karsalakuna

Selepas kepergian Edward ke tempat kerja. Anna mengamati bagaimana ibunya berinteraksi dengan anaknya.

“Cherry bakal ke sini lagi, Ma?”

“Belum tahu. Dia gak ngabarin kamu, Kak?”

Anna menggeleng. “Belum.”

“Biarin aja sedatangnya kalau gitu,” jawab ibunya terkesan tak acuh. Anna terkekeh, ngerasa terhibur dengan tanggapan yang ibunya beri.

“Nah tidur dia. Ini, Kak. Tidurin,” ucap ibunya seraya menyerahkan Amy pada Anna. Perempuan kelahiran Desember itu berdiri dan menurut tanpa kata. Berhubung keduanya kini memang ada di kamar Edward dan Anna.

Anna kembali duduk di sebelah ibunya. Suasana hatinya tiba-tiba berubah. Di hadapan Anna ada mama, seseorang yang selalu membuat Anna berani untuk melihat sisi lemahnya.

Anna malah berlutut di lantai, kemudian ia menidurkan kepalanya dalam pangkuan ibunya. Chyntia, ibunya Anna, hanya tersenyum tipis seraya memberi usapan pada kepala putri sulungnya itu.

“Capek, ya, Kak?”

Anna sama sekali tak memberi balasan.

“Sebagai seorang anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang, dulu mama gak pernah berekspetasi akan membesarkan seseorang juga. Mama gak pernah sengaja membayangkan apa saja yang harus mama lakukan kalau mempunyai anak nantinya.”

Chyntia terdiam sebentar. “Mama sempat takut. Terlebih ketika sudah memasuki masa akan melahirkan. Mama takut tidak bisa menjadi ibu yang baik. Namun, mama mencoba menerapkan apa saja yang mama terima dari kakek dan nenek.”

“Mama merasa beruntung karena papa kamu sangat memperhatikan mama, terlebih ketika awal kamu lahir dulu. Dia ikut terjaga saat malam, dia gak keberatan kalau mama gak masak, dia gak keberatan kalau harus memijat mama padahal sama capeknya.”

Anna mendongak. Namun, kini ia malah menumpukan tangannya pada paha ibunya.

“Aku mau kayak mama ... mama ibu yang baik.”

Chyntia menggeleng, sekali lagi tangannya mengusap lembut kepada Anna. “Kamu gak harus menjadi mama, Kak. Kamu memang anaknya mama, tapi bukan berarti kamu harus seperti mama. Mau gimana pun, kita ada di zaman yang berbeda, Kak. Kamu harus bisa menyesuaikan,” ucapnya seraya menyentil pelan hidung mancung putrinya.

“Mungkin akan banyak yang memberi tahu kamu tentang bagaimana harus menjadi seorang ibu, menjadi seorang istri, juga peran-peran lain yang kamu miliki. Kamu harus bisa memilahnya, Kak. Terkadang ada yang mereka nyatakan tapi sebenarnya tak perlu kita pikirkan lama-lama.”

Anna terdiam. Ia merasa tersindir. Padahal ia belum menceritakan soal Catherine yang terus mengganggu pikirannya.

“Bukan hanya menjadi anak yang harus belajar. Menjadi orang tua pun, kita akan belajar selama sisa kehidupan kita. Semua manusia akan tetap dituntut untuk terus belajar seumur hidupnya.”

Tangan Chyntia kini ada di kedua sisi wajah Anna. “Kamu berusaha, 'kan, Kak?”

Anna mengangguk.

“Edward pun demikian, 'kan?”

Sekali lagi, perempuan itu mengangguk.

Perempuan yang telah melahirkannya itu tersenyum hangat. “Kalau begitu, kasih dia kesempatan untuk tahu apa yang mengganggu pikiran kamu, Kak.”


“Ah, tidur ...,” ucap Edward begitu masuk ke kamar. Dia baru pulang setelah kerja setengah hari. Tentunya, ada 'bekal pekerjaan' yang ia bawa ke rumah.

“Amy baru aja tidur,” ucap Anna yang turut masuk ke kamar. Edward menoleh ke asal suara, lalu tersenyum tipis.

