembali melajukan motornya.

Biasanya Kana akan langsung mengantarkan Larena ke rumahnya. Namun untuk hari ini, Kana malah merubah tujuan mereka. Motor Kana kini berhenti di parkiran taman yang pernah mereka datangi untuk piknik.

Larena belum turun, dia meremat jaket yang Kana kenakan. Dengan lemah dia berkata, “Aku mau pulang, Kak.”

Kana menyentuh lutut yang lebih muda. “Kita lihat danaunya sebentar, yuk? Kamu mau ditanya-tanya sama mama nanti?”

Larena menggeleng lalu menarik napasnya dalam-dalam. Ia melepaskan helmnya lalu menerima uluran tangan yang lebih tua.

“Sini, duduk di sini. Aku beliin es krim dulu,” ucap Kana. Laki-laki itu kini sudah kelewat hafal soal bagaimana ia harus menyikapi suasana hati Larena.

Tak membutuhkan waktu lama, Kana kembali dengan satu buah es krim cokelat. Ia menyerahkan salah satunya pada Larena dan perempuan itu menerimanya walau tidak seantusias biasanya.

“Mereka nyebelin lagi, ya?” tanya Kana, langsung pada intinya.

Larena mengangguk. “Iya! Aku tahu aku kelihatan curang karena aku yang pegawai biasa tiba-tiba diumumin sebagai calon pengganti pimpinan cuma karena aku anaknya yang punya perusahaan. Aku gak minta buat dilahirin jadi anaknya papa, aku gak minta buat dapet kemudahan posisi dalam bekerja, aku gak minta buat diangkat jadi pimpinan secepat mungkin. Mereka kenapa terus ngeremehin aku sih, Kak?”

Napas Larena yang memburu membuat Kana mengusap pundak kekasihnya. Ia memilih untuk tak berkata apa-apa dulu, membiarkan Larena untuk mencurahkan isi hatinya terlebih dahulu.

“Aku udah berusaha supaya dilihat layak. Mereka bahkan sampai bahas kalau papa pasti nyesel masukin aku ke perusahaan di depan papa sendiri! Papa udah bahas kalau dia yakin sama aku tapi para direksi itu—argh, nyebelin parah!”

Selesai mengucapkan itu, Larena menyuapkan es krimnya dengan rakus. Tidak ingin marah-marah pada Kana, kekasihnya tidak salah apa-apa sampai harus Larena jadikan pelampiasan.

“Gini loh, Dek. Sebenarnya kamu udah layak dan mereka iri sama hal itu,” ucap Kana.

“Mungkin iya, kamu dapat kemudahan karena status kamu adalah anak yang punya perusahaan. Tapi kamu juga berusaha dan gak terima itu mentah-mentah. Kamu belajar terus setiap hari dan sekarang lihat? Papa kamu udah sepenuhnya percaya sama kamu, sayang.”

Larena menatap pada Kana, bibirnya kini terlihat cemberut dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Nah begini, kalau Larena sudah ada di puncak emosinya dia akan menangis. Kana tidak menahan dirinya untuk memeluk perempuan itu.

“Kakak ... aku ... aku mau keluar aja—hiks. Aku mau kerja di bengkel kakak aja.”

“Jangan dong, masa cantik-cantik jadi tukang servis? Mending kamu di perusahaan aja, ya? Jadi orang yang punya nama besar dan bikin bangga orang tuanya.”

“Aku sebel banget, Kak. Kayak ... kenapa, sih, harus sampai segitunya? Kalau ... kalau mereka gak suka aku, kenapa harus dibawa ke setiap rapat?” Larena mengatakan itu sembari sesenggukan. Kana mengelus punggungnya, berusaha menenangkan kekasihnya itu.

“Mereka itu sebenarnya ngelakuin hal yang gak benar, Sayang. Kamu bilang ke papa kamu, pasti ada orang yang lebih layak buat jadi direksi. Gak papa disangka ngadu, tapi mereka udah gak profesional. Mereka udah gak bener kerjanya.”

Kana menjauhkan dirinya lalu menangkup sisi wajah Larena dengan kedua tangannya. Ibu jari Kana bergerak untuk menghapus jejak air mata yang lebih muda.

“Aku percaya kamu pasti bisa ngelewatin semuanya. Aku udah nyaksiin gimana Rendra sama Awan sebelum ada di posisi mereka sekarang. Terus sekarang kamu. Orang-orang di sekitar Kana tuh orang-orang hebat semua. Aku tahu kamu pasti bisa pimpin mereka dengan baik,” ucap Kana diakhiri dengan senyum meyakinkan.

Larena menggeleng walau gerakannya terbatas karena tangan Kana masih membingkai wajahnya. “Gak ... aku cuma anak manja yang ngerasa perlu dijaga terus-terusan. Padahal aku udah gede, udah kerja.”

Sebenarnya, jika ini Larena mengucapkan itu kala mereka sedang kencan. Mungkin Kana sudah menyerang pipinya dengan kecupan karena gemas. Namun karena Larena sedang sedih, Kana hanya bisa menekan pipi yang lebih muda. Membuat bibirnya jadi mengerucut lucu.

“Kamu kalau udah nenek-nenek pun, pasti bakal aku jagain terus, Sayang. Bukan cuma aku, sama semuanya. Papa sama mama kamu juga walau udah pisah tetap selalu berusaha jaga kamu sama-sama, 'kan? Mau umur kamu seberapa pun, mau kamu setinggi apa pun. Larena tetap layak buat dijagain.”

“Bahkan sekarang, Larena udah bisa jagain orang, 'kan? Kayak waktu itu, kamu jagain aku dari mantan-mantanku.”

Larena menyentuh sebelah tangan Kana, menggenggamnya ketika ia rasa tekanan di pipinya berkurang. Matanya kembali berkaca-kaca ketika mata mereka saling bersinggungan.

“Kakak ... makasih ... aku gak tahu kalau gak ada Kak Kana mungkin aku cuma bakal nangis semalaman.”

“Boleh, Sayang. Kamu kalau main sedih gak ada yang larang. Asal jangan lama-lama dan lakuin apa yang seharusnya, ya? Berani, 'kan, buat jujur sama papa?”

Larena mengangguk. “Harus!”

Kana tersenyum tipis, lalumengecup pipi kanan Larena. “Pinter, sayangnya Kakak.”

Setelah itu tubuh Kana kembali dipeluk oleh yang lebih muda. “Jangan cium-cium, kita masih di tempat umum. Ih Kak Kanaaaa!”

Kana tertawa, membalas pelukan Larena dengan sedikit erat guna melampiaskan kegemasannya. “Maaf-maaf, kalau sama kamu berasa dunia milik berdua soalnya.”

Yena biasanya dibangukan oleh alarm yang senantiasa berdering setiap paginya. Biasanya Yena akan langsung bersih-bersih, lalu membantu mama, makan, dan pergi ke sekolah.

Namun, hari ini berbeda.

Yena terbangun akibat tepukan pada pipinya, telinganya seakan tuli, dan pandangannya memburam. Ketika Yena bisa sedikit sadar, ia melihat Soonyoung yang menatapnya khawatir.

Yena bisa merasakan punggung tangan Soonyoung di dahinya. Kemudian abangnya itu bertanya, “Pusing gak, Dek?”

“Sedikit ...,” lirih Yena, “jam berapa ini, Bang?”

“Masih pagi, kok. Belum masuk jam 7,” jawab Soonyoung sembari merapihkan benda-benda di sekitar tempat tidur Yena. Mungkin adiknya itu ketiduran ketika tengah belajar semalam.

“Bang Oci, aku harus seko—”

“Diem. Sekarang ubah posisi lo, tiduran yang nyaman.” Yena menurut, dia bergerak dengan pelan dan membenarkan posisinya. Nada suara Soonyoung yang tegas membuatnya refleks menurut.

“Gue nanti bilang ke Yohan supaya apa yang didapetin hari ini, dikasih tahu juga ke lo. Izin sehari aja, oke? Daripada lo maksa sekolah dan gak bisa ikut ujian karena makin parah.”

Yena mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi? Apa yang Soonyoung ucapkan ada benarnya. Terlebih Yena senin nanti mengikuti ujian praktek, bukan tulis. Selain itu, ini juga sudah hari Jumat.

“Bagus, sekarang gue mintain ke Mama buat bikinin lo bubur. Belajarnya istirahat dulu, ya? Setidaknya sampai lo bisa ngelihat jelas lagi. Burem, 'kan, itu?”

“Iya,” jawab Yena dengan lemas.

“Jangan bandel. Gue mau bilang ke Mama dulu, sekalian ambilin lo kompresan,” kata Soonyoung lagi. Tadinya ia hanya disuruh mengecek karena Yena belum turun juga kalau mereka sudah berkumpul di meja makan.

“Iya, Bang.”

Soonyoung mengusap pelan pucuk kepala adiknya. “Gue gak suka keluarga ini sakit,” ucap Soonyoung pelan, nyaris bergumam.

Soonyoung tidak berkata lagi, dia berjalan dan menghilang di balik pintu kamar adiknya. Yena menatap pintu itu lekat.

“Tumben banget Bang Oci gak nangis lihat gue sakit,” ucap Yena pada dirinya sendiri.

Jika diingat lagi, mereka bertiga memang sama-sama pernah sakit. Namun, mungkin Yena lah yang paling lama penyembuhannya. Makanya Yena yang sakit menjadi ketakutan tersendiri keluarga ini. Itu juga alasan kenapa kedua kakaknya, terlebih Soonyoung sedikit protektif untuk kegiatan yang Yena lakukan.

Tak seperti ucapan Soonyoung tadi, dia tidak kembali ke kamar Yena. Pintu terbuka lagi cukup lama, menampilkan Seungyoun dengan nampan yang diatasnya ada semangkuk bubur dan segelas air. Yena juga yakin ada obat di sana.

Yena sekarang susah merasa dapat lebih fokus dibandingkan tadi. Mungkin tadi, efek baru bangun tidur juga.

“Kok malah Kak Yon yang ke sini?” Seungyoun tidak langsung menjawab, dia mendekat dan menyimpan nampan itu di atas laci kamar Yena.

“Abang lo yang satu itu,“—Seungyoun menyibak poni Yena, kemudian menempelkan sebuah plester demam di dahinya—”nyaris nangis, gak sanggup lihat lo lemah katanya.”

Seungyoun tersenyum tipis. “Gue juga sih, tapi kalau gak maksain, lo gak akan makan.”

”'Kan ada Mama,” jawab Yena.

“Mama udah ngurus rumah dari pagi buta.”

Seungyoun duduk di pinggir tempat tidur Yena. “Mau disuapin?”

Yena menggeleng. “Gue cuma demam, dan gue masih sanggup buat makan sendiri.”

“Anak baik, nih. Habisin loh ya,” ujar Seungyoun sembari menyerahkan buburnya. “Lo tidur jam berapa semalem?”

Gelengan yang Yena berikan membuat Seungyoun menyentil dahi yang lebih muda dengan pelan.

“Parah, padahal lo habis kehujanan.”

Bibir Yena mencebik, ia terlihat malas memakan bubur itu. Yena merasa mual di setiap suapan yang ia ambil.

“Gue mau ke sekolah lo, ngasih surat sama bilang ke Yohan.”

“Gak jadi Bang Oci?”

“Tadi pas mama masak bubur dia ke rumah Yohan, sih, tapi dia udah berangkat ke sekolah. Berhubung anaknya ada kelas pagi, jadi gue aja yang ke sekolah lo,” jawab Seungyoun sembari memperhatikan bagaimana Yena makan.

“Makan yang bener lo. Jangan kayak gitu, tega bener sama mama,” ucapnya.

“Perut gue gak enak, abang,” rengek Yena.

“Coba minum dulu, ini air anget.”

Yena menerima gelas yang Seungyoun berikan dan meminumnya. Tak lama setelah itu, pintu kamar Yena kembali terbuka. Menunjukkan Soonyoung yang sudah siap untuk pergi ke kampus.

“Gue mau berangkat,” kata Soonyoung dengan canggung sembari menghampiri kedua adiknya.

“Maaf, ya, gue gak bisa nemenin lo. Tapi mama bilang dia gak akan ke mana-mana kok,” ucap Soonyoung lagi.

“Oh iya, gue juga habis dari sekolah lo mau langsung ke kampus. Sorry, cuma bisa nemenin sebentar. Gue gak akan nongkrong beres kelas nanti,” sambung Seungyoun.

Yena menatap kedua abangnya bergantian. “Gak papa, Abkak. 'Kan, ada mama? Dia yang paling paham sama aku. Lagian nanti juga aku paling tidur terus.”

Yena berusaha melontarkan itu dengan nada bercanda, berharap saudaranya tak begitu khawatir dengan kondisinya. Namun, ucapan Yena barusan malah membuat Soonyoung dan Seungyoun semakin menunjukkan kekhawatiran mereka.

“Dek,” panggil Seungyoun tak seperti biasanya. Padahal laki-laki itu paling anti memanggilnya demikian. Panggilan itu membuat Yena sadar dengan perubahan raut wajah kedua kakaknya.

“Gak papa kalau mau tidur, silahkan buat pikiran sama tubuh lo untuk beristirahat. Tapi gue mohon, jangan tidur lama-lama kayak waktu itu.”

Sekarang, Yena yang mau menangis.

“Menurut lo, lagu ini masih bisa ditambah koreo gak?” tanya Aji pada Rasi.

“Terlalu slow, tapi masih bisa,” jawab Rasi setelah jeda beberapa menit untuk mendengarkan musik yang Aji putar dengan seksama.

Aji mengangguk paham. Tak berminat berkata apa-apa lagi.

“Contoh tariannya kayak gimana?” tanya Abas, memancing.

“Tanya aja ke koreografer kalian,” jawab Rasi lagi, kali ini terdengar lebih ketus.

“Loh? Kan, kamu yang bilang bisa. Koreografer kita belum tentu bilang gitu. Kamu gak mungkin bilang kayak gini tanpa ngebayangin tariannya bakal kayak gimana, 'kan? Jadi aku tanya sama kamu, contoh tariannya itu kayak gimana.”

