hoshi as edward.
sana as anna.
zoa as amy.
tw // accident , mention of death.
note ini 4k+ words, jadi tolong maklumi kalau ada kesalahan dalam pengetikkannya. Aku minta maaf untuk itu dan mengucapkan terima kasih untuk yang berkenan membaca ini. Enioy the ridez!
Saat Amy masih kecil, Edward adalah sosok ayah yang canggung dan Anna bisa memahami kenapa suaminya itu bersikap demikian. Anna tak pernah mempermasalahkannya, karena Edward tetap berusaha hadir agar peran ayah tak hilang dari masa kecil Amy.
Sewaktu Amy masih bayi, pernah sekali mereka diundang oleh atasan Edward untuk makan malam. Awalnya, Edward berpikir untuk tidak ikut saja karena ia rasa tak mungkin mereka membawa Amy pergi malam-malam. Namun, Anna berhasil meyakinkan suaminya kalau anak mereka adalah anak yang kuat.
Akhirnya, Edward setuju untuk tetap hadir di pertemuan itu. Lagipula Amy sudah bukan lagi bayi yang baru Anna lahirkan kemarin, anak itu sudah mampu untuk mendudukkan tubuhnya sendiri.
Sosok ayah canggung pada diri Edward di hari itu menghilang. Dia memastikan keadaan mereka berdua secara berkala, bahkan tak ragu untuk memangku Amy yang tertidur kala Anna harus menghabiskan makanannya.
“Pak Edward ternyata suami yang siaga, ya,” ucap atasannya yang membuat Edward tersadar dengan sikapnya sendiri.
“Saya percaya kalian berdua akan menjadi orang tua yang akan selalu anak kalian ingat bagaimana pun keadaan dia nanti.”
Hari berganti, tubuh Amy semakin lama semakin meninggi. Gerakan tubuhnya yang semakin lincah juga mulutnya yang mulai aktif berbicara. Perkembangan Amy tak pernah Edward dan Anna lewatkan sekalipun.
Yang pertama kali Amy panggil adalah Anna. Saat itu, seperti biasanya Anna tengah menyiapkan sarapan kala hari libur. Edward bernisiatif untuk kembali ke kamar, memeriksa apa Amy sudah bangun atau belum.
Begitu pintu dibuka, Edward dapat mendengar suara teriakan Amy dari dalam.
“Mi! Mi!”
Edward mempercepat langkahnya. Amy kecil terduduk di atas ranjangnya. Sadar kalau yang membuka pintu bukanlah orang yang ia panggil, Amy merangkak mendekati tepi ranjang.
Meski masih memproses karena ucapan Amy barusan, Edward tetap sigap dan berlari kecil agar anaknya tak jatuh. Laki-laki itu menggendong Amy dan bertanya, “Adek barusan panggil mami?”
“Miii,” balas Amy dengan gemas sembari menunjukkan giginya yang belum banyak tumbuh.
Edward menatap Amy dengan berbinar. Dia buru-buru membawa Amy keluar dari kamar mereka lalu menghampiri Anna yang masih sibuk memasak.
“Anna, she called you. Waktu di kamar tadi,” ucap Edward dengan napas yang masih memburu. Anna terlihat terkejut, ia mematikan kompornya lalu mendekat pada dua kesayangannya.
“Really?“
Amy tersenyum kala sosok yang ia cari semenjak terbangun kini berhasil ia lihat. Anak itu berusaha meraih Anna, menunjukkan kalau dirinya ingin digendong oleh ibunya.
Anna menurut, mengambil alih Amy untuk ia gendong. Amy girang, ia tertawa membuat Anna dan Edward tersenyum mendengar itu.
“She loves you so much, Anna. Look how happy Amy is when she's with you.“
Anna tersenyum lembut, yang kini ia rasakan adalah hangat. Anna mengelus rambut Amy yang sudah mulai memanjang.
“Kerennya anak mami gak nangis waktu bangun. Bener kata papi kamu manggil mami? Amy, nyariin mami, ya, sayang?”
“Mi!”