“Ah, kalau gitu saya mau mandi dulu.”

Anna terdiam. Keberanian yang sudah ia kumpulkan sejak berbincang dengan ibunya nyaris lenyap begitu melihat Edward datang dengan peluh di dahinya.

Anna menatap pada suaminya yang kini sedang melepaskan kacamata yang ia kenalan selama bekerja. “Edward,” panggilnya.

“Saya mau bicara sama kamu dulu. Boleh?”

Edward menghela napasnya, lalu mengangguk. Akhirnya.

“Boleh,” ucap Edward sembari mendekat pada Anna. Yang lebih muda mendudukkan dirinya di sofa, suaminya pun turut bergabung setelah itu.

“Kenapa?” tanya Edward dan tak langsung diberi balasan oleh Anna. Edward memilih diam, mengerikan Anna waktu untuk menyiapkan dirinya.

“Saya mau minta maaf karena bersikap aneh akhir-akhir ini. Saya juga terkesan menjauhkan kamu dari Amy, padahal kamu juga perlu untuk melakukan peran kamu sebagai orang tuanya. Maaf ... maafkan saya.”

Anna mendongak, memberanikan dirinya untuk menatap pada Edward. “Sebenarnya saya gak bermaksud untuk bersikap begitu. Tapi apa yang Mama Catherine katakan, ada benarnya juga. Kamu udah capek kerja. Rumah ini harus jadi tempat kamu beristirahat, bukan malah membuat kamu tambah kelelahan.”

“Kamu tahu, Anna? Saya malah merasa lebih lelah kalau harus dijauhkan dari kamu dan Amy. Kalian berdua tanpa sadar sudah menjadi pengisi energi untuk saya.”

Anna terdiam, tatapannya berubah menjadi memelas. “Oleh karena itu, saya minta maaf.”

Edward mengangguk. “Saya juga minta maaf karena sedikit terlambat menyadari peran dia sampai kamu bersikap seperti ini. Saya juga paham, kamu masih sensitif selepas melahirkan.”

“Lain kali, ucapan dia tidak usah didengarkan, ya? Itu hak kamu, sih, tapi kalau mendengarkan lebih baik dipilah dulu. Dia bukan orang yang melahirkan kamu atau saya sampai harus bersikap seolah yang paling paham kita berdua.”

“Kamu udah tahu duluan, ya?” tebak Anna.

“Iya. Maaf, saya gak bisa tenang sebelum tahu kamu kenapa.”

“Gak papa, harusnya saya yang minta maaf. Seharusnya saya cerita soal ini ke kamu. Ah, pantas dia chat saya dan bilang saya ngadu sama kamu. Padahal saya baru cerita hari ini.”

Edward mengusap kepala Anna. “Kalau Evan gak bilang soal sikap dia ke Beby, mungkin saya juga gak akan ngelakuin itu. Setiap dia kirim pesan, bilang ke saya, ya? Setidaknya jika pesan itu kurang mengenakkan untuk kamu.”

Anna mengangguk. Edward meraih tangan Anna untuk ia genggam. Laki-laki itu menepuk pelan telapak tangan istrinya. “Tolong diingat, Anna. Bukan hanya kamu yang menjadi seorang ibu. Saya pun menjadi seorang ayah.”

Edward tersenyum tipis. Menatap Anna penuh keyakinan. “Kita akan terus belajar dalam menjalankan peran ini. Mohon kerja samanya, ya?”

Anna tersenyum dan mengangguk. “Iya.”

Perbincangan mereka diakhirii dengan satu kecupan yang Edward bubuhkan pada kening Anna.

Momo as Emily Nako as Natalie


Anna tersenyum kala menyambut Emily yang memasuki rumahnya. Perempuan itu mempersilahkan temannya masuk dengan Amy yang ada dalam gendongannya. Emily pun tak datang sendiri, ada Natalie yang masih merasa malu dan sembunyikan di balik kakinya.

“Aiden kerja lagi?” tanya Anna berbasa-basi. Emily langsung mengangguk. “Yap, dia beneran cuma ngajak lunch aja.”