Aji mendengus, sudah menduga kalau Abas akan terus memancing Rasi setiap ada kesempatan. Memancing bagi Abas, memojokkan bagi Rasi, sih, kalau sudah seperti ini.

Namun, siapa juga yang tak ingin tahu apa alasan adiknya berhenti dari hal yang dia sukai selama dua tahun?

Rasio berdecak dan berdiri. “Udah, 'kan, Ji? Gue mau balik.”

“Gih,” kata Aji, menghindari kegaduhan di studionya ini.

Rasi berdiri dan memasang tudung jaketnya untuk menutupi kepala. Laki-laki itu pergi tanpa berpamitan dengan orang lain yang ada di sana.

“Rasi jangan terlalu lo teken, Bang,” ucap Aji, kalau dia sudah memanggil Abas seperti itu tandanya dia benar-benar menekankan.

“Gue gak neken, ini udah mau dua tahun, Ji. Masa gue tetep jadi orang yang gak tahu apa-apa?”

“Eh ... terus gue gimana?” cicit Sena yang sedari tadi hanya diam di samping Ines. Rasi bahkan tak melirik ke arahnya sama sekali sejak laki-laki itu datang hingga pergi.

Aji, Abas, dan Ines melirik ke arahnya. Wajah Sena yang menunjukkan ekspresi polosnya membuat ketiganya menghela napas. Padahal dengan perdebatan tadi saja seharusnya sudah membuat Sena mengerti kalau Rasi tak ingin menari lagi.

“Rasi gak bawa kendaraan, lo kejar aja deh. Tahu halte yang deket sini, 'kan?”

Perkataan Aji itu membuat Sena mengangguk dengan antusias. Dia sempat berkata, “Oke, makasih kakak-kakak!” lalu berlari kecil menyusul Rasi.

“Gue kira bakal kapok,” ucap Ines, “ternyata masih ngebet.”

“Tapi kayaknya kalau niatnya cuma buat ikut DWP, Sena gak perlu maksa sama Rasi gak sih?” tanya Abas, menjadikan suasana di ruangan itu menjadi hening seketika.


Bis tujuannya akan datang 20 menit lagi jika sesuai dengan jadwal, jadi Rasi memasang earphone-nya kala menunggu di halte.

Ia memakai itu agar tak ada yang menegurnya. Walau kenyataannya Rasi tak begitu menikmati mendengarkan musik sekarang.

“Kamu gak mungkin bilang kayak gini tanpa ngebayangin tariannya bakal kayak gimana, 'kan?”

Rasi menghela napasnya, tanpa sadar jarinya membuka galeri yang sudah lama tak ia kunjungi. Rasi memutar satu video yang sudah lama berasa di ponselnya, video ketika ia masih aktif menari.

Dirinya yang menari dan latar musiknya sejenis dengan yang Aji perdengarkan tadi. Ketika video berdurasi dua menit kurang itu selesai, Rasi dikejutkan dengan suara seseorang.

“Aaa, this is so cool. Be my partner, please.”

Rasi tersentak dan spontan menciptakan jarak di antara keduanya. Entah terlalu fokus atau bagaimana, yang jelas Rasi tak menyadari kalau sejak tadi ia tak menonton sendiri.

“Astaga, maaf kalau bikin kaget, Kak Rasi.”

Alis Rasi menekuk, wajah orang di hadapannya tak begitu asing dan hanya sedikit yang memanggilnya dengan sebutan kakak. Terlebih orang ini membahas soal menjadi partner.

“Shena?”

Rasi menyesal, harusnya ia tak menyebutkan nama itu karena sekarang Sena menampilkan senyum lebarnya.

“Kak Rasi inget aku! Pasti kakak udah berkenan buat jadi partner aku di DWP, 'kan?!” kata Sena dengan menggebu. Terlihat sekali dia kesenangan karena namanya diingat oleh yang lebih tua.

Rasi berdecak dan mengalihkan pasangannya ke arah depan. Dengan datar dia berkata, “Jangan sok akrab.”

Sena menjadi cemberut seketika. “Kenapa galak banget, sih?! Tadi di studio Kak Aji juga kayak gini.”

Rasi tak menanggapi ucapan Sena itu. Dia pura-pura tak mendengar.

Sena mendengus, ikut menatap ke arah jalanan seperti yang Rasi lakukan. Perempuan itu memainkan kakinya sendiri, berusaha untuk mencari topik. Jika membahas soal kompetisi, ia yakin Rasi tak akan membalas.

“Kak Rasi tahu gak ada bunga yang gak boleh dipetik? Larangan itu ada undang-undangnya dan bisa kena sanksi kalau tetap ada yang nekat buat metik.”

Rasi masih diam.

“Bunganya biasa tumbuh di pegunungan, sekitar 1.700 sampai 2.700 meter di atas permukaan laut. Bunga ini juga disebut bunga abadi. Kak Rasi tahu gak nama bunganya apa?”

“Gak tahu.”

Walau terdengar ketus, Sena tahu kalau Rasi mulai tertarik dengan pembahasannya.

“Nama bunganya edelweis. Saya belum pernah lihat secara langsung, sih. Tapi dia memang cantik ... banget. Terus Kak Rasi tahu gak bunga edelweis ini maknanya apa?”

“Sesuatu yang abadi?” balas Rasi.

Sena mengangguk. “Betul, cinta abadi! Lebih tepatnya cinta sejati, sih. Cinta sejati, 'kan, perlu perjuangan, perlu kesungguhan buat mendapatkannya. Kayak bunga edelweis ini, buat dapetin dia kita perlu ke pegunungan dulu dan itu pasti bakal habisin energi. Setelah dapat pun, gak menghilangkan kemungkinan masalah pergi dari kita. Iya, 'kan, Kak? Namanya juga hidup.”

Rasi terdiam untuk beberapa saat. Dia ini ... kenapa bahas bunga terus, sih?

“Berarti kayak sekarang kamu bujuk dan sedikit maksa saya buat jadi partner kamu. Ketika saya jadi partner kamu pun, itu gak membuat kamu bakal langsung menang.”

Sena menatap pada Rasi dengan binar. “Kalau ini, beda lagi, Kak! Saya merasa tertantang buat bujuk Kak Rasi sampai mau jadi partner saya! Tapi jangan lama-lama juga, sih, Kak. Audisinya satu bulan lagi.”

Rasi mendengus, ia langsung berdiri ketika melihat bis yang sedari tadi ia tunggu.

“Kak, tolong pertimbangin lagi permintaan saya. Saya mohon,” kata Sena sembari ikut berdiri dan mendekat pada Rasi

Rasi tak membalas, wajah Sena total menjadi sendu. Ketika pintu bis sudah dibuka, Rasi tetap diam. Menunggu orang lain untuk keluar dari sana terlebih dahulu.

“Sana, balik ke studio Aji,” kata Rasi.

“Tapi, Kak—”

“Minta kontak saya ke dia, jangan DM lewat twitter lagi.”

Sena terdiam. “Eh–Kak ... jadi—Kak Rasi, tunggu dulu!”

Yap, Rasi tanpa berbasa-basi masuk ke dalam bis itu. Sena juga tak mungkin ikut masuk karena semua barangnya masih ada di studio tadi.

Namun, perempuan itu tak terlalu memikirkannya. Itu berarti Rasi membuka peluang lebih besar untuk Sena membujuknya, 'kan?

Dengan senyuman lebar dan tak acuh pada sekitar. Sena berteriak, “KAK RASI MAKASIH, SAYA TANYA TERUS SETIAP HARI NANTI.”

Rasi di dalam bis yang mulai melaju hanya bisa menundukkan kepalanya kala beberapa penumpang sadar kalau teriakan itu adalah untuknya. Namun, diam-diam dia tersenyum.

hoshi as edward. sana as anna. zoa as amy.

tw // accident , mention of death.

note ini 4k+ words, jadi tolong maklumi kalau ada kesalahan dalam pengetikkannya. Aku minta maaf untuk itu dan mengucapkan terima kasih untuk yang berkenan membaca ini. Enioy the ridez!


Saat Amy masih kecil, Edward adalah sosok ayah yang canggung dan Anna bisa memahami kenapa suaminya itu bersikap demikian. Anna tak pernah mempermasalahkannya, karena Edward tetap berusaha hadir agar peran ayah tak hilang dari masa kecil Amy.

Sewaktu Amy masih bayi, pernah sekali mereka diundang oleh atasan Edward untuk makan malam. Awalnya, Edward berpikir untuk tidak ikut saja karena ia rasa tak mungkin mereka membawa Amy pergi malam-malam. Namun, Anna berhasil meyakinkan suaminya kalau anak mereka adalah anak yang kuat.

Akhirnya, Edward setuju untuk tetap hadir di pertemuan itu. Lagipula Amy sudah bukan lagi bayi yang baru Anna lahirkan kemarin, anak itu sudah mampu untuk mendudukkan tubuhnya sendiri.

Sosok ayah canggung pada diri Edward di hari itu menghilang. Dia memastikan keadaan mereka berdua secara berkala, bahkan tak ragu untuk memangku Amy yang tertidur kala Anna harus menghabiskan makanannya.

“Pak Edward ternyata suami yang siaga, ya,” ucap atasannya yang membuat Edward tersadar dengan sikapnya sendiri.

“Saya percaya kalian berdua akan menjadi orang tua yang akan selalu anak kalian ingat bagaimana pun keadaan dia nanti.”

Hari berganti, tubuh Amy semakin lama semakin meninggi. Gerakan tubuhnya yang semakin lincah juga mulutnya yang mulai aktif berbicara. Perkembangan Amy tak pernah Edward dan Anna lewatkan sekalipun.

Yang pertama kali Amy panggil adalah Anna. Saat itu, seperti biasanya Anna tengah menyiapkan sarapan kala hari libur. Edward bernisiatif untuk kembali ke kamar, memeriksa apa Amy sudah bangun atau belum.

Begitu pintu dibuka, Edward dapat mendengar suara teriakan Amy dari dalam.

“Mi! Mi!”

Edward mempercepat langkahnya. Amy kecil terduduk di atas ranjangnya. Sadar kalau yang membuka pintu bukanlah orang yang ia panggil, Amy merangkak mendekati tepi ranjang.

Meski masih memproses karena ucapan Amy barusan, Edward tetap sigap dan berlari kecil agar anaknya tak jatuh. Laki-laki itu menggendong Amy dan bertanya, “Adek barusan panggil mami?”

“Miii,” balas Amy dengan gemas sembari menunjukkan giginya yang belum banyak tumbuh.

Edward menatap Amy dengan berbinar. Dia buru-buru membawa Amy keluar dari kamar mereka lalu menghampiri Anna yang masih sibuk memasak.

Anna, she called you. Waktu di kamar tadi,” ucap Edward dengan napas yang masih memburu. Anna terlihat terkejut, ia mematikan kompornya lalu mendekat pada dua kesayangannya.

Really?

Amy tersenyum kala sosok yang ia cari semenjak terbangun kini berhasil ia lihat. Anak itu berusaha meraih Anna, menunjukkan kalau dirinya ingin digendong oleh ibunya.

Anna menurut, mengambil alih Amy untuk ia gendong. Amy girang, ia tertawa membuat Anna dan Edward tersenyum mendengar itu.

“She loves you so much, Anna. Look how happy Amy is when she's with you.

Anna tersenyum lembut, yang kini ia rasakan adalah hangat. Anna mengelus rambut Amy yang sudah mulai memanjang.

“Kerennya anak mami gak nangis waktu bangun. Bener kata papi kamu manggil mami? Amy, nyariin mami, ya, sayang?”

“Mi!”

Mereka berdua menahan napas kala mendengar Amy mengucapkan itu lagi. Mata Anna tanpa ia sadari berkaca-kaca.

“Dengar, 'kan? She called you.”

“Amy sayang ... oh my god, Edward i just—huhu i don't know what to say.

Amy itu terlalu menakjubkan. Dia mampu membuat dua orang dewasa yang selalu bersamanya ini bahagia hanya dengan kata yang bahkan masih ia ucapkan dengan sedikit kesusahan. Bagaimana ia mampu untuk menghadirkan senyum di wajah keduanya tanpa perlu melakukan apa-apa.

Bukan hanya itu, Amy memberi kesempatan mereka untuk kembali belajar.

Selama Amy tumbuh dan berkembang, bukan hanya Amy yang belajar untuk segala hal baru yang ada di hidupnya. Edward dan Anna pun sama.

Mereka belajar bagaimana hal-hal baik dapat diterapkan pada Amy sesuai dengan usia anak itu.

Ketika Amy kecil, anak itu dibiasakan untuk berkata jujur dan mengakui perasaan serta kesalahannya.

Mereka menggunakan kalimat yang dapat Amy mengerti saat itu.

“Adek mau tahu sesuatu? Kita kalau bohong dan gak mengakui kesalahan, itu bisa bikin kita jelek mirip monster, loh. Adek emangnya mau jadi jelek? Kamu bisa aja dijauhin.”

“Papi sama mami juga bakal jauhin Amy?”

“Mungkin? Terlebih kalau adek sengaja bohong sama papi dan mami.”

“Amy gak mau ditinggal kalian, Amy gak akan bohong lagi. Amy minta maaf, mami, udah rusakin kue mami terus bohong.”

“Makasih banyak, ya, sayang? Bohong itu perbuatan buruk, sebisa mungkin Amy harus menghindar, ya? Apalagi kalau Amy berbohong untuk menutupi kesalahan. Gak papa, tolong dipahami pelan-pelan, ya, sayang.”

“Iya, mami. Terima kasih karena udah maafin Amy.”

Beranjak remaja, Amy mulai berani untuk menanyakan banyak hal. Anak itu mudah penasaran dan tak mudah lelah. Banyak hal yang ingin Amy coba dan mereka berdua sebisa mungkin tak pernah menghilangkan peran untuk membimbing Amy.