Mereka berdua menahan napas kala mendengar Amy mengucapkan itu lagi. Mata Anna tanpa ia sadari berkaca-kaca.
“Dengar, 'kan? She called you.”
“Amy sayang ... oh my god, Edward i just—huhu i don't know what to say.“
Amy itu terlalu menakjubkan. Dia mampu membuat dua orang dewasa yang selalu bersamanya ini bahagia hanya dengan kata yang bahkan masih ia ucapkan dengan sedikit kesusahan. Bagaimana ia mampu untuk menghadirkan senyum di wajah keduanya tanpa perlu melakukan apa-apa.
Bukan hanya itu, Amy memberi kesempatan mereka untuk kembali belajar.
Selama Amy tumbuh dan berkembang, bukan hanya Amy yang belajar untuk segala hal baru yang ada di hidupnya. Edward dan Anna pun sama.
Mereka belajar bagaimana hal-hal baik dapat diterapkan pada Amy sesuai dengan usia anak itu.
Ketika Amy kecil, anak itu dibiasakan untuk berkata jujur dan mengakui perasaan serta kesalahannya.
Mereka menggunakan kalimat yang dapat Amy mengerti saat itu.
“Adek mau tahu sesuatu? Kita kalau bohong dan gak mengakui kesalahan, itu bisa bikin kita jelek mirip monster, loh. Adek emangnya mau jadi jelek? Kamu bisa aja dijauhin.”
“Papi sama mami juga bakal jauhin Amy?”
“Mungkin? Terlebih kalau adek sengaja bohong sama papi dan mami.”
“Amy gak mau ditinggal kalian, Amy gak akan bohong lagi. Amy minta maaf, mami, udah rusakin kue mami terus bohong.”
“Makasih banyak, ya, sayang? Bohong itu perbuatan buruk, sebisa mungkin Amy harus menghindar, ya? Apalagi kalau Amy berbohong untuk menutupi kesalahan. Gak papa, tolong dipahami pelan-pelan, ya, sayang.”
“Iya, mami. Terima kasih karena udah maafin Amy.”
Beranjak remaja, Amy mulai berani untuk menanyakan banyak hal. Anak itu mudah penasaran dan tak mudah lelah. Banyak hal yang ingin Amy coba dan mereka berdua sebisa mungkin tak pernah menghilangkan peran untuk membimbing Amy.
“Papi, aku penasaran gimana caranya main skateboard. Aku boleh belajar sama Kak Michael gak?”
“Mami, hari ini aku sama anak teater lain diskusi sama reading. Seru deh, Mi, aku kebagian peran jadi ibu-ibu, haha!”
“Papi, kenapa gak pernah pusing kalau ngegambar? Papi ada tips-nya gak? Aku gambar pemandangan aja suka pusing.”
“Mami, aku mau nyoba jadi kasir di kafe ... kayak mami. Aku boleh coba gak, Mi?”
dan masih banyak lagi yang anak itu tanyakan pada mereka. Rasanya dulu setiap hari Amy seperti tak pernah kehabisan ide. Ada saja yang ia tanyakan setiap harinya.
Edward dan Anna tak pernah keberatan. Amy begitu menghargai mereka, ia tak pernah sekalipun tak melibatkan keduanya dalam sesuatu yang ingin ia coba.
Memasuki SMA, kala anak itu sudah mulai harus menentukan apa keinginannya. Kala Amy sudah berani untuk menyayangi lawan jenisnya. Mereka dihadapkan dengan posisi di mana Amy kebingungan untuk memantapkan pilihannya sendiri.
Sosok Sammy yang hadir dalam keluarga mereka tak pernah benar-benar Edward halangi. Anak itu sama dengan Amy, dia butuh dibimbing tapi tak tahu harus lari ke mana.
“Aku nulis tuh mau kayak papi aja. Jadi, dia bukan kerjaan utamaku. Aku mau masuk ke bidang kesehatan, tapi aku belum tahu profesi mana yang aku mau. Aku mau kepoin dulu satu-satu.”
“Boleh. Nanti papi bantu cari informasinya, ya. Kamu bisa tanya ke Tante Beby juga.”