Anna mempersilahkan keduanya untuk duduk dengan dirinya yang duduk di single sofa. Perempuan itu menatap pada Natalie seraya bertanya, “Nata, how are you?

B-baik,” jawab anak perempuan itu dengan pelan. Anna tersenyum sampai matanya pun ikut tersenyum.

“Aku punya beberapa cemilan, silahkan dicoba,” ucap Anna kemudian sembari melihat pada makanan yang sudah ia tata, bahkan lengkap dengan teko berisi sirup jeruk yang menyegarkan.

“Wah padahal gak usah repot-repot. Oh iya, kita bawa ini untuk kalian,” ucap Emily seraya menyerahkan tote bag yang ia bawa. Mengerti Anna tak mungkin langsung mengambilnya karena ada Amy, Emily menaruh itu di atas ruang sofa.

Thank you so much.

You're welcome.”

Emily kini menatap pada bayi yang ada digendongan Anna. “Oh... Amy is so cute! I want to pinch her cheeks but I can't.

Emily mengangkat Natalie agar duduk di pangkuannya, supaya anak berusia empat tahun itu dapat melihat teman barunya. “Lihat, Nat. Ini Amy Kwon, teman baru kamu.”

Kedua teman sebaya itu tanpa sadar ikut tersenyum kala Natalie mengeluarkan senyuman lebar begitu melihat Amy. “Kecil,” ucap Natalie.

“Dulu kamu juga kecil,” balas Emily.

“Emily, kalau mau sentuh Amy boleh. Tapi cuci tangannya dulu,” ucap Anna.

Emily menggeleng. “Buat sekarang aku mau lihat dulu aja, ya. Amy masih kecil, aku takut nyakitin dia padahal niatnya mau menyayangi walau udah cuci tangan,” ucapnya diakhiri dengan tawa. Walau kesannya seperti bercanda, tapi Emily serius dengan ucapannya.

“Segede Amy ini lebih butuh orang tuanya dibanding disentuh orang lain. Tapi bukan berarti kalian gak merhatiin kebersihan loh, ya!”

Anna mengangguk. “Iya, dokter udah bilang semuanya kemarin di rumah sakit.”

Setelahnya, kedua teman sebaya itu pun berbincang. Anna mempersilahkan ketika Natalie meminta untuk menyalakan televisi karena kartun favoritnya sudah mulai. Namun, dia meminta agar volumenya tidak terlalu keras.


“Ada yang mau datang lagi, Na?” tanya Emily ketika mendengar suara pintu yang diketuk. Anna menggeleng, hanya Emily yang mengabari akan datang. Ini pun belum jam pulang Edward.

“Aku bantu bukain, ya,” ucap Emily lagi dan Anna mengangguk. “Makasih, Mil.”

Ketika pintu dibuka, Anna dapat melihat sosok yang tak begitu asing untuknya. Emily pun kenal dengan perempuan itu. Makanya dia meminggirkan tubuhnya agar yang baru datang dapat masuk.

“Ah, Mama. Kenapa gak mengabari dulu?” tanya Anna seraya berdiri.

Tidak, itu bukan ibunya. Itu ibu tiri Edward, Catherine.

“Sudah, mungkin kamu belum baca. Saya sekalian lewat, jadi mampir dulu.”

Anna mengangguk. “Maaf ... saya belum buka HP lagi.”

Catherine hanya mengangguk. Dia melihat pada Amy yang ada di gendongan Anna lalu tersenyum. Catherine hendak mengambil alih Amy dari gendongan Anna. “Oh, baby—”

Ucapannya terhenti karena Anna mengambil langkah mundur. Anna juga sedikit mengeratkan gendongannya.

I just want to carry her.

Anna menunduk. “Maaf, tapi tolong cuci tangan dulu, ya, Ma. Mama dari luar ....”

Catherine menurunkan tangannya. “Baiklah.” Lalu menuruti apa kata Anna.

Anna menghela napas dan melihat pada Emily. “Maaf, ya.”

“Eh gak usah minta maaf. Ini aku harus pulang atau—”

Stay here, please.