“Papi, aku penasaran gimana caranya main skateboard. Aku boleh belajar sama Kak Michael gak?”

“Mami, hari ini aku sama anak teater lain diskusi sama reading. Seru deh, Mi, aku kebagian peran jadi ibu-ibu, haha!”

“Papi, kenapa gak pernah pusing kalau ngegambar? Papi ada tips-nya gak? Aku gambar pemandangan aja suka pusing.”

“Mami, aku mau nyoba jadi kasir di kafe ... kayak mami. Aku boleh coba gak, Mi?”

dan masih banyak lagi yang anak itu tanyakan pada mereka. Rasanya dulu setiap hari Amy seperti tak pernah kehabisan ide. Ada saja yang ia tanyakan setiap harinya.

Edward dan Anna tak pernah keberatan. Amy begitu menghargai mereka, ia tak pernah sekalipun tak melibatkan keduanya dalam sesuatu yang ingin ia coba.

Memasuki SMA, kala anak itu sudah mulai harus menentukan apa keinginannya. Kala Amy sudah berani untuk menyayangi lawan jenisnya. Mereka dihadapkan dengan posisi di mana Amy kebingungan untuk memantapkan pilihannya sendiri.

Sosok Sammy yang hadir dalam keluarga mereka tak pernah benar-benar Edward halangi. Anak itu sama dengan Amy, dia butuh dibimbing tapi tak tahu harus lari ke mana.

“Aku nulis tuh mau kayak papi aja. Jadi, dia bukan kerjaan utamaku. Aku mau masuk ke bidang kesehatan, tapi aku belum tahu profesi mana yang aku mau. Aku mau kepoin dulu satu-satu.”

“Boleh. Nanti papi bantu cari informasinya, ya. Kamu bisa tanya ke Tante Beby juga.”

“Iya, terima kasih, Papi. Maaf, ya, kayaknya aku labil banget sama tujuan yang mau aku ambil. Aku masih punya banyak hal yang mau aku coba sebelum benar-benar nentuin apa yang aku pilih.”

“Gak papa, sayang. Kamu masih mau nyoba dan kami paham itu. Masa muda tuh memang enak dipakai untuk nyoba banyak hal, jangan kayak mami yang dulu malah fokus cinta-cintaan. Manfaatkan dengan baik masa muda kamu, tapi ingat harus tetap positif, oke?”

“Okay! Kalau masa muda papi gimana?”*

“Papi juga gak banyak nyoba hal baru, My. Dulu papi banyak mikirin cara gimana caranya supaya papi bisa kuliah dan tetap makan.”

Ah ... kalau gitu, bilang sama aku, ya, kalau kalian punya sesuatu yang mau dicoba. Nanti kita coba bareng-bareng!”

“Makasih, sayang. Kalau Sammy gimana? Mami udah lama gak dengar soal dia.”

“Kak Sammy daftar kuliah di sini, Pi, Mi. Katanya kalau keterima, dia ngajakin aku untuk pacaran.”

“Amy mau pacaran sama Sammy? Amy sayang sama dia?”

“Aku sayang ... tapi aku belum mau pacaran. Aku merasa masih kecil, masih butuh kalian. Aku rasa kalau pacaran aku melangkahnya kecepatan, Mi.”

“Kalau gitu, nanti bilang, ya, ke Sammy, sayang.”

“Tapi aku gak mau buat Kak Sammy sedih. Dia udah belajar lama dan secara gak langsung hal itu jadi motivasinya Kak Sammy juga, Mami ....”

“Ini ada di luar kota, Amy. Kamu masih yakin mau pacaran sama Sammy?”

Amy merasa bahwa ia mendapatkan banyak hal dari kedua orang tuanya. Untuk menjadi Amy yang mampu berdiri di depan kelas tanpa perlu khawatir, tak pernah lepas dari peran keduanya.

Bukan hanya Amy yang merasa demikian. Edward dan Anna merasa diberi lebih oleh Amy.

Amy's birth gave them a new life. Being a parent, being a father and mother, being a friend, being everything for Amy.

Things they will always be grateful for.


“Ini sudah semua, 'kan, Na?” tanya Edward sebelum benar-benar menyalin file yang Anna buat ke dalam flashdisk-nya.

“Udah, Ed. Kecuali kamu mau nambahin fotonya.”

“Enggak, dari kamu udah cukup.”

Cukup lama sebelum Anna mendekat pada Edward. Perempuan itu memegang kedua pundak suaminya, ikut melihat pada layar laptop kemudian bertanya, “Selesai?”

“Hm, selesai,” jawab Edward seraya memejamkan mata karena Anna mulai memijat pundaknya.

“Edward, saya sebenarnya sedang penasaran akan sesuatu. Tapi saya gak mau memikirkannya.”

Edward mendongak, untuk menatap pada istrinya. “Tell me.”

Anna menarik napasnya. “Kalau kita gagal menemani Amy sampai dia menemukan pijakan barunya. Kira-kira antara saya atau kamu, siapa yang akan lebih dulu meninggalkan Amy?”


Mata Amy berbinar kala melihat lembaran foto yang baru saja Edward cetak. Ayahnya itu baru kembali dari luar dan membawa pulang puluhan foto bersamanya.

Foto-foto itu seperti bukti bagaimana Amy tumbuh bersama mereka berdua. Foto Amy kecil dengan mahkota di atas kepalanya, foto mereka bertiga ketika Amy masih butuh untuk digendong, foto mereka saat tertawa, foto yang semakin lama menunjukkan tubuh Amy yang mulai menyusul Anna. Bahkan di antara foto-foto itu, ada satu foto antara Amy dan Sammy.

“Wah ... fotonya banyak,” ucap Amy ketik Edward selesai mengeluarkan semuanya dan meletakkannya di atas meja.

Anna mendekat pada mereka, ikut bergabung dengan duduk lesehan melingkari meja. Ia mengambil satu foto dan mengamatinya, lalu berkata, “Hasilnya lumayan.”

Edward mengangguk setuju. “Yap, rekomendasi Evan gak pernah salah.”

“Amy, kamu tahu gak waktu foto ini kamu susah banget disuruh tidur. Padahal udah hampir tengah malem, tapi kamu masih ajak papi sama mami buat main kejar-kejaran,” ucap Anna sambil menunjukkan foto yang ia ambil barusan pada Amy. Foto di mana ada mereka bertiga yang tengah tertawa dengan memakai piyama masing-masing. Foto saat Amy sedang aktif-aktifnya berlari.

“Aku kayaknya dulu bandel, ya.”

“Usia segitu memang lagi aktif-aktifnya, Sayang. Terlebih waktu itu memang pas tahun baru, jadi di luar berisik sama suara kembang api. Kamu mau tahu gak akhirnya gimana?”

“Gimana, Mi?”

“Kita semua ketiduran di sini ujungnya. Mami sama kamu di sofa dan papi tidur di bawah,” ucap Anna diakhiri dengan tawa membuat Edward dan Amy ikut tertawa karenanya.

Amy mengamati satu per satu foto yang ada di atas meja itu. Ia kemudian mengambil satu karena latar fotonya yang familiar walau terlihat berbeda. Di foto itu ada Amy kecil yang digendong oleh Edward, lalu Anna membawa tas yang Amy yakini berisi keperluannya.

“Ini di mall yang sering kita datengin, 'kan?” tanya Amy dan kedua orang tuanya mengangguk.

“Iyap! Ini pertama kalinya mami sama papi beraniin bawa kamu keluar dalam waktu yang cukup lama. Waktu itu atasan papi ngajak dinner dan tahu apa yang hebat dari kamu?”

Amy tentu menggeleng. Ia mana mampu mengingat kejadian saat umurnya saja bahkan belum satu tahun.

“Kamu sama sekali gak rewel, My. Biasanya kalau kita keluar lama, kamu sering rewel. Tapi waktu itu kamu seolah tahu kalau dinner-nya penting buat kelangsungan kerjaan papi. Kamu gak nangis sama sekali,” jawab Anna.

Anna menunjukkan satu foto lain di mana Amy masih kecil.

“Ini waktu kamu udah ngerti buat di foto. Lihat, kamu melet-melet di sini.”

Foto lain lagi.

“Ini waktu kamu ikut lomba dance bareng Celine dulu. Mami masih inget gimana kamu loncat waktu turun dari panggung saking girangnya karena menang. Untung kamu gak jatuh.”

Foto lain lagi.

“Ini waktu tahun baru di rumah nenek kemarin. Kita semua seneng waktu itu, semua keluarga kumpul dan rasanya seperti tetap ada di rumah.”

Foto lain lagi.

“Ini sewaktu kita main ke rumah lama papi. Lihat, papi gak mau senyum. Tapi kita tetap bangga karena papi mau berdamai sama masa lalu, iya, 'kan, sayang? “

Foto lain lagi.

“Dan ini, yang paling baru. Waktu kita dinner sama atasan papi kemarin. You look so beautiful, Dear.

Amy dan Edward mendengarkan dengan baik setiap apa yang Anna katakan. Perempuan yang berada di posisi nomor satu di rumah mereka ini menjelaskan dengan antusias. Binar matanya bahkan tak menghilang sama sekali kala menyuarakan pikirannya untuk semua foto yang ia ambil.

“Terus ini, anak mami dan seseorang yang nyaris jadi pijakan baru untuknya,” ucap Anna ketika foto antara Sammy dan Amy ada di tangannya.

“Sammy ... is he okay there?” Anna menatap pada Amy, meminta jawaban. Namun Amy menggeleng, ia belum berkomunikasi lagi dengan Sammy.

He had some problems there, mau gimanapun *it was a new place for him. But he says he is ready to fight them,” jawab Edward diakhiri senyuman tipis sambil melihat pada Amy.

Memberi isyarat pada anaknya, bahwa tak apa jika ia tak mengetahui kabar terbaru dari Sammy. Amy tak perlu merasa bersalah untuk itu.

“Oh, syukurlah. I will message him later.

Edward hanya mengangguk.

Mata Amy kembali mengamati foto-foto itu. Semakin lama, ia semakin melihat dirinya yang tumbuh. Di setiap langkahnya, selalu ada Edward dan Anna. Selalu ada meraka berdua yang menemani juga mendampinginya.

“Ngelihat semua foto ini, i realized something,” ucap Amy membuat Edward dan Anna menatap padanya.

“Papi sama Mami gak pernah ninggalin aku. Kalian selalu nemenin aku di setiap perkembangan yang aku alami, di setiap hal baru yang aku coba, di setiap langkah yang berani untuk aku ambil.”

Amy berhenti sejenak, menatap keduanya secara bergantian. “I'm so grateful for that and I can't imagine how my life would be without you two.”

“Aku ... aku gak bisa hidup kalau gak ada papi sama mami.”

dan kalimat itu berhasil membuat Edward dan Anna merasa ditampar.


“Amy, yakin gak mau ikut?” tanya Edward sekali lagi, memastikan apa benar anak tunggalnya itu tak ingin ikut.

“Enggak, Pi. Aku besok ujian, takutnya malah lupa kalau dibawa jalan-jalan huhu. Lagian nanti di sana juga pasti ngobrolin hal yang gak aku ngerti!”

“Namanya juga lunch sama atasan papi.”

Anna menghampiri keduanya, perempuan itu sudah cantik dengan gaun hitam yang ia kenakan. “Kamu aja deh, Ed. Aku biar temenin Amy di sini.”

“Mami udah cantik, masa gak jadi ikut? I'm okay, kok, Pi, Mi. Lagipula nanti, Kak Celine sama Kak Tony bakal dateng. Aku gak akan sendirian.”

Edward dan Anna saling bertatapan sebelum akhirnya mengangguk.

Okay, tapi terus kabarin papi, ya? Papi gak akan offline,” kata Edward membuat senyum terbit di wajah Amy.

“Kalau perlu nanti aku hubungi kalian berdua sekaligus. Papi sama Mami, 'kan, cuma mau lunch di luar. Perginya juga sebentar gak akan selama dinner. Kalian gak perlu sekhawatir itu ninggalin aku sendiri seolah kalian bakal ninggalin aku selamanya.”

Edward dan Anna menahan napas mendengar itu. Edward tertawa canggung dan mengangguk.

“Haha, maaf, ya, sayang? Di mata kami, kamu selalu jadi puteri kecil. Tapi tetep kabarin papi, serius.”

“Siap!” balas Amy seraya membentuk pose hormat.

“Papi sama mami berangkat, ya, sayang? Hati-hati di rumah, papi sama mami gak akan lama-lama perginya,” ucap Anna seraya mengusap kepala Amy pelan.

“Iya! Papi sama mami juga hati-hati, aku nunggu kalian berdua di rumah.”

Edward dan Anna tersenyum tipis lalu Amy menyalami tangan mereka satu per satu. Anak itu tidak kembali masuk ke dalam rumah sebelum mobil yang Edward kendarai itu menghilang dari pandangannya.

Amy menghela napasnya dalam-dalam sebelum berbalik, saatnya untuk kembali belajar!

Tidak lama setelah kedua orang tuanya pergi, Tony dan Celine datang sesuai rencana mereka. Walau hanya Amy dan Tony yang belajar untuk ulangan, Celine tetap bersedia datang untuk mengajari kedua sepupunya itu.

Mereka menghabiskan waktu cukup lama hingga sore hari datang. Amy melirik ke arah jam dinding lalu membuka ponselnya. Tak ada satupun kabar dari Anna atau Edward. Pesan terakhir Amy yang mengirim foto mereka bertiga pun belum dilihat oleh salah satu dari mereka.

Ini sudah cukup lama untuk sekedar lunch , 'kan?

“Kenapa, Cil?” tanya Tony sadar dengan perubahan raut wajah Amy.

“Papi sama mami belum pulang. Buat makan siang doang, ini kelamaan gak sih, Kak?”

“Mungkin mereka mau pacaran dulu, Amy. Mumpung kamu gak ikut,” balas Celine.