“Iya, terima kasih, Papi. Maaf, ya, kayaknya aku labil banget sama tujuan yang mau aku ambil. Aku masih punya banyak hal yang mau aku coba sebelum benar-benar nentuin apa yang aku pilih.”
“Gak papa, sayang. Kamu masih mau nyoba dan kami paham itu. Masa muda tuh memang enak dipakai untuk nyoba banyak hal, jangan kayak mami yang dulu malah fokus cinta-cintaan. Manfaatkan dengan baik masa muda kamu, tapi ingat harus tetap positif, oke?”
“Okay! Kalau masa muda papi gimana?”*
“Papi juga gak banyak nyoba hal baru, My. Dulu papi banyak mikirin cara gimana caranya supaya papi bisa kuliah dan tetap makan.”
“Ah ... kalau gitu, bilang sama aku, ya, kalau kalian punya sesuatu yang mau dicoba. Nanti kita coba bareng-bareng!”
“Makasih, sayang. Kalau Sammy gimana? Mami udah lama gak dengar soal dia.”
“Kak Sammy daftar kuliah di sini, Pi, Mi. Katanya kalau keterima, dia ngajakin aku untuk pacaran.”
“Amy mau pacaran sama Sammy? Amy sayang sama dia?”
“Aku sayang ... tapi aku belum mau pacaran. Aku merasa masih kecil, masih butuh kalian. Aku rasa kalau pacaran aku melangkahnya kecepatan, Mi.”
“Kalau gitu, nanti bilang, ya, ke Sammy, sayang.”
“Tapi aku gak mau buat Kak Sammy sedih. Dia udah belajar lama dan secara gak langsung hal itu jadi motivasinya Kak Sammy juga, Mami ....”
“Ini ada di luar kota, Amy. Kamu masih yakin mau pacaran sama Sammy?”
Amy merasa bahwa ia mendapatkan banyak hal dari kedua orang tuanya. Untuk menjadi Amy yang mampu berdiri di depan kelas tanpa perlu khawatir, tak pernah lepas dari peran keduanya.
Bukan hanya Amy yang merasa demikian. Edward dan Anna merasa diberi lebih oleh Amy.
Amy's birth gave them a new life. Being a parent, being a father and mother, being a friend, being everything for Amy.
Things they will always be grateful for.
“Ini sudah semua, 'kan, Na?” tanya Edward sebelum benar-benar menyalin file yang Anna buat ke dalam flashdisk-nya.
“Udah, Ed. Kecuali kamu mau nambahin fotonya.”
“Enggak, dari kamu udah cukup.”
Cukup lama sebelum Anna mendekat pada Edward. Perempuan itu memegang kedua pundak suaminya, ikut melihat pada layar laptop kemudian bertanya, “Selesai?”
“Hm, selesai,” jawab Edward seraya memejamkan mata karena Anna mulai memijat pundaknya.
“Edward, saya sebenarnya sedang penasaran akan sesuatu. Tapi saya gak mau memikirkannya.”
Edward mendongak, untuk menatap pada istrinya. “Tell me.”
Anna menarik napasnya. “Kalau kita gagal menemani Amy sampai dia menemukan pijakan barunya. Kira-kira antara saya atau kamu, siapa yang akan lebih dulu meninggalkan Amy?”
Mata Amy berbinar kala melihat lembaran foto yang baru saja Edward cetak. Ayahnya itu baru kembali dari luar dan membawa pulang puluhan foto bersamanya.
Foto-foto itu seperti bukti bagaimana Amy tumbuh bersama mereka berdua. Foto Amy kecil dengan mahkota di atas kepalanya, foto mereka bertiga ketika Amy masih butuh untuk digendong, foto mereka saat tertawa, foto yang semakin lama menunjukkan tubuh Amy yang mulai menyusul Anna. Bahkan di antara foto-foto itu, ada satu foto antara Amy dan Sammy.
“Wah ... fotonya banyak,” ucap Amy ketik Edward selesai mengeluarkan semuanya dan meletakkannya di atas meja.
Anna mendekat pada mereka, ikut bergabung dengan duduk lesehan melingkari meja. Ia mengambil satu foto dan mengamatinya, lalu berkata, “Hasilnya lumayan.”