Emily mengangguk paham. Meski Anna belum mengatakan soal ini, Emily bisa menangkap ada ketidaknyamanan dalam diri Anna.

Catherine kembali dengan tangannya yang sudah dicuci. Dia lekas mendekat pada Anna dan Anna sekarang tak bisa mencegahnya untuk menggendong Amy.

“Ma, maaf tapi Amynya jangan diciumi lagi, ya. Dia masih kecil,” ucap Anna dengan nada lembut. Berharap ibu mertuanya itu dapat mengerti.

“Loh? Dulu Candy sebesar ini juga saya ciumi tidak apa kok. Kamu ini orang mau menyayangi malah dilarang.”

“Tapi, Ma ... Candy is your baby, while Amy is mine.

“Saya gak melarang mama untuk menyayangi Amy, tapi tolong mengerti kalau Amy masih sensitif.”

“Kamu mau menggurui saya?”


“Kasih tahu Edward soal tadi, Na! Pokoknya kamu harus kasih tahu.”

Ucapan Emily sebelum pamit terngiang-ngiang di kepalanya. Anna menatap ragu pada Edward yang kini ada di hadapannya. Laki-laki itu baru selesai mandi selepas pulang kerja.

Edward menatap pada Anna yang tak kunjung berbicara. Istrinya itu sekarang malah terlihat melamun.

“Anna,” panggil Edward. “Katanya kamu mau bilang sesuatu.”

Anna tersadar dan dia mengerjap beberapa kali. Perempuan itu balas menatap pada Edward kemudian menggeleng tanpa ia sadari.

“Saya cuma mau bilang kalau saya belum sempat masak buat makan malam. Hari ini, boleh, 'kan, kalau kita pesan dari luar?”

Hoshi as Edward Sana as Anna. Zoa as Amy.

Welcome home, Anna,” ujar Edward kala membukakan pintu rumah yang sudah tak Anna datangi hampir tiga hari. Laki-laki itu merangkul Anna di mana ada Amy dalam gendongannya, membawa keduanya hingga duduk di atas sofa.

Setelah itu, Edward kembali ke luar. Untuk mengeluarkan barang-barang mereka dari mobil. Untuk beberapa menit, hanya ada Anna yang mengamati Edward yang sibuk mondar-mandir. Mulai dari membereskan barang yang mereka bawa ke rumah sakit hingga ruang tamu yang agak berantakan akibat ditinggalkan cukup lama.

Edward baru kembali menghampiri Anna dan Amy dengan segelas air di tangannya. “Minum dulu,” katanya sembari menyerahkan gelas itu pada istrinya.

Anna tersenyum tipis dan menerimanya. “Thank you.

Edward balas tersenyum dan menyandarkan dirinya. Anna mengetahui bahwa laki-laki ini merasa lelah, terbukti dengan napasnya yang terburu-buru.

“Edward,” panggil Anna.

“Hm?”

“Ada satu hal yang belum kamu lakukan.” Mendengar itu, Edward langsung menegakkan duduknya. Anna dapat menangkap, ada kepanikan dari wajahnya.

“A-apa?”

“Kamu belum menyambut Amy di rumah ini. Tadi kamu hanya menyambut saya.”

Untuk beberapa saat, keheningan meliputi mereka, hingga akhirnya terdengar tawa canggung dari yang lebih tua. Edward kembali merubah posisinya, menjadi belutut di hadapan Anna.

Tangannya memegang pipi Amy dengan perlahan, masih ada ketakutan dalam dirinya—takut untuk menyakiti Amy. Lalu katanya sambil tersenyum, “Selamat datang di rumah our little princess, Amy. Rumah ini akan kami usahakan agar menjadi tempat yang nyaman untuk kamu tumbuh.”

dan hal itu lah yang akan ada selanjutnya di bagian ini. Tentang Edward, Anna, dan usaha mereka untuk menghidupkan peran baru keduanya; menjadi orang tua.


Hujan belum lama reda, sehingga ketika Anna membuka pintu, suhu dinginnya masih terasa. Perempuan itu memeluk dirinya sendiri sembari menarik napas dalam-dalam.