Amy meremas ponselnya yang masih menunjukkan ruang chat keluarganya tanpa sadar. “Kalau kayak gitu, papi sama mami pasti kabarin aku.”

“Habis baterai kali. Jangan mikir aneh-aneh, My,” ucap Tony yang membuat Amy malah menjadi berpikir aneh-aneh.

Papi sama mami ke mana? Kenapa belum pulang?

Kalian berdua suruh aku untuk selalu ngabarin, tapi kenapa kalian gak ngelakuin hal yang sama?

Papi, mami, aku nunggu kalian di rumah. Tolong pulang, gak papa terlambat juga. Asal pulang, ya?

Amy memejamkan matanya, berusaha menghilangkan segala pikiran negatifnya. Celine dan Tony paham dengan itu. Celine menyentuh pundak Amy, membuat anak itu kembali membuka matanya yang bergetar karena gelisah. Yang lebih tua berkata, “Napas baik-baik, My. Biar lebih tenang.”

Melihat Amy yang seperti ini, malah membuat keduanya menjadi ikut khawatir.

“Papi sama mami kenapa belum pulang?”

Ikatan mereka bertiga itu kuat. Tony dan Celine tidak bisa benar-benar mengelak kalau perasaan Amy tidak benar. Ketika Amy bersikap begini, mereka hanya bisa berharap kalau Edward dan Anna baik-baik saja.

Pintu rumah Edward tiba-tiba terbuka. Ada Evan di sana dengan napas yang terengah-engah.

“Papa, aku belum selesai,” ucap Tony, mengira Evan datang untuk menjemputnya.

“Bukan ... papa ke sini bukan buat itu,” ucap Evan lalu mendekat pada mereka berdua. Adik Edward itu berjongkok mensejajarkan dirinya dengan Amy.

“Barusan Om dapat telepon dari rumah sakit, My. Mereka ngabarin om soal papi sama mami kamu.”

Mendengar kata 'rumah sakit' serta kedua orang tuanya membuat perasaan Amy semakin dibuat gelisah. “Papi sama mami kenapa, Om?”

“Mereka bilang ponselnya hancur, tapi kartu nama papi kamu masih nunjukkin nomor kantornya. Rumah sakit nelepon mereka dan mengarahkan mereka buat hubungi Om.”

Mata Amy bergetar, dia merubah posisinya menjadi setengah berdiri. Tangannya mencengkeram kedua lengan milik Evan.

“Om, papi sama mami kenapa? Tolong ... tolong langsung kasih tahu aku.”

“Kecelakaan beruntun, mobil Edward sama Anna tepat di belakang truk yang jadi penyebab kecelakaan itu.”

Air mata tidak dapat Amy tahan setelahnya.

“Om ... ayo ke papi sama mami. Om—tolong.”

“Iya, ayo.”


Selama hidupnya, Amy tak pernah membayangkan sekalipun bagaimana jika Edward dan Anna tak ada di sekitarnya. Mereka tidak pernah absen untuk segala moment yang Amy lalui.

Edward dan Anna mungkin memberikan Amy banyak hal yang bisa ia terapkan dalam kehidupannya. Namun, mereka berdua tak pernah memberi tahu Amy bagaimana ia harus bersikap jika kedua orang tuanya tak ada.

Amy berjalan pelan memasuki ruangan itu. Amy pernah sekali memergoki bagaimana kedua orang tuanya saling memeluk dibalik selimut yang menutup hingga leher di sofa. Amy sering mendapati keduanya tertidur dengan wajah kelelahan mereka kala tengah melakukan pekerjaan di rumah.

Namun kini, Amy rasanya tak terbiasa melihat bagaimana dua pasang mata itu terpejam. Bagaimana wajah pucat dengan luka mereka setelah selimut putih yang menutupi hingga kepala itu dibuka agar Amy dapat melihat.

Kaki Amy rasanya lemas merasakan bagaimana tubuh dingin mereka karena darah yang sudah berhenti mengalir. Matanya sulit ia kedipkan karena tak menerima apa yang ia lihat sekarang.

“Mami ... mami tadi bilang kalau kalian gak akan lama perginya? Kenapa ... kenapa sekarang malah kayak gini?”

“Papi bilang papi bakal jagain aku sama mami? Sekarang gimana papi bisa jagain kami kalau masih tidur kayak gini?”

Amy mencengkeram kedua sisi tubuh ayahnya. Mengguncang tubuhnya, berharap mata itu bisa terbuka karena tak nyaman dengan ulahnya.

“Ayo, kalau mau tidur jangan di sini. Di rumah aja, sama aku. Ayo Papi, Mami, bangun! Kalian harus pulang, bukan malah tidur di sini!”

Celine maju, menahan Amy agar tak semakin mengguncang tubuh Edward yang dipenuhi luka. Amy memberontak, ia berhasil meraih tangan Anna untuk ia genggam.

“Mami, ayo... aku masih mau dibuatin kue cokelat. Gak papa kalau mami mau tambahin krim, aku bakal makan apa pun yang mami buat. Tolong ... tolong bangun, Mami. Mami sendiri yang bilang gak bakal lama perginya. Ini aku jemput kalian, ayo pulang—hiks

“Amy, udah,” ucap Celine pelan, berusaha menenangkan sepupunya itu.

“Aku sama siapa kalau kalian malah tidur di sini? Kalian bilang gak akan ninggalin aku sendiri... tolong ... tolong pulang, Papi, Mami. Please, please aku mohon, pulang ....”

Evan ikut mendekat. Mengusap pucuk kepala anak itu.

“Udah, Amy. Tolong ikhlasin, ya? Papi sama mami kamu udah tenang. Amy gak akan sendirian, masih ada kami semua.”

Amy menggeleng ribut. “Enggak, gak mau! Kalian semua tetap gak cukup kalau gak ada papi sama mami! Aku mau mereka, aku cuma mau papi sama mami. Om, tolong bilangin supaya mereka bangun. Di sini tidurnya gak enak, bangunin mereka supaya kita pulang dan tidur di rumah aja.”

Napas Amy memburu. “Aku ... aku gak mau ditinggal papi sama mami.”

Tubuh Amy melemas, hingga akhirnya ia jatuh terduduk. Semua orang yang di ruangan itu dapat mendengar bagaimana pilunya suara tangis Amy.

“Papi, Mami, ayo pulang ...,” katanya dengan lemah sebelum tubuhnya terhuyung ke belakang. Setelah menangis sejadi-jadinya, Amy kehilangan kesadarannya.


“Kalau kita gagal menemani Amy sampai dia menemukan pijakan barunya. Kira-kira antara saya atau kamu, siapa yang akan lebih dulu meninggalkan Amy?”

“Saya gak tahu, Anna. Gak ada yang tahu gimana takdir Tuhan bakal berjalan. Tapi kita bisa membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan itu.”

“Apa, Ed?”

“Kita harus memikirkan bagaimana caranya agar Amy bisa walau tak ada kita berdua. Setidaknya jika kita pergi nanti, Amy tak akan clueless. Dia tahu harus bersikap seperti apa.”

Amy terbangun kala mendengar suara ketukan pintu. Ia dapat merasakan air mata membasahi wajahnya.

Perempuan itu merubah posisinya menjadi duduk, lalu mengusap bekas air matanya. Sekarang ia sudah ada di rumah, ia tak tahu sudah melewatkan apa saja selama tak sadarkan diri.

Amy, 'kan, pingsan di rumah sakit? Kenapa sekarang ia sudah ada di rumah? Bukannya lebih baik ia dirawat sebentar hingga sadar di sana?

Ketukan pintu terdengar lagi.

“Amy sayang, udah bangun? Ayo makan malam.”

Mata Amy bergetar kala suara Anna menyapa pendengarannya. Dengan langkah yang terbirit-birit, ia mendekati pintu. Membuka kuncinya dan terdiam di tempat.

Ia melihat Anna, di depan matanya. Perempuan itu tidak pucat, tak ada juga luka yang menghiasi wajahnya. Masih menjadi sosok mami yang sering Amy lihat.

“Amy, are you okay?” tanya Anna khawatir karena ia dapat melihat jejak air mata di wajah anaknya.

“Mami?”

Yes, Dear?

Tangan Amy bergetar kala menyentuh pipi milik ibunya. Dia bisa merasakan hangat dari sana, ia tahu bahwa sosok di hadapannya adalah nyata. Amy memeluk tubuh Anna, meski bingung yang lebih tua tetap membalas pelukannya.

Amy melepaskan pelukannya, raut wajahnya kembali terlihat panik. “Papi, gak apa, 'kan, Mi?”

“Dia gak papa, papi kamu lagi nunggu kita di bawah. Kamu gak papa, 'kan, sayang?”

Amy tak menjawab. “Ayo ... ayo ke bawah,” ajak Amy seraya menarik pelan tangan Anna agar mengikutinya.

Edward menatap heran pada Amy yang melihatnya seolah ia adalah sesuatu yang tak nyata. Laki-laki itu menatap pada Anna meminta penjelasan, istrinya itu hanya mengendikkan bahu tanda tak tahu.

“Kenapa?” tanya Edward.

My dream—i'm so scared!

“Itu sih, papi bilang jangan tidur sore malah gak nurut.”

“Aku mimpi kalian pergi buat selamanya tanpa bawa aku. I'm scared, aku gak mau itu terjadi. I don't want to live without you two.

Edward dan Anna terdiam, mereka sekali lagi saling melemparkan tatapan. Edward menghela napasnya sebelum berkata, “But you need to be prepared for that, Dek.

No ... aku gak mau.”

“Kamu harus, begitu juga dengan papi sama mami. Kita gak tahu bagaimana Tuhan mengatur hidup kita termasuk batas kehidupan kita masing-masing. We can enjoy time together and at the same time we need to prepare ourselves without each other,” ucap Edward.

“Kamu tahu, Amy? Ketika seseorang pergi dari kehidupanmu, membiasakan diri tanpa dia bukan berarti kita perlu menghilangkan segala kenangan atasnya. Yang perlu kita hilangkan adalah perasaan terbiasa dengan kehadirannya. Kita gak perlu buru-buru, kita bisa pelan-pelan seraya menerima kehilangan dan ikhlas.”

Amy menggeleng keras. “Aku gak mau bahas ini, Papi. Tolong ....”

Masih segar dalam ingatan Amy bagaimana mimpinya tadi. Ketika sadar bahwa itu hanyalah mimpi, Amy tidak ingin mereka membicarakan soal kehilangan lebih dulu. Setidaknya, untuk sekarang.

“Ed, we can talk about this later,” ucap Anna, paham dengan perasaan Amy.

Edward menghela napasnya. “Okay. Besok ada undangan buat lunch sama atasan papi? Do you want to come, Dek?”

Amy menggeleng dengan cepat. “Aku ada janji sama Kak Tony dan Kak Celine buat belajar bareng.”

Okay, kalau gitu papi sama mami aja ke—”

No! Please, jangan ke sana. Aku gak mau ditinggal bertiga aja sama mereka. Aku mohon, Papi.”

Ini mirip dengan apa yang ada di mimpinya dan Amy tak ingin itu terjadi.

“Hmm.” Edward menatap Amy lekat, ia sepertinya menduga kalau ini pasti ada hubungannya dengan mimpi Amy. Untuk pertama kalinya, Amy sampai memohon seperti itu.

“Papi coba bicarakan dulu sama atasan papi, ya.”

Okay! Sekarang ayo makan, Papi, Mami.”

“Ayo, sayang.”

Amy hanya berharap, duduknya mereka bertiga di meja makan ini adalah nyata. Bukan hanya sekedar bayangan Amy saja.

Tuhan, Amy mohon. Tolong bantu aku jaga papi sama mami. Setidaknya buat sekarang, aku masih butuh mereka buat gapai mimpi aku, Tuhan. Aku mau mereka nyaksiin aku berhasil dengan mimpi aku.


Cast: Minghao x Chaeyoung.

TW : cheating


Hari itu hubungan mereka menginjak enam tahun. Jujur Chaeyoung tidak tahu kenapa bisa mereka bersama selama ini.

Sebelum dengan kekasihnya sekarang, riwayat cinta Chaeyoung cukup buruk. Belum ada hubungan yang ia jalin lebih dari tiga bulan. Lalu saat bersama Minghao, semuanya berubah. Hubungan mereka berhasil mencapai umur enam tahun, hal itu membuat Chaeyoung yakin kalau Minghao memanglah orangnya.

Minghao itu dulu kakak kelasnya, mereka kenal karena berada dalam satu ekstrakurikuler yang sama. Setelah itu, muncul beberapa kesamaan lain di antara keduanya. Semakin lama mereka semakin merasa nyaman, hingga tak terasa kini keduanya sudah sejauh ini.

Untuk perayaan enam tahun mereka, Chaeyoung akan memberi kejutan kecil. Sama seperti apa yang dirinya lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Ia tidak yakin apakah Minghao mengingat hari ini atau tidak. Yang jelas laki-laki itu belum memberinya pesan satu pun di hari ini. Berbeda dengan biasanya.

Hubungan mereka memang tidak terfokus pada bertukar kabar, setidaknya sekali dalam sehari saja mereka balas-membalas pesan dari masing-masing. Keduanya sama-sama merasa cukup untuk itu.

Chaeyoung mengambil ponselnya yang tergeletak di tempat tidurnya. Perempuan itu meringis kecil ketika hanya ada notifikasi dari group chat saja yang muncul.

Jarinya kembali bergerak mencari kontak Minghao. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menelepon laki-laki itu lebih dulu.

“Halo, Chae. Kenapa?” tanya Minghao langsung.

Chaeyoung tidak langsung membalas. Perempuan itu menarik napasnya panjang ketika telinganya menangkap suara bising di ujung sana. Minghao sedang dalam keramaian.

“Sibuk, Kak?” tanya Chaeyoung.

“Iya, aku diminta tolong buat jadi dokumentasi dadaian. Kamu kok gak datang, Chae?“

Ah, Chaeyoung baru ingat kalau hari ini ada acara di kampus mereka. Terlanjur lupa akhirnya Chaeyoung memilih untuk mengabaikannya. Lagipula sebentar lagi juga acara itu selesai.