Edward mengangguk setuju. “Yap, rekomendasi Evan gak pernah salah.”
“Amy, kamu tahu gak waktu foto ini kamu susah banget disuruh tidur. Padahal udah hampir tengah malem, tapi kamu masih ajak papi sama mami buat main kejar-kejaran,” ucap Anna sambil menunjukkan foto yang ia ambil barusan pada Amy. Foto di mana ada mereka bertiga yang tengah tertawa dengan memakai piyama masing-masing. Foto saat Amy sedang aktif-aktifnya berlari.
“Aku kayaknya dulu bandel, ya.”
“Usia segitu memang lagi aktif-aktifnya, Sayang. Terlebih waktu itu memang pas tahun baru, jadi di luar berisik sama suara kembang api. Kamu mau tahu gak akhirnya gimana?”
“Gimana, Mi?”
“Kita semua ketiduran di sini ujungnya. Mami sama kamu di sofa dan papi tidur di bawah,” ucap Anna diakhiri dengan tawa membuat Edward dan Amy ikut tertawa karenanya.
Amy mengamati satu per satu foto yang ada di atas meja itu. Ia kemudian mengambil satu karena latar fotonya yang familiar walau terlihat berbeda. Di foto itu ada Amy kecil yang digendong oleh Edward, lalu Anna membawa tas yang Amy yakini berisi keperluannya.
“Ini di mall yang sering kita datengin, 'kan?” tanya Amy dan kedua orang tuanya mengangguk.
“Iyap! Ini pertama kalinya mami sama papi beraniin bawa kamu keluar dalam waktu yang cukup lama. Waktu itu atasan papi ngajak dinner dan tahu apa yang hebat dari kamu?”
Amy tentu menggeleng. Ia mana mampu mengingat kejadian saat umurnya saja bahkan belum satu tahun.
“Kamu sama sekali gak rewel, My. Biasanya kalau kita keluar lama, kamu sering rewel. Tapi waktu itu kamu seolah tahu kalau dinner-nya penting buat kelangsungan kerjaan papi. Kamu gak nangis sama sekali,” jawab Anna.
Anna menunjukkan satu foto lain di mana Amy masih kecil.
“Ini waktu kamu udah ngerti buat di foto. Lihat, kamu melet-melet di sini.”
Foto lain lagi.
“Ini waktu kamu ikut lomba dance bareng Celine dulu. Mami masih inget gimana kamu loncat waktu turun dari panggung saking girangnya karena menang. Untung kamu gak jatuh.”
Foto lain lagi.
“Ini waktu tahun baru di rumah nenek kemarin. Kita semua seneng waktu itu, semua keluarga kumpul dan rasanya seperti tetap ada di rumah.”
Foto lain lagi.
“Ini sewaktu kita main ke rumah lama papi. Lihat, papi gak mau senyum. Tapi kita tetap bangga karena papi mau berdamai sama masa lalu, iya, 'kan, sayang? “
Foto lain lagi.
“Dan ini, yang paling baru. Waktu kita dinner sama atasan papi kemarin. You look so beautiful, Dear.“
Amy dan Edward mendengarkan dengan baik setiap apa yang Anna katakan. Perempuan yang berada di posisi nomor satu di rumah mereka ini menjelaskan dengan antusias. Binar matanya bahkan tak menghilang sama sekali kala menyuarakan pikirannya untuk semua foto yang ia ambil.
“Terus ini, anak mami dan seseorang yang nyaris jadi pijakan baru untuknya,” ucap Anna ketika foto antara Sammy dan Amy ada di tangannya.
“Sammy ... is he okay there?” Anna menatap pada Amy, meminta jawaban. Namun Amy menggeleng, ia belum berkomunikasi lagi dengan Sammy.
“He had some problems there, mau gimanapun *it was a new place for him. But he says he is ready to fight them,” jawab Edward diakhiri senyuman tipis sambil melihat pada Amy.
Memberi isyarat pada anaknya, bahwa tak apa jika ia tak mengetahui kabar terbaru dari Sammy. Amy tak perlu merasa bersalah untuk itu.