Amy baru saja tertidur dan Edward masih membenahi ruang kerjanya yang akan dijadikan sebagai kamar Amy nantinya. Laki-laki itu sengaja menyicil karena tak ingin menyerahkan semua tentang Amy pada Anna sendirian.

Anna menghela napasnya sekali lagi. Sudah dua minggu semenjak Amy hadir di antara keduanya. Mereka sama sekali belum benar-benar membicarakan tentang hubungan mereka. Obrolan yang terjadi selalu saja tentang kebutuhan Amy.

Sosok itu terdiam di depan jendela. Memandangi langit yang dengan samar telah dihiasi oleh bintang-bintang. Setidaknya, ini berhasil membuat Anna dapat menenangkan pikirannya.

Keheningan yang Anna rasakan usai kala ada sepasang tangan yang melewati tubuhnya. Tangan itu bergerak untuk menutup jendela.

Sebelum beralih tujuan, pemiliknya sempat berkata, “Maaf, Anna.” lalu menaruh tangannya di atas pundak yang lebih muda. Menarik Anna untuk sedikit menjauh dari jendela.

“Maaf,” katanya lagi setelah menjauhkan tangannya. “Jendelanya saya tutup. Dingin, tidak baik untuk keadaan kamu sekarang.”

“Edward, ini hampir tiga minggu, i'm fine,” balas Anna.

“Maaf ...,” balas Edward menggantung.

Anna menggeleng, memaklumi. Entah kenapa, Edward jadi sering melontarkan kata maaf sekarang.

Hening kembali meliputi keduanya. Anna kembali menatap ke arah luar walau terhalangi oleh jendela. Edward tetap ada di belakangnya dengan tangan yang menggantung di udara, ragu untuk menyentuh pundak Anna lagi atau tidak.

“Edward, can i ask something?” tanya Anna tiba-tiba dan Edward menggangguk, “tentu.”

Do you think two people can stay together for a long time even if they don't fall in love? Maksud saya ... sebagai pasangan.”

Yang ditanya terdiam untuk beberapa saat. Memikirkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh istrinya.

“Uhm ... i think no? Mereka gak mungkin lama bersama tanpa rasa. Mungkin mereka hanya gak sadar atau gak mau mengakui.”

“Dua orang ini bisa ngerasain bahagia bareng seakan dunia hanya untuk mereka. Keduanya juga bisa ngerasain sedih hingga mewakilkan penderitaan masing-masing. Dengan semua itu, kenapa mereka gak bisa sadar kalau mereka saling cinta?”

Satu tanya kembali Anna ajukan. Satu diam kembali Edward beri sebagai tanggapan pertama.

I don't know, Anna. Manusia itu beragam, mereka luas. Bahkan terkadang mereka dapat menyadari apa yang orang lain rasakan tapi tidak dengan diri sendiri,” balas Edward. Mereka berbincang masih dengan Anna yang membelakangi Edward walau jarak mereka sudah lebih dekat.

Mata Anna masih setia pada langit.

“Kamu dulu bilang kalau yang tahu perasaan kita adalah diri kita sendiri. Iya, 'kan?”

“Iya.” Balasan dari Edward, membuat Anna kembali bertanya, “Edward, kita ini sebenarnya layak gak, sih, untuk merasakan perasaan masing-masing dan mengakuinya?”

Hening terjadi lagi antara keduanya. Anna menghela napas, Edward tak pernah menjawab sesuatu secara spontan. Bahkan untuk pertanyaan sepele sekalipun.

“Anna,” panggilnya sembari mendekat. Anna dapat merasakan punggungnya yang menemui dada Edward.

Can i hug you?

You can, Ed.”

Detik selanjutnya, Anna dapat merasakan hangat dari tubuh Edward. Laki-laki itu memeluknya dari belakang seraya menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher yang lebih muda. Anna memejamkan mata, turut menikmati.

“Saya gak pandai buat mengungkapkan perasaan lewat perkataan. Namun, kamu bisa merasakan lewat apa yang saya lakukan juga bahasa tubuh saya. Saya pun dapat merasakannya lewat apa yang kamu lakukan dan beri, Na.”