“Aku lupa,” balas Chaeyoung.

“Kebiasaan, keasikan sama apa kamu hari ini?“

Chaeyoung memandang lukisan Minghao yang lagi-lagi dibuatnya sebagai hadiah perayaan hubungan mereka. Perempuan itu kemudian membalas, “Lukis.”

“Baiklah seperti biasanya, ya? Cha—eh aku dipanggil, aku sudahi dulu, ya, teleponnya?”

“Kak tunggu sebentar,” sahut Chaeyoung cepat agar Minghao tidak mematikan telepon mereka. Dia mengulum bibirnya, mempertimbangkan kembali pilihannya untuk menanyakan ini.

Ketika sudah yakin, perempuan itu berkata, “Kak, aku udah sering lukis Kakak. Kakak kapan lukis aku?”

“Okay, nanti aku lukisin kalau udah senggang, ya, sayang?”


Enam bulan berlalu, perayaan ulang tahun keenam mereka gugur. Minghao sama sekali tidak mengingatnya dan Chaeyoung tidak mau memperumit segalanya. Chaeyoung sadar, Minghao itu sibuk hingga bisa melupakan perayaan mereka—tidak seperti biasanya.

Lukisan Minghao masih ada di kamarnya, kadang perempuan itu mengajak berbicara lukisan itu. Meski ia tahu tak akan pernah mendapatkan balasan.

Dalam enam bulan ini, Chaeyoung merasa hubungan mereka mulai meregang. Minghao jarang mengabarinya bahkan kadang tak membalas pesan atau mengangkat telepon dari yang lebih muda. Chaeyoung menghela napasnya kala teringat kembali soal itu.

Apakah sekarang hubungan mereka tengah mencapai titik bosan?

“Hai, Chaeyoung!” panggil seseorang, membuat perempuan itu sontak menoleh ke asal suara. Tanpa sadar dirinya sudah melamun di halte bis, untung ada seseorang yang menegurnya.

Chaeyoung memasang senyum tipis ketika sosok Tzuyu mendekat padanya. Perempuan tinggi yang sudah lama berteman dengannya itu kemudian ikut bergabung menunggu bis datang.

“Chae, maaf kalau terkesan kepo. Tapi lo sama Kak Minghao udahan?”

Chaeyoung mengangkat kedua alisnya, matanya menatap jalanan dengan lekat.

“Enggak,” jawab Chaeyoung pelan,, ia terdengar ragu. Chaeyoung tidak yakin apakah hubungan mereka masih berjalan atau tidak.

Tentunya, itu hanya pikiran sesaat Chaeyoung yang mana mungkin ia suarakan.

“Kirain udah, soalnya lo berdua jarang kelihatan bareng. Mana tadi gue lihat Kak Minghao bonceng kating, gue lupa deh namanya.”

Chaeyoung diam dan tatapannya terlihat kosong. Hal itu tak luput dari pengamatan Tzuyu. Dia sadar pasti ada sesuatu antara Chaeyoung dan kekasihnya.

“Dia ngabarin lo?” tanya Tzuyu lagi karena Chaeyoung tak kunjung membalas.

Chaeyoung mengangguk sebagai jawaban. Dia tak ingin membuat Tzuyu khawatir dengan hubungannya dan Minghao.

“Syukurlah ... tapi saran gue lo lebih baik tanyain soal kating tadi.”

“Dia udah ngabarin itu, kok, Tzu. Mereka emang ada urusan,” balas Chaeyoung terpaksa berbohong. Jika Tzuyu tahu yang sebenarnya, ia tidak yakin dengan apa yang akan perempuan itu lakukan setelahnya. Chaeyoung takut Tzuyu menjadi nekat.

“Gimana pun kenyataannya, gue harus percaya dia, 'kan? Gue gak boleh asal berprasangka sebelum Kak Minghao ngaku sendiri.”

Meskipun bibirnya berkata seperti itu. Namun Chaeyoung tahu, kalau ia harus mempersiapkan diri tentang kemungkinan harapannya soal hubungan yang akan kembali dihancurkan.


Hubungan mereka mencapai tahun ketujuh. Sebelum melihat kalender, Chaeyoung bahkan baru menyadari kalau ini sudah terlalu lama semenjak mereka terakhir berkomunikasi.

Perempuan itu memandangi langit-langit kamarnya. Rasanya menyesakkan tapi ia kebingungan harus bersikap bagaimana.

Jujur, hubungan dengan Minghao bisa selama ini karena Chaeyoung mencoba untuk berubah. Chaeyoung yang dulu akan dengan mudah curiga hingga membuat hubungannya jarang bertahan lama karena ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh rasa tak percayanya.

Bersama dengan Minghao, setelah banyak topik keduanya bicarakan. Chaeyoung berusaha merubah pikiran dan sikapnya, ia menjadi lebih berhati-hati dan akan bertindak ketika sudah memastikan sesuatu.

Perempuan itu memejamkan matanya, merenung. Hubungannya dengan Minghao cukup berharga, apa yang ia lalui dengan Minghao selama ini akan menjadi kenangan baik untuknya.

Jika memang mereka tidak ditakdirkan untuk bersama lebih lama lagi. Chaeyoung tidak ingin perpisahan mereka terjadi disertai pertengkaran. Minghao adalah orang yang berharga untuknya dan Chaeyoung tidak ingin berpisah dengan laki-laki itu dalam keadaan yang tidak baik.

Matanya Chaeyoung terbuka, ia merubah posisinya menjadi duduk tegak. Sepasang mata Chaeyoung kembali ia arahkan pada lagi pada lukisan Minghao yang hingga saat ini belum pernah dilihat oleh objeknya.

Cukup lama Chaeyoung melakukan itu. Entah apa yang ada dalam kepalanya hingga perempuan itu berdiri dan bersiap-siap untuk pergi.

Ia dan Minghao perlu bicara.


Apartemen Minghao.

Tempat di mana Chaeyoung berada sekarang. Perempuan itu memandang pada pintu apartemen milik Minghao, lalu tanpa sadar mengeratkan pelukannya pada lukisan Minghao yang ia bawa.

Satu tangannya bergerak untuk menekan bel pintu. Tak membutuhkan waktu lama, pintu itu dibukakan oleh seseorang.

Bukan wajah Minghao yang menyambut Chaeyoung kala pintu itu terbuka. Namun seorang perempuan yang hanya Chaeyoung kenali wajahnya saja, tidak dengan namanya.

Perempuan itu menunjukkan raut ramahnya. “Cari Minghao ya?” tanyanya dan Chaeyoung mengangguk.

“Dia ada kok, silahkan masuk,” balas perempuan itu dan tersenyum hangat. Matanya melirik sebentar pada lukisan yang dibawa Chaeyoung sebelum memiringkan badannya agar Chaeyoung dapat masuk.

“Makasih, Kak.”

“Sama-sama, selesaikan apa yang perlu diselesaikan, ya. Minghao ada di kamarnya, kamu tahu, 'kan?”

Tahu.

Ia dan Minghao tak hanya satu bulan atau dua bulan, mereka sudah nyaris bersama dalam tujuh tahun ke belakang. Lalu orang ini bersikap seakan Chaeyoung adalah orang baru untuk Minghao.

Chaeyoung memejamkan matanya, kepalanya tiba-tiba terasa pening dengan kehadiran perempuan ini dalam kamar Minghao. Yang lebih muda menatap lekat dan bertanya, “Kakak siapa?”

“Pengganti kamu.”

Chaeyoung sukses dibuat terdiam dengan jawaban itu. Dia menatap tak percaya dan menggelengkan kepalanya.

“Gak mungkin ....”

Tidak mungkin Minghao akan sejahat ini padanya.

Chaeyoung dengan cepat mengambil langkah besar menuju ruangan di mana Minghao tidur. Perempuan itu masuk tanpa permisi dan ia mendapati Minghao yang menatapnya dengan raut terkejut.

Chaeyoung sadar, Minghao terkejut karena tidak menduga dirinya akan ada di sini. Perempuan tadi juga sikap yang kekasihnya tunjukkan barusan. Rasanya akan semakin menyakitkan jika Chaeyoung kukuh ingin mendengar langsung kebenarannya.

“Chae, kakak bisa—” Minghao menghentikan ucapannya ketika Chaeyoung tersenyum padanya, ia tak menduga yang lebih muda akan bersikap demikian.

Chaeyoung mendekat pada Minghao sambil berkata, “Aku tahu Kakak bosan sama hubungan kita. Selama ini hubungan kita memang terkesan biasa saja, anehnya kita bisa bertahan sampai sejauh ini.”

Perempuan itu menatap tepat pada mata Minghao. “Kakak orang berharga buatku, aku gak mau kita berdua punya kenangan buruk kalau bertengkar soal hal yang udah jelas aku lihat sendiri.”

Chaeyoung menunduk, menatap pada kaki mereka berdua yang bersentuhan. Sekali lagi, Chaeyoung mengeratkan pelukannya pada lukisan yang ia bawa. Lukisan yang mungkin akan menjadi barang terakhir yang akan ia berikan pada Minghao.

“Jujur, aku kecewa ... tapi aku bisa apa, Kak? Selama ini aku diam karena aku belum siap kalau kehilangan kamu, belum siap harus menjalani hari tanpa kamu.”

“Tapi ini udah lama sejak terakhir kali kita ngobrol. Udah lama sejak terakhir kali kita lihat wajah masing-masing. Aku sadar, aku udah cukup lana terbiasa tanpa kamu dan aku tetap bisa hidup walau kepalaku berisiknya minta ampun.

“Dari semua dugaan yang muncul di pikiranku. Aku gak nyangka Kakak bakal mendua ... ngerusak kepercayaan yang dulu kamu bilang susah untuk dibangun. Kakak bahkan berani untuk bawa dia ke sini, kalian bahagia, dan aku terpuruk dengan semua pikiran buruk yang ada.

Minghao tidak berkata, ia tidak akan membela dirinya. Karena apa yang Chaeyoung katakan itu benar. Akan menjadi lebih jahat kalau ia membela dirinya sendiri. Di sini, Minghao sadar kalau dirinya lah yang salah.

Chaeyoung memberanikan diri untuk menatap Minghao lagi. Senyum tipisnya kembali ia perlihatkan. Minghao ngerasa dirinya seperti ditimpa batu besar kala melihat senyuman dan mata yang berkaca-kaca milik seseorang yang sudah menemaninya dalam waktu lama.

Chaeyoung menyerahkan lukisan itu pada orang di hadapannya. “Tolong terima, Kak.”

Minghao dengan ragu menerimanya.

“Selamat tujuh tahun untuk kita, Kak Minghao. Ini hadiah dari aku, maaf karena lagi-lagi aku malah kasih lukisan. Maaf juga karena ini bukan lukisan baru, ini seharusnya aku kasih waktu kita enam tahun tapi karena Kakak gak ingat aku ragu buat ngasih ini.”

Senyuman yang Chaeyoung perlihatkan semakin lebar. “Ini lukisan terakhirku untuk Kak Minghao. Mulai besok, mari kita sama-sama jadi orang yang gak pernah saling mengenal, Kak.”

Chaeyoung tak ingin lagi berhubungan dengan siapapun yang sudah merusak kepercayaannya. Tanpa peduli kalau dulu Minghao lah orang yang memberi Chaeyoung pandangan berbeda dan berhasil menghancurkan ketakutannya soal kepercayaan.

Perjalanan yang pernah mereka coba ambil bersama, harus mereka hentikan secara paksa di titik ketujuh. Kini, baik Minghao atau Chaeyoung sudah kehilangan tujuan untuk bersama.

Gue sebenarnya berusaha keras untuk gak menaruh ekspetasi apa-apa tentang kedatangan Aru ke rumah malam ini. Soal lamaran yang selalu dilempar Monna dan Joan sebagai ledekan pun ... agak gak mungkin.

Pernyataan gue tentang perasaan aja jarang dibalas. Gimana bisa dia tiba-tiba datang melamar?

Memang gak ada yang gak mungkin, tapi gue juga gak mau terlalu berharap. Udah capek banyak sakit hati belakangan ini.

Bertemu dengan Aru, biasanya membuat gue gak perlu mikir harus gimana penampilan gue. Namun sekarang, entah kenapa gue pengen kelihatan berbeda. Apalagi ada papanya Aru juga.

“Aru sama papanya udah berangkat, Ci?” tanya mama ketika gue turun dan ikut bergabung dengan dia untuk duduk di sofa.

“Udah tadi ngehubungin Cici.”

Kepribadian Aru yang ceplas-ceplos membuat dia bisa dengan cepat akrab sama mama. Biasanya mama gak menyukai laki-laki yang bersama gue, tapi untuk Aru berbeda. Kalau boleh jujur, gue merasa aneh karena mereka bersikap seolah udah kenal lama. Padahal kalau bukan karena gue, mama sama Aru gak akan pernah saling melihat.

Suara pintu yang diketuk mengalihkan atensi kami berdua. Oleh karena itu, gue dengan cepat berdiri untuk membukanya. Sedangkan mama kembali ke meja makan, merapihkan makanan yang semua sudah ia tata.

Sesuai dugaan gue, itu adalah Aru dan papanya. Aru senyum canggung sedangkan papanya menatap gue agak aneh. Bagaimana, ya, menjelaskannya ... tapi beliau menatap gue seolah gue adalah luka dari masa lalunya.

“Silahkan masuk, Aru dan ... Om.” Gue berucap dengan canggung, bingung harus memanggil dia apa.

“Makasih, Ci,” ucap Aru dan dengan langkah yang lambat ia masuk ke dalam. Padahal biasanya Aru akan bersikap seolah ini adalah rumahnya dan tak ada yang mempermasalahkan hal itu.

Papanya masih diam di ambang pintu. Gue mau gak mau juga tertahan di posisi ini.

“Kamu yang namanya Rhiana?” tanya dia.