“Oh, syukurlah. I will message him later.“
Edward hanya mengangguk.
Mata Amy kembali mengamati foto-foto itu. Semakin lama, ia semakin melihat dirinya yang tumbuh. Di setiap langkahnya, selalu ada Edward dan Anna. Selalu ada meraka berdua yang menemani juga mendampinginya.
“Ngelihat semua foto ini, i realized something,” ucap Amy membuat Edward dan Anna menatap padanya.
“Papi sama Mami gak pernah ninggalin aku. Kalian selalu nemenin aku di setiap perkembangan yang aku alami, di setiap hal baru yang aku coba, di setiap langkah yang berani untuk aku ambil.”
Amy berhenti sejenak, menatap keduanya secara bergantian. “I'm so grateful for that and I can't imagine how my life would be without you two.”
“Aku ... aku gak bisa hidup kalau gak ada papi sama mami.”
dan kalimat itu berhasil membuat Edward dan Anna merasa ditampar.
“Amy, yakin gak mau ikut?” tanya Edward sekali lagi, memastikan apa benar anak tunggalnya itu tak ingin ikut.
“Enggak, Pi. Aku besok ujian, takutnya malah lupa kalau dibawa jalan-jalan huhu. Lagian nanti di sana juga pasti ngobrolin hal yang gak aku ngerti!”
“Namanya juga lunch sama atasan papi.”
Anna menghampiri keduanya, perempuan itu sudah cantik dengan gaun hitam yang ia kenakan. “Kamu aja deh, Ed. Aku biar temenin Amy di sini.”
“Mami udah cantik, masa gak jadi ikut? I'm okay, kok, Pi, Mi. Lagipula nanti, Kak Celine sama Kak Tony bakal dateng. Aku gak akan sendirian.”
Edward dan Anna saling bertatapan sebelum akhirnya mengangguk.
“Okay, tapi terus kabarin papi, ya? Papi gak akan offline,” kata Edward membuat senyum terbit di wajah Amy.
“Kalau perlu nanti aku hubungi kalian berdua sekaligus. Papi sama Mami, 'kan, cuma mau lunch di luar. Perginya juga sebentar gak akan selama dinner. Kalian gak perlu sekhawatir itu ninggalin aku sendiri seolah kalian bakal ninggalin aku selamanya.”
Edward dan Anna menahan napas mendengar itu. Edward tertawa canggung dan mengangguk.
“Haha, maaf, ya, sayang? Di mata kami, kamu selalu jadi puteri kecil. Tapi tetep kabarin papi, serius.”
“Siap!” balas Amy seraya membentuk pose hormat.
“Papi sama mami berangkat, ya, sayang? Hati-hati di rumah, papi sama mami gak akan lama-lama perginya,” ucap Anna seraya mengusap kepala Amy pelan.
“Iya! Papi sama mami juga hati-hati, aku nunggu kalian berdua di rumah.”
Edward dan Anna tersenyum tipis lalu Amy menyalami tangan mereka satu per satu. Anak itu tidak kembali masuk ke dalam rumah sebelum mobil yang Edward kendarai itu menghilang dari pandangannya.
Amy menghela napasnya dalam-dalam sebelum berbalik, saatnya untuk kembali belajar!
Tidak lama setelah kedua orang tuanya pergi, Tony dan Celine datang sesuai rencana mereka. Walau hanya Amy dan Tony yang belajar untuk ulangan, Celine tetap bersedia datang untuk mengajari kedua sepupunya itu.
Mereka menghabiskan waktu cukup lama hingga sore hari datang. Amy melirik ke arah jam dinding lalu membuka ponselnya. Tak ada satupun kabar dari Anna atau Edward. Pesan terakhir Amy yang mengirim foto mereka bertiga pun belum dilihat oleh salah satu dari mereka.
Ini sudah cukup lama untuk sekedar lunch , 'kan?
“Kenapa, Cil?” tanya Tony sadar dengan perubahan raut wajah Amy.
“Papi sama mami belum pulang. Buat makan siang doang, ini kelamaan gak sih, Kak?”