Edward melepaskan pelukannya, memutar tubuh Anna perlahan agar dapat membalas tatapannya. Tangan kanan Edward naik, menjadi menghiasi satu sisi wajah Anna.

“Ini bukan lagi tentang perasaan saya atau kamu. Ini sudah tentang perasaan kita.”

Anna hanya ingin mendengar itu.

Bukan berarti dia meragukan Edward. Sejak kehamilannya hingga sekarang dengan segala yang telah Edward lakukan untuknya, tentu Anna dapat menyadari bagaimana perasaan laki-laki itu sekarang.

Tak ada salahnya juga, 'kan, kalau Anna menginginkan sedikit kelebihan? Sebagai istri, Anna berhak mendapat pernyataan seperti itu.

Thank you,” balas Anna sebelum berjinjit untuk mengecup bibir Edward secara sekilas.

Edward mengangkat kedua alisnya, terkejut. Namun kemudian Anna dapat melihat rona samar di pipinya, hal itu membuatnya tertawa karena gemas. Edward ujungnya ikut tertawa karena malu.

“Kenapa malu? Kita udah lebih dari itu makanya ada Amy.”

Edward menggeleng. “Gak tahu ... saya kaget.”

“Ayo ke kamar, Ed. Ayo istirahat,” ajak Anna diakhiri dengan senyuman tipis. Edward balas tersenyum dan lalu menggenggam tangan istrinya. Mereka pun berjalan ke kamar dengan tangan yang saling bertautan.

Kemudian mereka beristirahat.


Sana mendapati Soonyoung masuk ke ruangan mereka dengan membawa dua gelas kopi dingin. Laki-laki itu meletakkan salah satunya di meja Sana lalu kembali menduduki kursi kebenarannya.

“Akhirnya! Makasih, Soon,” ucap Sana. Dia sudah cukup pusing walau ini belum sampai setengah hari bekerja. Kopi setidaknya dapat mengendalikan kewarasannya.

Soonyoung hanya mengangguk sebagai balasan. Kembali berkutat dengan laptopnya.

“Oh iya, nanti malem mama ngundang makan malam. Lo datang, ya, ajak Eunha juga.”

Sana mengangguk. “Oke. Kali ini ada apa?”

“Gue ulang tahun,” ucap Soonyoung dan mata Sana membulat mendengar itu.

“Eh iya, duh, gue lupa! Gue belum beli apa pun. Soonyoung, maaf, nanti balik kerja gue langsung beli sesuatu.”

Soonyoung menatap pada Sana. “Santai, Na. Gue bukan orang yang perlu lo prioritasin untuk dikasih kado.”

“Tapi mau gimana pun, lo bukan orang yang biasa aja buat gue, Soon.”

Soonyoung terdiam.

“Kita bareng tuh bukan cuma di tahun ini. Gue sama lo udah hafal satu sama lain, bahkan pasangan kita percaya buat nitipin kita ke satu sama lain.”

Sana menatap kosong pada layar laptopnya. Sebelum akhirnya sadar kalau yang dia ucapkan sukses menghadirkan suasana yang berbeda di ruangan ini.

Sana menampilkan senyumnya, berharap Soonyoung tidak akan canggung setelah ia mengatakan itu.

“Pokoknya gue tetep mau beliin kado. Sekalian Heeyul sama Jihoon juga gue beliin! Mau bilang makasih, karena udah kasih gue gaji yang tinggi,” ucapnya berusaha terdengar ringan.

Soonyoung tersenyum tipis. “Gue juga mau bilang makasih. Makasih karena masih berkenan buat hadir di ulang tahun gue buat ke sekian kalinya.”

“Sama-sama. Lo juga, 'kan, ngelakuin itu!”

Soonyoung terkekeh. “Jangan lupa, Na. Cewek lo banyak yang ngincer.”

“Soonyoung, lo jangan ikut-ikutan, PLEASE!”

“Jangan teriak, Sana. Kita di kantor.”

Hari ini beneran gak akan masuk?” tanya Sana untuk ke sekian kalinya pagi ini.