Gue mengangguk, jarang ada yang mengenali nama depan gue. Gue lebih akrab dipanggil Sashi atau Cici dibandingkan dengan Rhiana. Mungkin Aru yang ngasih tahu dia.

“Iya tapi lebih akrab dipanggil Cici.”

“Ah dari Sashi, ya?” Gue mengangguk sebagai balasan.

“Kamu tahu? Nama Aru itu Randi Arusha dan nama kamu Rhiana Sashi. Randi artinya serigala yang kuat sedangkan Rhiana itu ratu yang hebat. Arusha artinya matahari dan Sashi artinya bulan.”

Gue sedikit mengernyit mendengar itu. Kenapa dia tiba-tiba menjelaskan arti dari nama kami berdua?

Lalu ... kenapa dia menjelaskan seolah dia adalah orang yang memberi nama kami berdua?

“Nama kalian berdua itu cocok untuk anak kembar,” ucapnya meninggalkan tanda tanya besar dalam pikiran gue.

Namun, gue tak ingin bertanya lagi. Alhasil yang gue katakan selanjutnya adalah, “Mari masuk, pak.”

Dia menurut, menyusul Aru untuk masuk. Gue mengarahkannya menuju ke ruangan di mana meja makan berada. Di mana mama sama Aru berada.

Lalu ketika papanya Aru dan mama saling melempar tatapan, situasi aneh terjadi. Mama mengambil langkah mundur dan kepalanya menggeleng ketika papanya Aru berusaha untuk mendekat.

Gue melihat pada Aru karena tak mengerti dengan situasi ini. Aru cuma menunduk dan gue yakin dia mengetahui alasan kenapa mama mengeluarkan reaksi kayak gitu waktu lihat papanya.

“Harsha, tunggu.”

“Ka-kamu—be-berarti dia ....” Mama dengan susah payah berusaha untuk bicara. Ia menunjuk pada Aru dan papanya langsung mengangguk seolah bisa memahami apa maksud mama meski kalimatnya tidak tuntas.

Aru juga masih setia menunduk. Gue semakin yakin tentang dia yang tahu kenapa mama dan padanya bersikap seperti barusan. Di sini, cuma gue yang gak tahu apa-apa.

“Iya, dia Randi Arusha. Dia sudah besar, 'kan? Begitu juga dengan Rhiana,” ucap papanya Aru lalu menunjuk pada gue dan anaknya secara bergantian. Gue semakin bingung dengan situasi yang tengah terjadi sekarang.

“Mereka anak kita berdua, Sa.”

Gue terdiam. Kepala gue serasa dijatuhi batu besar ketika mendengar itu.

“A-anak?”

“Iya, Rhiana. Kamu dan Aru adalah anak kami berdua. Kalian di lahirkan di hari yang sama. Saya bersyukur masih bisa melihat kamu setelah dewasa seperti ini.”

Gue beralih pada Aru. Dia memejamkan matanya erat, seperti berusaha untuk tak mendengar semuanya. Aru tak menginginkan kenyataan ini, begitupun dengan gue.

Gue menarik lengan Aru. Lalu berusaha membuatnya supaya dia mau untuk melihat gue.

Gue ini si manusia yang masih menolak paham. Di antara semua kemungkinan tentang pertemuan malam ini, gak pernah terlintas sekalipun di kepala gue kalau kenyataan seperti ini yang akan gue terima. Gue gak butuh. Gue gak mau.

“Aru, jelasin ....”

Aru menatap gue dengan takut dan matanya yang bergetar. Lalu dengan pelan ia berkata, “Yang dibilang bapak itu bener. Kita saudara, Ci.”

Jika bisa, gue ingin meminta untuk tuli sejenak agar tak pernah mendengar kalimag itu dari Aru. Rasanya lebih sesak ketika Aru sendiri hang mengatakannya. Gue benci ... benci banget.

Setelah semua ini, setelah semua yang gue dapatkan dari Aru. Rasanya gue akan lebih menerima kalau dia menolak perasaan gue karena dia memang gak suka sama gue, bukan karena kenyataan kalau ternyata kita sedarah. Kenyataan yang benar-benar gak gue butuhin untuk gue ketahui.

“Lo tahu ini dari lama? Kalian sengaja kesini cuma buat bilang itu?” tanya gue lagi.

Aru tanpa menunggu lama menangguk. Ia yang enggan menatap gue membuat kepala gue terasa semakin penuh. Rasanya, gue siap untuk meledak kapan saja sekarang.

Gue mencengkeram jaket yang dipakai oleh Aru. Menatapnya dengan sengit. “Bilang kalau itu bohong, Ru! BILANG!”

Aru tetap diam, tak berani untuk menatap gue. Gue melihat pada mama, meminta penjelasan. Namun dia malah sudah menangis di sana dan papanya Aru ... gue belum punya alasan untuk gak membenci dia sekarang. Melihat reaksi mama, gue tahu kalau ini bukanlah mimpi di siang hari. Ini nyata dan ini menampar gue kelewat keras.

“Terus kenapa lo baru ngasih tahu sekarang, Arusha? Lo bisa bilang lebih awal dan GUE GAK PERLU NGERASA SAKIT KAYAK GINI!”

“KENAPA LO SELALU ADA BUAT GUE DAN NGEBUAT GUE BERGANTUNG SAMA LO? LO BAHKAN BIKIN GUE SAYANG DAN BERHARAP SAMA LO. LALU UJUNGNYA LO MALAH NAMPAR GUE DENGAN KENYATAAN INI?!”

“Kenapa, Ru? Kenapa ... hiks.”

Air mata sialan. Gue gak butuh Aru melihat gue dalam keadaan lemah lagi.

“Cici, maaf.” Suara Aru lemah. Dia terjatuh dan berlutut di hadapan gue.

“Ci, urang juga benci sama kenyataan ini. Urang benci harus ganti rasa sayang urang jadi rasa sayang seorang kakak. Perasaan lo itu gak sepihak, urang juga mau dan berharap punya hubungan sama lo.”

“Tapi bukan hubungan kayak gini yang urang mau.”

Iya, gue tahu. Bukan hubungan kayak gini yang kami berdua mau. Kenapa dunia malah jadi jahat dengan mengungkapkan kenyataan satu ini?


Rasanya aneh ketika ia bisa menyaksikan bagaimana awal pernikahan kedua orang tuanya. Edward dan Anna yang masih terlihat canggung, mereka berdua yang pergi jalan-jalan, sampai ada dalam fase malas-malasan di kamar setiap Hari Minggu.

Di sana, Amy jarang menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya bermesraan. Di sini, meski baik Edward atau Anna tak bermaksud. Namun, Amy terlalu sering kebetulan memergoki keduanya bermesraan.

Pernah di pagi hari ia melihat Edward memeluk Anna dari belakang ketika perempuan itu memasak. Lalu saat mereka menonton televisi, Anna kerap spontan dengan menyandarkan tubuhnya pada Edward dan diberi respon positif oleh yang lebih tua.

Amy sebenarnya maklum, mau bagaimana pun keduanya memang perlu banyak adaptasi dan baru bisa bersikap bucin begini ketika sudah menikah. Hanya saja ... tetap aneh.

Ini sudah cukup lama semenjak pernikahan Edward dan Anna. Namun Amy tak kunjung kembali ke sana. Padahal baik Edward dan Anna tak menunjukkan lagi sikap canggung mereka jika Amy tidak ada. Baik ada ataupun tidak ada Amy mereka tetap seperti dua orang yang menikah karena cinta.

Cukup menyaksikan bagaimana hubungan mereka berkembang. Bukan berarti Amy terus menerus melihat mereka yang bermesraan.

Satu Hari Minggu, rumah mereka kedatangan tamu. Orang itu datang dengan segala ketahuannya tentang sosok Edward. Ia membawakan ayam goreng yang memang dinikmati dengan baik oleh laki-laki itu.

Dia adalah Rhea.

Amy tidak mengenal siapa Rhea, ia tak pernah mendengar sekalipun namanya pernah terucap dari papi atau mami. Sejak kunjungannya yang tidak begitu lama di rumah, Anna menjadi sedikit berubah.

Amy beberapa kali mendapati perempuan itu melamun. Jika diperhatikan lebih pun, ketika Edward dan Anna bersama menjadi canggung kembali. Namun, Anna seperti memaksakan dirinya agar mereka bisa terlihat seperti biasa di hadapan Amy.

Tanpa sengaja pun, Amy pernah mendengar obrolan kedua orang tuanya.

“Kamu ... kalau ada sesuatu tolong bilang, ya? Biar saya tahu harus kayak gimana.”

“Edward, kita ini gak boleh ada masalah, 'kan? Amy bilang dia bisa ke sini karena kita yang di sana kayak orang asing kalau dia gak ada. Berarti kita harus tetap bahagia supaya Amy bisa pulang ke sana dan apa yang terjadi di masa depan pun bakal berubah.”

“Enggak, Anna. Ingat, 'kan? Saya bilang kita harus membiarkan semuanya mengalir. Kamu jangan menahan diri, jangan memaksakan diri untuk baik-baik aja supaya Amy bisa cepat pulang. Apa yang kamu pikirkan? Tell me.”

Amy menjadi paham. Mungkin keadaan kini malah menjadi lebih buruk karena yang dilakukan mereka seperti formalitas di hadapannya.

Puncaknya adalah ketika Rhea tiba-tiba menghubungi Edward. Di tengah malam. Hari itu mereka bertiga memang memutuskan untuk begadang.

Amy juga menjadi sadar kalau suara Rhea sama dengan suara yang pemiliknya sempat Edward telepon waktu itu.

Mereka bertiga mengobrol lewat panggilan video dan Amy hanya jadi pihak mengamati tanpa berpindah posisi sama sekali, ia tetap duduk di sofa berbeda dengan Edward dan Anna yang ada di tempat tidur. Sengaja, yang mengetahui keberadaan Amy hanya mereka berdua. Waktu Rhea datang pun, Amy diam di kamarnya.

Ketika obrolan itu menyisakan Anna dan Rhea karena Edward tiba-tiba pergi ke kamar mandi. Entah kenapa Amy merasa tidak enak.

“Kebelet, ya.”

“Mungkin?” balas Anna.

“Kamu mau tahu sesuatu gak, Na?”

“Apa, Kak?”

“Dulu sebelum aku pergi untuk kuliah. Aku sama Edward sempat membuat janji. Janjinya itu, Edward akan menunggu aku buat pulang dan kami akan kembali sama-sama.”

Amy mengernyit mendengar itu. Ia memandangi wajah Anna. Raut maminya yang semula cerah menjadi redup seketika.

“Nyatanya Edward ngelanggar janji itu,” sambung Rhea dengan tawa yang pahit. “Aku pulang dia sudah punya kamu. Aku gak tahu gimana ibunya Mikhael sama ibumu bisa ngebujuk dia supaya mau menikah sama kamu. Aku juga gak tahu kenapa kamu mau nerima dia.”

Jeda sebelum Edward kembali cukup lama. Amy tertahan di sana tanpa bisa bertindak apa-apa. Anna terus diam mendengar semua celotehan Rhea hingga ia sampai di batasnya. Tanpa kata-kata lagi, dia mematikan secara sepihak sambungan video itu.

“Mami ...,” cicit Amy pelan.

“Amy, boleh tolong ke kamar kamu? Saya butuh waktu sendiri.”

Amy menghela napasnya dan mengangguk. Dalam hati ia berharap tak ada pertengkaran hebat setelahnya.


Apa yang Amy harapkan tampaknya tak terjadi. Tidak lama setelah kejadian semalam, ketika Edward belum pulang ke rumah. Amy mendapati Anna tengah membenahi barang-barangnya.

Perempuan itu seperti akan pergi dari rumah ini.

“Mami, mau ke mana?” tanya Amy tapi Anna hanya meliriknya dan tak berkata apa-apa. Perempuan itu tetap melanjutkan apa yang tengah ia kerjakan.

Amy tak bisa diam lama-lama. Dengan cepat ia menghubungi Edward agar segera pulang.

Pertengkaran yang Amy harapkan tidak terjadi, pada akhirnya malah terjadi. Amy hanya diam di ambang pintu melihat mereka berdua yang saling melemparkan nada tinggi.

Badan Amy bergetar. Situasi ini amat menakutkan untuknya. Menyaksikan kedua orang tua bertengkar adalah hal yang paling anak-anak hindari.

“Enggak, Anna. Bukan itu yang saya mau. Bukan itu yang harus kamu pahami.”

“Lalu apa?! Kamu selalu diam dan ngehindar, Edward! Saya bingung kamu ini maunya apa!”

“Kita sudah lama menikah, kontak fisik di antara kita juga udah jauh—saya udah percaya sama kamu. Tapi kenapa saya masih harus tahu tentang kamu dari orang lain?!” Napas Anna sudah tergesa, ia mungkin sudah lupa bahwa Amy ada di antara keduanya.

“Saya pikir, kita bisa lebih baik, Ed. Saya pikir apa yang saya terima dari dia gak akan saya dapatkan dari kamu. Meski berbeda, tapi kalian sama-sama tak mau mengakui apa yang sebenarnya kalian rasain ke saya hanya karena terikat hubungan.”

Anna menjongkokkan dirinya dan menutupi wajah dengan kedua tangan. Bahu perempuan itu bergetar dan Edward tak bisa menahan dirinya untuk tak mendekat.

“Anna ... maaf.”

Kepala Anna menggeleng, menolak permintaan maaf suaminya itu. Edward memeluk Anna, meski sempat menolak tapi pada akhirnya perempuan itu membiarkan Edward memeluknya.

Cukup lama keduanya ada di posisi itu. Amy sedikit merasa lega karena setidaknya pertengkaran itu sudah terhenti. Mata Amy membulat ketika ia melihat tubuh Anna yang yang melemas.

Kalau saja Anna sedang tidak ada di pelukan Edward. Mungkin tubuhnya sudah membentur lantai yang dingin.