“Mungkin mereka mau pacaran dulu, Amy. Mumpung kamu gak ikut,” balas Celine.
Amy meremas ponselnya yang masih menunjukkan ruang chat keluarganya tanpa sadar. “Kalau kayak gitu, papi sama mami pasti kabarin aku.”
“Habis baterai kali. Jangan mikir aneh-aneh, My,” ucap Tony yang membuat Amy malah menjadi berpikir aneh-aneh.
Papi sama mami ke mana? Kenapa belum pulang?
Kalian berdua suruh aku untuk selalu ngabarin, tapi kenapa kalian gak ngelakuin hal yang sama?
Papi, mami, aku nunggu kalian di rumah. Tolong pulang, gak papa terlambat juga. Asal pulang, ya?
Amy memejamkan matanya, berusaha menghilangkan segala pikiran negatifnya. Celine dan Tony paham dengan itu. Celine menyentuh pundak Amy, membuat anak itu kembali membuka matanya yang bergetar karena gelisah. Yang lebih tua berkata, “Napas baik-baik, My. Biar lebih tenang.”
Melihat Amy yang seperti ini, malah membuat keduanya menjadi ikut khawatir.
“Papi sama mami kenapa belum pulang?”
Ikatan mereka bertiga itu kuat. Tony dan Celine tidak bisa benar-benar mengelak kalau perasaan Amy tidak benar. Ketika Amy bersikap begini, mereka hanya bisa berharap kalau Edward dan Anna baik-baik saja.
Pintu rumah Edward tiba-tiba terbuka. Ada Evan di sana dengan napas yang terengah-engah.
“Papa, aku belum selesai,” ucap Tony, mengira Evan datang untuk menjemputnya.
“Bukan ... papa ke sini bukan buat itu,” ucap Evan lalu mendekat pada mereka berdua. Adik Edward itu berjongkok mensejajarkan dirinya dengan Amy.
“Barusan Om dapat telepon dari rumah sakit, My. Mereka ngabarin om soal papi sama mami kamu.”
Mendengar kata 'rumah sakit' serta kedua orang tuanya membuat perasaan Amy semakin dibuat gelisah. “Papi sama mami kenapa, Om?”
“Mereka bilang ponselnya hancur, tapi kartu nama papi kamu masih nunjukkin nomor kantornya. Rumah sakit nelepon mereka dan mengarahkan mereka buat hubungi Om.”
Mata Amy bergetar, dia merubah posisinya menjadi setengah berdiri. Tangannya mencengkeram kedua lengan milik Evan.
“Om, papi sama mami kenapa? Tolong ... tolong langsung kasih tahu aku.”
“Kecelakaan beruntun, mobil Edward sama Anna tepat di belakang truk yang jadi penyebab kecelakaan itu.”
Air mata tidak dapat Amy tahan setelahnya.
“Om ... ayo ke papi sama mami. Om—tolong.”
“Iya, ayo.”
Selama hidupnya, Amy tak pernah membayangkan sekalipun bagaimana jika Edward dan Anna tak ada di sekitarnya. Mereka tidak pernah absen untuk segala moment yang Amy lalui.
Edward dan Anna mungkin memberikan Amy banyak hal yang bisa ia terapkan dalam kehidupannya. Namun, mereka berdua tak pernah memberi tahu Amy bagaimana ia harus bersikap jika kedua orang tuanya tak ada.
Amy berjalan pelan memasuki ruangan itu. Amy pernah sekali memergoki bagaimana kedua orang tuanya saling memeluk dibalik selimut yang menutup hingga leher di sofa. Amy sering mendapati keduanya tertidur dengan wajah kelelahan mereka kala tengah melakukan pekerjaan di rumah.
Namun kini, Amy rasanya tak terbiasa melihat bagaimana dua pasang mata itu terpejam. Bagaimana wajah pucat dengan luka mereka setelah selimut putih yang menutupi hingga kepala itu dibuka agar Amy dapat melihat.
Kaki Amy rasanya lemas merasakan bagaimana tubuh dingin mereka karena darah yang sudah berhenti mengalir. Matanya sulit ia kedipkan karena tak menerima apa yang ia lihat sekarang.