“Iya. Aku mau ngabisin waktu sama kalian,” jawab Soonyoung.

“Tapi aku, 'kan, harus ke sekolah.”

“Ya gak papa, aku bisa sama Selena dulu. Terus nanti jemput kamu dan kita pergi habis itu nitipin Selena ke mama.”

Dahi Sana mengernyit mendengar itu. “Kok dititipin?”

Soonyoung tidak langsung menjawab. Dia mengalihkan matanya dari Sana, tampaknya laki-laki itu ragu mengungkapkan keinginannya.

“Gak boleh, ya?”

“Aku tanya kenapa dulu, Soonyoung.”

“A-aku ... mau ... kita .. aku berdua kamu.” Soonyoung meringis setelah mengatakan itu. Ia melihat pada istrinya yang menatapnya bingung.

“Gimana?” tanya Sana. “Oh, kamu mau kita berdua aja?”

Soonyoung mengangguk. “Boleh, ya? Hari ini aja ... kado ulang tahunku.”

Sana tersenyum, menahan gemas. Soonyoung mengucapkan itu dengan tanpa berani menatap ke arahnya.

Tangan Sana bergerak untuk menghiasi sisi wajah Soonyoung. “Boleh, kok. Tapi Selena jangan nginep, ya?”

Soonyoung mengangguk setuju. “Nanti sore aku jemput dia.”

Sana tersenyum. “Terus selain berduaan kamu mau apa lagi?”

“Apa pun asal berdua, mau cuma tiduran pun gak papa,” jawab Soonyoung.

“Yakin? Memang kamu gak ada hal khusus yang diinginkan?”

Soonyoung terdiam. Sekali lagi dia menghindari tatapan mata Sana. Kebiasaannya jika merasa gengsi.

“Bilang aja, Soon.”

“Aku malu,” ucap Soonyoung.

“Kenapa harus malu, sih? Kita ini nikah bukan cuma setahun loh.”

Lagi, laki-laki itu terdiam. Tak lama Soonyoung mendongakkan kepalanya.

“Aku mau pukpuk di kepala.”

Rasi tidak tahu kenapa Shena mendatanginya dengan wajah yang panik. Perempuan dengan rambut ikal itu datang membawa setangkai bunga matahari dan sebatang cokelat.

Tumben.

“Kenapa?” tanya Rasi tenang.

Shena menatapnya tidak Terima. “Kenapa? Ini, 'kan, ulang tahun Kak Rasi! Aku panik karena baru tahu hari ini.”

Rasi tersenyum tipis. “Sini, duduk dulu,” katanya sambil bergeser. Memberi Shena ruang untuk duduk di sana.

Rasi memangku dagunya dengan sebelah tangan lalu menoleh ke arah Shena. “Kamu gak berkewajiban untuk ngasih saya kado, Shen.”

Bibir Shena mencebik tidak terima. “Aku mau ngasih, Kak Rasi partner pertamaku soalnya. Ini, aku bawain bunga sama cokelat. Dimakan, ya!”

“Bunganya harus saya makan?”

Shena menggeleng cepat. “Ya, enggak dong! Cokelatnya aja, Kak Rasi bisa mikir, 'kan?”

Rasi terkekeh. “Kalau gitu, makasih. Makasih banyak, Shena.”

Shena mengangguk dan tersenyum lebar. “Sama-sama dan oh, ya, selamat ulang tahun, Kak!”

“Kenapa ngasih saya bunga matahari?” tanya Rasi.

“Soalnya setiap lihat bunga matahari aku selalu keinget sama Kakak. Bunga matahari juga sering dijadiin hadiah buat hari istimewa kok, Kak. Soalnya dia ngelambangin kegembiraan.”

Shena menatap Rasi. “Aku harap Kak Rasi bisa lebih ceria nanti. Aku suka lihat senyuman Kak Rasi tau. Jangan pelit senyum, ya, ke siapapun!”

Rasi mengangguk. “Saya usahain. Makasih, ya, kamu turut ngebantu saya buat gak mudah badmood.”

“Sama-sama. Aku harap walau gak ada aku, kakak tetap bisa kayak gini, ya.”