“Anna, astaga.” Dengan sigap, laki-laki itu menggendong yang lebih muda. Amy mengambil langkah, hendak menyusul Edward yang mungkin akan membawa Anna ke rumah sakit.

“Mami, Papi, tunggu aku!”

Belum sempat Amy menyusul Edward. Pandangannya sudah menjadi gelap seketika.


“Dek, bangun. Tadi katanya tadi mau turun di sini.”

Amy mengerjapkan matanya ketika merasakan guncangan di bahunya. Perempuan itu mengernyit ketika lagi-lagi ia berada dalam bis ini secara mendadak.

Amy menahan napasnya. Sekarang aku di masa yang mana kagi? batinnya.

Jujur, Amy sudah lelah. Ia benar-benar ingin pulang. Ia tak mau merubah apa pun lagi. Keadaan papi dan mami sekarang sudah cukup untuknya.

Maaf saya ngerepotin dengan ketiduran di sini. Terima kasih banyak sudah antar saya sampai kemari, Pak.”

AAmy berjalan santai untuk menuju ke rumahnya. Perempuan itu masih bertahan dengan rasa senangnya hingga tak menyadari kalau ada sesuatu yang berbeda dengan perumahan tempatnya tinggal.

Begitu sampai di depan rumah, gerak tubuh Amy terhenti. Pintunya sama dengan pintu yang Amy kenali, begitupun dengan catnya. Namun Amy tak mau banyak berharap.

Perempuan itu mengambil kunci dari saku jaketnya. Lagi-lagi ia terhenti, kali ini karena mendengar suara pagar yang dibuka. Amy berbalik dan ia melihat kedua orang tuanya tengah berjalan menuju ke arahnya.

“Tuh, 'kan, Ed. Dia bisa kok!” ucap Anna dan Edward hanya mengangguk lesu.

“Gimana naik bisnya, sayang? Papi kamu ini jadi lebay sampai izin pulang duluan. Jadi, mami minta anter ke minimarket deh biar dia gak impulsif,” ucap Anna sembari memberikan Amy tatapan yang lembut.

“Papi khawatir. Maaf, ya, kayaknya papi berlebihan. Jujur papi ikut excited tapi was-was juga kamu naik bis sendirian. Syukurlah sekarang kamu udah di sini,” sambung Edward.

“Kamu kok belum masuk, sayang? Lupa bawa kunci kah?” tanya Anna karena Amy tak kunjung memberi balasan untuk kalimat mereka sebelumnya.

Amy masih diam, menatap kedua orang tuanya dengan lekat. Matanya perlahan mulai berkaca-kaca dan itu tentu disadari oleh kedua orang tuanya.

“Amy, kok malah nangis?”

Aku tak langsung menjawab dia malah memeluk kedua orang tuanya itu. Anna dan Edward tentu bingung, tapi mereka tetap membalas pelukan Amy dan membiarkan anak mereka itu melampiaskan tangisnya.

Diam-diam mereka khawatir. Apa yang terjadi pada Amy selama perjalanannya ke sini?

Cukup lama, hingga akhirnya Amy menunjukkan wajahnya lagi. Menatap keduanya secara bergantian dengan hangat.

“Papi, mami,” panggil Amy, “I'm home.


Di sisi lain, Edward berusaha menghubungi Amy. Ia sadar kalau dirinya meninggalkan Amy sendiri di rumah tanpa berkata apa-apa. Namun tak ada satu pun balasan yang Amy berikan.

Setelah Anna kembali tertidur, laki-laki itu memutuskan untuk pulang sebentar sekalian mengambil baju karena Anna baru boleh pulang besok.

Laki-laki itu mencari ke seluruh rumahnya, tapi ia tetap tak menemukan Amy. Kamar yang selama ini Amy gunakan pun telah kembaliseperti tak pernah dihunib sebelumnya. Begitu rapi dan tak ada banyak barang.

Laki-laki itu diam di ambang pintu kamar Amy. Dia sedikit mencengkram gagang pintunya, matanya menatap lurus ke depan. Ia menyadari sesuatu tapi tak yakin bahwa itu adalah jawaban yang sebenarnya. Mau bagaimana pun Edward harus menunggu lebih lama untuk membuktikan hal itu.

“Mungkin benar ... Amy udah pulang,” gumamnya, “karena gak mungkin ada dua Amy di masa ini.”

Amy terdiam di depan pintu kamar kedua orang tuanya. Edward duduk di ujung tempat tidur dan Anna ada di depan meja riasnya. Maminya itu terlihat anggun dengan gaun putih dan rambutnya yang dibiarkan tergerai.

Amy bisa memahami kenapa Edward terpaku di tempatnya.

“Mami, papi,” panggil Amy dan hanya Anna yang melihat ke arahnya.

“Hai, sini sayang. Cantik banget anak mami pake itu,” balas Anna dengan senyuman lembut yang tak pernah hilang dari wajahnya kala berbicara dengan Amy.

“Kita mau dinner aja, Mi?” tanya Amy karena tumben sekali mereka makan malam di luar. Harus pakai baju formal pula.

“Kalau selesainya gak kemaleman kita bisa belanja dulu, Dek.” Yang menjawab malah Edward. Laki-laki itu berdiri dan merapihkan jas yang ia kenakan.

“Papi panasin mobil dulu, ya. Nanti susul, jangan lama-lama udah pada cantik soalnya,” ucap Edward.

“Eh tunggu, Ed. Ayo foto dulu,” ajak Anna.

Edward mengangkat sebelas alisnya. “Di sini?”

“Iya, mirror selfie.

Okay.

Anna tersenyum puas dan melihat pada Amy. “Kamu mau, 'kan?”

“Ayo, mami!”


“Syukurlah Amy gak rewel tadi,” ucap Anna lalu melihat ke arah Amy yang ada di gendongannya. Perempuan itu kemudian mengecup kedua pipi Amy secara bergantian.

“Anak mami, pinter, ya? Tahu kalau tadi diajak dinner sama atasannya papi, ya, sayang? Jadi, Amy gak rewel ... Amy anak baik.” Edward melihat interaksi itu tanpa sadar tersenyum.

“Mau langsung pulang?” tanya laki-laki itu.

“Boleh gak kalau kita belanja dulu? Kulkas udah mulai kosong, biar sekalian mumpung di mall.”

Edward mengangguk. “Boleh, kalau gitu sini Amy biar sama saya.”

Anna menurut. Amy kini beralih menjadi dalam gendongan Edward. Tanpa kata, Anna mengambil tasnya yang semula dipegang oleh Edward karena dirinya harus menggendong Amy. Sebenarnya ia tak masalah, tapi Edward tidak tega.

Amy tadi sempat tidur, tapi begitu mereka kembali berjalan bayi itu terbangun lagi. Amy memang tidak bisa tidur ketika yang menggendongnya bergerak apalagi sampai berjalan.

“Saya bisa bayangin kalau dia sudah lebih besar sedikit, kita akan mengejar dia di sini,” ucap Edward tiba-tiba disertai tawa kecil di akhirnya.

Mendengar itu, Anna ikut tertawa. “Masih lama, ya, sebelum Amy bisa jalan.”

“Iya ... tapi nanti pasti gak berasa lama. Kita mungkin bakal ada di posisi merasa Amy tumbuh terlalu cepat.”


Edward tidak terlalu sering menunjukkan raut wajahnya yang bahagia. Laki-laki itu jarang tertawa hingga terbahak-bahak, ketika sedang benar-benar bahagia pun dia hanya akan tersenyum lebar.

Seperti kali ini. Edward pulang ke rumah dengan senyuman. He smiles from ear to ear.

Tentu ini menjadi hal menarik baik untuk Amy atau Anna.

“Papi lagi seneng?” tanya Amy dan langsung diangguki oleh Edward.

“Iya, tebak dong apa yang baru dari papi?” tanya Edward sembari meletakkan ponselnya di atas meja. Dengan sengaja ia menaruh benda itu secara terbalik agar phone case yang baru ia beli dapat dilihat oleh dua wanita kesayangannya.

“Kalau bener hadiahnya apa?” tanya Amy, “biar seru ada hadiahnya dong, Papi!”

“Kamu lagi mau apa, Dek?”

“Jalan-jalan? Udah lama kita belum keluar lagi. Iya, 'kan, mami?” tanya Amy pada Anna dan langsung disetujui oleh maminya itu.

“Iya,” jawab Anna dengan antusias.

Edward tersenyum jahil. “Ya udah, kalau tebakan kalian bener minggu depan kita jalan-jalan.”

“Nginep juga semalam,” sambung Edward membuat Anna dan Amy merasa semakin antusias seketika.

“Jadi, apa yang baru dari papi?” tanya Edward lagi.

Anna dan Amy memandanginga dengan menyelidik. Edward merasa lucu hingga tak dapat menahan tawanya.

“Yang baru itu rambut!” jawab Amy dan Edward langsung menggeleng.

“Ini, 'kan, dari seminggu yang lalu juga udah dipotong. Tebak lagi.”

“Baju?” tanya Anna dan Edward lagi-lagi menggeleng.

“Ini kamu yang beliin buat aku loh, Na.”

Anna terkekeh. Baru teringat kalau baju itu dirinya yang beli.

“Apa dong, papi? Kayaknya gak ada yang baru! Papi mau tipu-tipu, ya?”

“Gak ada yang baru apanya, sih. Ini phone case papi baru. Masa pada gak nyadar?”

Keduanya terdiam begitu Edward mengangkat ponselnya dan memperlihatkan apa yang ia katakan. Gambarnya tetap harimau, yang berbeda hanyalah yang sekarang adalah white tiger.

Mereka sama-sama tidak berpikiran ke sana. Padahal jawabannya sangat sederhana.

“Yah ... gak jadi dong jalan-jalannya?”

“Iya, 'kan, kalian gak bisa nebak.”

“Papi ...,” rengek Amy. Anna hanya diam. Pasti Edward akan luluh hanya dengan Amy yang merengek. Lagipula Edward tak pernah asal berucap. Celetukan asalnya saja sering menjadi serius.

“Ya udah, ayo. Tapi kamu pamerin dulu case baru papi, ya?”

Okay!

Anna tertawa, Edward sudah cukup banyak berubah. Dulu ketika pertama kali membeli case yang bergambar harimau, laki-laki itu malu-malu menunjukkannya pada Anna. Sekarang ia malah minta Amy untuk memamerkannya.

Mereka sudah banyak berubah. Tak lagi seperti dulu.


“Wah, gambal halimau! HP pi ada halimaunya, Mi!” Amy yang sedang masa mempelajari banyak kata baru meski selalu gagal jika ada huruf 'r'-nya itu berlari kecil menuju Anna ketika berkata demikian.*

Edward di belakangnya mengikuti dengan langkah pelan. Laki-laki itu baru pulang, ia izin pergi sendiri di Hari Minggu ini. Lalu ketika pulang, Amy berkata seperti tadi.

Mata Anna dan Edward bertemu. “Kamu beli phone case?” tanya Anna.

“Iya,” jawab Edward pelan.

Anna menatap bingung. Tumben sekali Edward tak mau menatapnya ketika kondisi begini.

“Beli yang gambar harimau?”

“Iya.”

“Saya boleh lihat, Ed?” tanya Anna lagi dan dengan ragu Edward menunjukkan ponselnya yang semula ia sembunyikan di balik tubuhnya.

Anna tersenyum. Sebenarnya ia sudah mengira Edward menyukai harimau semenjak laki-laki itu membeli gantungan kunci di festival yang sempat mereka datangi dulu. Lalu dari wallpaper ponselnya hingga kini akhirnya dia mulai berani untuk menunjukkannya secara terang-terang.

Anna tak mempermasalahkannya, sungguh. Ia benar-benar menantikan Edward akan menunjukkan kesukaannya, tapi ia juga tak ingin memaksa. Makanya ketika saat ini tiba, Anna tak bisa untuk tak tersenyum.

“Bagus case-nya.”

Edward tampak tak menduga bahwa reaksi yang Anna berikan akan seperti itu. Dia kemudian bertanya, “Kamu gak marah?”

“Loh buat apa saya marah? Kamu suka itu, 'kan?”

“Iya. Maaf, pasti aneh banget, ya?”

“Enggak, Edward. Selama kamu gak kepikiran untuk melihara harimau asli, itu gak aneh. Saya malah seneng karena kamu udah terbuka soal apa yang kamu suka,” balas Anna.

Edward tersenyum lega. “Thank you, Anna.”

Hening agak lama. Keduanya bertatapan seraya melemparkan senyuman masing-masing.

Lalu ada Amy yang menarik ujung pakaian Edward, meminta perhatian. Dia berkata, “Ami ... Ami mau yang gambal lusa. Ada, Pi?”

Edward dan Anna tak bisa untuk tidak tertawa. Edward membawa Amy ke dalam gendongannya. “Ada, nanti kalau sudah waktunya Amy pegang ponsel, papi kasih.”


“Ayo, mau kemana lagi?”

Amy berhenti kala Anna mencegatnya. Anak yang belum lama ini masuk ke taman kanak-kanak itu berbalik, langkahnya lagi-lagi terhenti karena di sisi lain ada Edward yang berjaga.

“Amy dikepung!” serunya, “Amy harus tidur supaya gak ketahuan sama penjahat!”

Padahal ini hampir malam, tapi Amy tidak kunjung lelah. Ia malah mengajak kedua orang tuanya agar bermain kejar-kejaran dengannya. Di mana Edward dan Anna menjadi penjahat yang harus menangkap Amy.

Namun tidak salah juga, sih, kenapa Amy belum bisa tertidur. Di luar sudah mulai terdengar suara kembang api tanda tahun baru. Anak itu tidak akan bisa nyenyak jika hal berisik terjadi sebelum ia tidur.

Edward dan Anna kompak tertawa begitu melihat Amy yang pura-pura terjatuh lalu memejamkan matanya. Anna yang kelewat gemas langsung mendekatinya dan memeluknya. Perempuan itu juga mengecupi perut Amy hingga si anak tertawa karena geli.

“Aaa papi, tolongin Amy! Amy diserang!” ucap Amy dengan dramatis.