“Mami ... mami tadi bilang kalau kalian gak akan lama perginya? Kenapa ... kenapa sekarang malah kayak gini?”
“Papi bilang papi bakal jagain aku sama mami? Sekarang gimana papi bisa jagain kami kalau masih tidur kayak gini?”
Amy mencengkeram kedua sisi tubuh ayahnya. Mengguncang tubuhnya, berharap mata itu bisa terbuka karena tak nyaman dengan ulahnya.
“Ayo, kalau mau tidur jangan di sini. Di rumah aja, sama aku. Ayo Papi, Mami, bangun! Kalian harus pulang, bukan malah tidur di sini!”
Celine maju, menahan Amy agar tak semakin mengguncang tubuh Edward yang dipenuhi luka. Amy memberontak, ia berhasil meraih tangan Anna untuk ia genggam.
“Mami, ayo... aku masih mau dibuatin kue cokelat. Gak papa kalau mami mau tambahin krim, aku bakal makan apa pun yang mami buat. Tolong ... tolong bangun, Mami. Mami sendiri yang bilang gak bakal lama perginya. Ini aku jemput kalian, ayo pulang—hiks“
“Amy, udah,” ucap Celine pelan, berusaha menenangkan sepupunya itu.
“Aku sama siapa kalau kalian malah tidur di sini? Kalian bilang gak akan ninggalin aku sendiri... tolong ... tolong pulang, Papi, Mami. Please, please aku mohon, pulang ....”
Evan ikut mendekat. Mengusap pucuk kepala anak itu.
“Udah, Amy. Tolong ikhlasin, ya? Papi sama mami kamu udah tenang. Amy gak akan sendirian, masih ada kami semua.”
Amy menggeleng ribut. “Enggak, gak mau! Kalian semua tetap gak cukup kalau gak ada papi sama mami! Aku mau mereka, aku cuma mau papi sama mami. Om, tolong bilangin supaya mereka bangun. Di sini tidurnya gak enak, bangunin mereka supaya kita pulang dan tidur di rumah aja.”
Napas Amy memburu. “Aku ... aku gak mau ditinggal papi sama mami.”
Tubuh Amy melemas, hingga akhirnya ia jatuh terduduk. Semua orang yang di ruangan itu dapat mendengar bagaimana pilunya suara tangis Amy.
“Papi, Mami, ayo pulang ...,” katanya dengan lemah sebelum tubuhnya terhuyung ke belakang. Setelah menangis sejadi-jadinya, Amy kehilangan kesadarannya.
“Kalau kita gagal menemani Amy sampai dia menemukan pijakan barunya. Kira-kira antara saya atau kamu, siapa yang akan lebih dulu meninggalkan Amy?”
“Saya gak tahu, Anna. Gak ada yang tahu gimana takdir Tuhan bakal berjalan. Tapi kita bisa membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan itu.”
“Apa, Ed?”
“Kita harus memikirkan bagaimana caranya agar Amy bisa walau tak ada kita berdua. Setidaknya jika kita pergi nanti, Amy tak akan clueless. Dia tahu harus bersikap seperti apa.”
Amy terbangun kala mendengar suara ketukan pintu. Ia dapat merasakan air mata membasahi wajahnya.
Perempuan itu merubah posisinya menjadi duduk, lalu mengusap bekas air matanya. Sekarang ia sudah ada di rumah, ia tak tahu sudah melewatkan apa saja selama tak sadarkan diri.
Amy, 'kan, pingsan di rumah sakit? Kenapa sekarang ia sudah ada di rumah? Bukannya lebih baik ia dirawat sebentar hingga sadar di sana?
Ketukan pintu terdengar lagi.
“Amy sayang, udah bangun? Ayo makan malam.”
Mata Amy bergetar kala suara Anna menyapa pendengarannya. Dengan langkah yang terbirit-birit, ia mendekati pintu. Membuka kuncinya dan terdiam di tempat.
Ia melihat Anna, di depan matanya. Perempuan itu tidak pucat, tak ada juga luka yang menghiasi wajahnya. Masih menjadi sosok mami yang sering Amy lihat.
“Amy, are you okay?” tanya Anna khawatir karena ia dapat melihat jejak air mata di wajah anaknya.
“Mami?”
“Yes, Dear?“
Tangan Amy bergetar kala menyentuh pipi milik ibunya. Dia bisa merasakan hangat dari sana, ia tahu bahwa sosok di hadapannya adalah nyata. Amy memeluk tubuh Anna, meski bingung yang lebih tua tetap membalas pelukannya.
Amy melepaskan pelukannya, raut wajahnya kembali terlihat panik. “Papi, gak apa, 'kan, Mi?”
“Dia gak papa, papi kamu lagi nunggu kita di bawah. Kamu gak papa, 'kan, sayang?”
Amy tak menjawab. “Ayo ... ayo ke bawah,” ajak Amy seraya menarik pelan tangan Anna agar mengikutinya.
Edward menatap heran pada Amy yang melihatnya seolah ia adalah sesuatu yang tak nyata. Laki-laki itu menatap pada Anna meminta penjelasan, istrinya itu hanya mengendikkan bahu tanda tak tahu.
“Kenapa?” tanya Edward.
“My dream—i'm so scared!“
“Itu sih, papi bilang jangan tidur sore malah gak nurut.”
“Aku mimpi kalian pergi buat selamanya tanpa bawa aku. I'm scared, aku gak mau itu terjadi. I don't want to live without you two.“
Edward dan Anna terdiam, mereka sekali lagi saling melemparkan tatapan. Edward menghela napasnya sebelum berkata, “But you need to be prepared for that, Dek.“
“No ... aku gak mau.”
“Kamu harus, begitu juga dengan papi sama mami. Kita gak tahu bagaimana Tuhan mengatur hidup kita termasuk batas kehidupan kita masing-masing. We can enjoy time together and at the same time we need to prepare ourselves without each other,” ucap Edward.
“Kamu tahu, Amy? Ketika seseorang pergi dari kehidupanmu, membiasakan diri tanpa dia bukan berarti kita perlu menghilangkan segala kenangan atasnya. Yang perlu kita hilangkan adalah perasaan terbiasa dengan kehadirannya. Kita gak perlu buru-buru, kita bisa pelan-pelan seraya menerima kehilangan dan ikhlas.”
Amy menggeleng keras. “Aku gak mau bahas ini, Papi. Tolong ....”
Masih segar dalam ingatan Amy bagaimana mimpinya tadi. Ketika sadar bahwa itu hanyalah mimpi, Amy tidak ingin mereka membicarakan soal kehilangan lebih dulu. Setidaknya, untuk sekarang.
“Ed, we can talk about this later,” ucap Anna, paham dengan perasaan Amy.
Edward menghela napasnya. “Okay. Besok ada undangan buat lunch sama atasan papi? Do you want to come, Dek?”
Amy menggeleng dengan cepat. “Aku ada janji sama Kak Tony dan Kak Celine buat belajar bareng.”
“Okay, kalau gitu papi sama mami aja ke—”
“No! Please, jangan ke sana. Aku gak mau ditinggal bertiga aja sama mereka. Aku mohon, Papi.”
Ini mirip dengan apa yang ada di mimpinya dan Amy tak ingin itu terjadi.
“Hmm.” Edward menatap Amy lekat, ia sepertinya menduga kalau ini pasti ada hubungannya dengan mimpi Amy. Untuk pertama kalinya, Amy sampai memohon seperti itu.
“Papi coba bicarakan dulu sama atasan papi, ya.”
“Okay! Sekarang ayo makan, Papi, Mami.”
“Ayo, sayang.”
Amy hanya berharap, duduknya mereka bertiga di meja makan ini adalah nyata. Bukan hanya sekedar bayangan Amy saja.
Tuhan, Amy mohon. Tolong bantu aku jaga papi sama mami. Setidaknya buat sekarang, aku masih butuh mereka buat gapai mimpi aku, Tuhan. Aku mau mereka nyaksiin aku berhasil dengan mimpi aku.