“Tidak bisa. Amy akan dimakan!” sahut Anna menampah kapasitas kecupannya hingga tawa Amy semakin keras.

Edward hanya tertawa melihat itu. Menikmati moment mereka kali ini dengan tawa yang nyaris seiras.


Tahun baru kali ini rumah mereka lumayan ramai. Biasanya acara bakar-bakar daging dan jagung serta menyalakan kembang api akan dilaksanakan di rumah nenek—ibunya Anna. Namun kali ini, mereka melaksanakannya di rumah milik Edward, Anna, dan Amy.

Amy sudah sibuk sendiri, berinteraksi dengan para sepupunya. Anak itu lebih nyaman bersama mereka dibandingkan teman-temannya di sekolah.

Anna memperhatikan bagaimana Amy saking mengejar dengan Tony dan Celine. Jika sudah begini, ia selalu teringat moment Amy kecil yang juga senang berlarian. Bahkan menjelang tahun baru beberapa tahun yang lalu pun, Amy tetap semangat berlarian diiriingi oleh kembang api yang cahayanya menghiasi langit malam yang gelap.

“Aaa mami!” seru Amy seraya menelusup di antara Edward dan Anna. Dia menyembunyikan wajahnya pada bantal sofa.

“Amy, jangan licik dong. Jangan ke om sama tante!” protes Tony.

“Biarin! Soalnya cuma papi sama mami yang bisa jaga aku, makanya aku ke sini.”

“Nanti Amy ke sana lagi, Ton,” ucap Anna secara tidak langsung memberi isyarat agar mereka membiarkan Amy di sini untuk sejenak.

Amy mengangkat kepalanya setelah Tony tak berada di sekitarnya lagi. Perempuan itu menatap kedua orang tuanya bergantian sebelum meraih mereka dalam rangkulannya.

“Aku sayang banget pokoknya sama kalian. Sedih memang harus diterima, tapi kalau bisa kalian jangan terlalu sering sedih-sedihan, ya?”

“Pokoknya aku gak akan mau ninggalin kalian lagi. Aku gak akan minta aneh-aneh lagi ke kalian kayak minta untuk naik kendaraan umum sendiri buat pertama kali.”

“Aku juga bakal berusaha untuk jaga kalian seperti kalian yang jagain aku dari aku lahir. Aku bakal sayang sama kalian seperti kalian yang gak pernah putus buat menyayangiku bahkan sebelum aku muncul ke dunia ini.”

“Papi sama mami berharga buat aku. Aku gak bisa bayangin gimana jadinya aku tanpa kalian.”


—honeyshison.

“Kamu mau buat kafe sendiri?” Edward bertanya ulang, untuk memastikan kalau ia tak salah menyimpulkan.

“Lebih tepatnya itu kayak plan b? Buat sekarang aku masih enjoy di resto,” jawab Anna.

“Kenapa tidak restoran sekalian?”

“Uhm kalau restoran, i think i can't handle it. Kalau kafe kan lebih fokus ke makanan manis, aku lebih banyak belajar pastry soalnya ... dan ya itu yang aku kuasai? I'm a pâtissière!

Edward tertawa kecil mendengar nada bicara Anna untuk kalimat terakhirnya. Tak datar seperti biasanya.

Alright, i already know you a great pâtissière.

“Gimana bisa tahu di saat kamu nyoba aja belum?”

Edward terdiam. Dia memandang ke arah Anna lalu ke makanannya yang tinggal sisa setengah. Lalu ia menjawab, “Amy.”

Hanya satu nama, tapi Anna langsung memahaminya.

“Ah Amy, saya masih merasa bersalah. Dia menghilang pas lagi sama saya ....”

“Saya pikir itu karena dia mempertemukan kita sebelum waktunya.”

Anna menatap Edward dengan bingung. “Tapi dulu kita sama sekali gak bertemu? Kamu bahkan meminta saya untuk menyimpan HP Amy sampai sekarang.”

“Dia mengirim foto kalian ke saya, mungkin itu secara gak langsung udah nemuin kita. Mau bagaimana pun saya jadinya melihat kamu lebih cepat. Lalu setelah itu kita berinteraksi karena hilangnya Amy.”

Anna terdiam, apa yang Edward jelaskan terdengar masuk akal.

“Jujur, saya pikir kamu gak ingin sama Amy karena kamu benar-benar bersikap seperti kita orang asing waktu makan malam,” ucap Anna.

Memang benar, selama lima tahun ke belakang. Lebih tepatnya setelah Amy menghilang tiba-tiba, Edward benar-benar menutup dirinya. Dia sampai rela ponselnya ada di tangan Anna karena tak ingin mereka bertemu sebelum waktunya. Lama-lama, Anna pikir Edward benar-benar sudah lupa.

“Saya hanya mencoba bersikap seperti yang seharusnya. Bukankah akan aneh jika pertemuan kita malah langsung membahas soal anak dari masak depan?” balas Edward berusaha menunjukkan wajah meyakinkan agar Anna tak merasa gelisah.

“Kamu benar ... maaf, ya. Saya memang mudah kepikiran akan sesuatu.”

It's okay, asal kamu gak banyak berpikiran buruk, Anna.”

Anna memilih untuk tak membalas lagi. Kembali menyiapkan spaghetti ke dalam mulutnya.

“Omong-omong soal Amy. Dia sudah kembali. Dia gak mengakui kalau dia anak kita untuk kali ini dan dia ada di rumah saya sekarang. Tampaknya memang rumah itu jadi magnet untuk Amy.”

Gerak tangan Anna terhenti dan itu tak luput dari penglihatan Edward. Perempuan itu menatap Edward dengan tatapan seolah yang lebih tua adalah sesuatu yang menyeramkan.

“Se-serius?”

Edward mengangguk. “Yap, do you want to see her?”


Tidak mengakui bahwa ia adalah Amy Kwon dari masa depan membuat Amy jauh lebih bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Ia menjadi sungkan untuk menghubungi Edward apalagi sampai mengikutinya untuk bertemu dengan Anna.

Anak itu kini diam sambil menonton TV. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain itu ketika Edward kerja. Rasanya ia merasa sangat bosan.

Rumah ini semakin terlihat bagus. Sudah mulai banyak perabotan yang mengisi ruang kosongnya. Edward juga kini tak lagi ragu jika harus memberi uang pada Amy. Setiap makan malam pun, laki-laki itu selalu membawakan daging.

Beda dengan dulu di mana ia hanya mampu membawa satu bungkus nasi untuk Amy. Hingga mereka pada akhirnya makan satu porsi bersama karena Amy tidak tega jika harus makan sendirian.

Papinya itu sudah berkembang menjadi lebih baik.

Bel pintu ditekan. Amy teringat bahwa Edward berpesan untuk tak membuka pintu dan bersikaplah seolah rumah kosong. Ia dengan cepat mematikan televisinya dan bersembunyi di balik meja. Berharap seseorang yang ada di luar tak menyadari keberadaannya.

“Amy?” Suara itu, Amy mengenalinya. Itu adalah suara Edward.

“Boleh tolong bukakan? Saya lupa bawa kunci rumah,” katanya lagi dan Amy akhirnya percaya.

Ia berjalan menuju pintu dan membukanya setelah kunci terbuka. Mata Amy tanpa sadar membulat begitu tahu bahwa Edward tidak sendirian.

Ada Anna di sebelahnya.

“Hai, Amy,” panggil Anna lalu tersenyum manis.

Edward melirik sekitar. “Lebih baik kita masuk dulu,” ucapnya dan baik Anna atau Amy pun menurut.

“Saya pikir saya gak akan lihat kamu sampai puluhan tahun ke depan. Ternyata sekarang saya bisa lihat kamu lagi,” ucap Anna membuat Amy mengerjapkan matanga beberapa kali.

Tunggu.

Jadi, mami sadar kalau aku Amy yang sempat mendatangi mereka dulu.

Anna dapat menebak apa yang tengah anak itu pikirkan. Jadi, dia berkata, “Amy, we always remember you.

Ucapan Anna itu membuat Amy spontan melihat ke arah Edward.

“Saya hanya mengikuti kamu. Kamu bersikap seolah saya orang asing, jadi saya pun bersikap demikian daripada kamu gak nyaman.”

Amy terdiam cukup lama. Hingga akhirnya ia berkata, “Aku ... aku bingung sama situasi ini.”

Anna tersenyum lembut lalu mengelus pipi anak masa depannya itu. “Kamu pasti kangen sama masa kamu yang sebenarnya, 'kan?”

Amy mengangguk. “Jujur, iya. Aku sebenarnya capek ada di sini.”

“Kalau begitu, please tell us. What should we do to get you home?” tanya Anna.

Amy lagi-lagi terdiam. Senyum di wajah Anna dan Edward akhirnya menghilang ketika Amy berkata.

“Aku gak tahu, Mami. Aku juga bingung kenapa aku bisa tiba-tiba ada di sini lagi. Aku kira aku udah dipindahkan ke masaku yang seharusnya.”

Gue gak pernah membayangkan ada di posisi ini. Menjadi satu-satunya wanita diantara tiga pria dalam sebuah pertemanan membuat gue merasa gak butuh cinta.

Gue tahu, mereka bertiga sama-sama pernah naksir sama gue. Gue juga sadar kalau gue menaruh hati ke salah satunya.

Gue paling kenal sama Johan, kita udah dari kecil bareng-bareng. Situasi menjadi aneh ketika dia menyatakan perasaannya, gue menolak itu karena tahu ada orang lain yang suka suka sama dia. Kalau kalian menebak seseorang itu adalah Diva, maka jawabannya adalah iya.

Lalu Joshua ... satu-satunya orang yang sempat gue taksir dan kami sama-sama paham buat gak melanjutkan rasa itu. Memilih mundur sebelum menyatakan.

Sedangkan Sean, dia itu bisa dibilang yang paling susah ditebak dibandingkan yang lain. Hari ini dia muji gue, sorenya dia jalan sama yang lain. Alasan kenapa gue gak pernah menanggapi Sean dengan serius.

Sosok Arsean yang sama dengan yang kini ada di hadapan gue. Sosok yang sedari tadi masih diam setelah banyaknya kalimat yang gue keluarkan.

“Gue gak suka lo asal ambil keputusan. Asal menyebut diri lo sebagai seseorang buat gue. Asal dalam ngeklaim gue jadi milik lo.”

“Hubungan tuh dua orang, Sean. Bukan satu. Bukan cuma lo yang berhak menentukan. Pernah gak sekali aja lo tanya gue maunya gimana?”

“Keluarga lo juga sama aja! Mereka dengan bangga ngumumin apa aja rencana mereka buat kita. Sedangkan keluarga gue tahu aja enggak. Mereka gak butuh pendapat keluarga gue. Itu sama aja kayak gak butuh gue buat hadir.”

“Atau dari yang paling sederhana aja, deh. Lo pernah nanya gak perasaan gue buat siapa?”

“Gue cuma mau bantu lo biar lo gak ditanya-tanya lagi. Lo malah ngelunjak, tahu gak?”

Hening. Dia masih belum ngomong. Nepatin ucapannya untuk gak ngomong sebelum gue.

“Udah,” kata gue, “gue udah selesai.”

Sean natap gue ragu-ragu. Kayaknya ucapan gue tadi emang cukup nampar dia.

“Gue minta maaf karena ngebuat lo ngerasain semua itu. Gue gak akan memberi pembelaan apa-apa, gue jelas salah.”

“Jelasin.”

“Hah?”

“Jelasin kenapa lo bersikap kayak gitu, Arsean.”

Sean diam, gak langsung jawab.

“Kita temenan udah lama dari kuliah sampai sekarang hujan udah eksis. Selama itu, lo gak pernah sekalipun menunjukkan ketertarikan lo buat gue. Sikap lo ke gue tuh agak beda dengan sikap lo ke Johan atau Joshua.”

“Jadi, gue sempat hopeless. Gue gak pernah ekspetasi kita bakal ada di posisi kayak gini. Ketika ide untuk bawa lo ketemu orang tua gue dan mereka setuju. Gue bego karena malah keterlaluan seneng padahal kita bukan siapa-siapa, Nay.”

“Lo baik dan selalu mau bantuin gue. Gue makasih untuk itu. Gue ini si gak tahu diri yang malah manfaatin kebaikan lo. Gue gak peduli sama pendapat lo karena keterlaluan seneng. Di sisi lain, gue takut lo bakal pergi dari gue, Nay. Terlebih setelah lo jalan sama Marvin kemarin yang gak bilang ke gue.”

“Pikiran gue kacau kemarin, orang tua gue juga terus ngerecokin gue soal kita. Gue sampai bilang ke grup untuk batalin itu ... iya, bego banget, emang.”

“Intinya gue minta maaf buat semua itu, Nay. Gue bakal usahain keadaan jadi seperti yang lo mau.”

Gue diam, menatap Sean menyelidik. Penjelasannya agak bikin gue marah, jujur. Emang Arsean bego.

“Lo maunya kayak gimana?” tanya gue.

“Gue maunya kita sama-sama. Tapi kalau lo emang gak mau, gue bisa kubur itu, Nay. Gue bakal bilang juga ke mereka kalau kita putus supaya mereka berhenti dengan rencana pernikahan kita.”

“Jujur, Sean. Lo emang bego dan rasanya gue mau marah dengerin penjelasan lo,” jawab gue. “Tapi lo belum ngajuin pertanyaan itu ke gue.”

“Pertanyaan ap—oh ....”

Sean diam lagi, gue tahu dia lagi mempersiapkan hatinya untuk apa pun jawaban yang gue beri nanti.

Sebenarnya jika dari awal dia nanya gue baik-baik, gue akan lebih mempertimbangkan dan gak ngibarin bedera perang kayak sekarang. Selama gue ditanya, selama pendapa gue dianggap penting, selama perasaan gue dihargain.

“Nayla, lo maunya kita gimana?”

dan gue rasa, sekarang pun gue akan tetap melakukannya.