“Hari ini Aru bakal ke sini,” kata mama. Gue yang tadinya fokus cuci piring jadi mikir ke mana-mana.

“Ngapain?”

“Hari ini hari apa, Ci?”

Gue mengernyit karena mama malah balik bertanya. “Rabu?”

Mama mengangguk. “Bener, sih. Tapi ini juga hari ulang tahun kalian.”

Gue menghela napas. Sial. Di tahun sebelumnya, mungkin gue selalu menantikan kedatangan hari ini. Mama bakal masak banyak hanya untuk gue.

Namun, dua tahun ke belakang gak begitu spesial. Terlebih ketika gue mengingat bahwa gue sama Aru lahir di hari yang sama.

“Ibu mau masak buat kalian berdua. Tahun kemarin gak sempat soalnya Aru konser.”

Gue terdiam sebentar. “Kalau gitu, Cici mau beli permen dulu.”

“Loh buat apa?”

“Buat Aru.”

Malamnya, Aru beneran datang ke rumah. Gak ada papa, mungkin karena mama masih enggan buat bertemu sama dia. Aru datang memakai bucket hat favoritnya, pemberian gue kala gue masih mengetahui dia sebagai sekedar layanan curhat.

“Makan yang banyak, ya, Ru. Maaf mama baru bisa ngerayain ulang tahun kamu sekarang.”

Gue bisa lihat Aru senyum. Senyumnya itu beda ... dia beneran bahagia. Padahal ini sekedar masakan mama. Mungkin Aru emang mendamba sosok ibu sejak kecil.

“Makasih banyak, ma,” ucapnya masih kedengaran canggung dengan panggilan baru itu.

“Sama-sama. Cici juga makan yang banyak, ya.”

Gue senyum. “Makasih, Ma.”

Selesai makan, mama minta Aru untuk nginep di sini. Meski kelihatan canggung, dia tetap menurut. Sekarang, dia lagi nonton siaran olahraga.

“Aru,” panggil gue, turut bergabung sama dia buat duduk di sofa yang menghadap ke TV.

“Kenapa, Ci?”

“Makasih buat botol minumnya,” ucap gue. Aru membelikan botol minum yang sempat gue idamkan tapi belum dibeli karena ada kebutuhan lain yang lebih utama.

“Sama-sama. Moga suka, yak.”

“Gue suka, kok. Gue boleh pinjem tangan lo gak?”

Meski bingung, Aru tetap menyodorkan tangannya. Gue meletakkan permen lolipop itu di sana, tapi gue gak langsung menjauhkan tangan gue dari tangan Aru.

Mirip seperti tahun lalu.

“Kenapa ngasih permen?”

“Soalnya lo ulang tahun hari ini.”

“Soalnya kita ulang tahun hari ini. Gue beli dua.”

“Tapi sebelum hari ini, urang sibuk buat nyiapin konser sekarang. Gak sempet beli hadiah, jadi urang kasih ini dulu. Anggap aja DP.”

“Gue sebenarnya sempat untuk beli sesuatu yang lain, tapi gue bingung harus menyambut hari ini kayak gimana. Jadi gue kasih ini dulu, ya.”

Aru senyum lama-lama cowok itu malah ketawa. Ini hampir sama dengan tahun kemarin, tapi jika sama Aru semua bakal kerasa berbeda seakan gue baru mengalaminya.

“Hbd, ya, Ci. Lo manusia paling cakep, paling hebat yang urang kenal tahun ini. Makasih karena udah luangin waktu lo buat nontonin Aksa.”

“Selamat ulang tahun, ya, Ru. Lo manusia paling berkesan buat gue selama ini. Makasih karena udah luangin waktu lo buat ke sini dan bikin mama senyum,” ucap gue lalu memberikan tepukan pada pundaknya. Setelah itu, gue kembali menciptakan jarak antara kami berdua.

“Urang yang makasih, Ci. Makasih karena udah ngasih kesempatan buat urang ngerasain semua itu. Urang boleh minta sesuatu gak? Anggap aja kadonya.”

Gue mengangguk. “Boleh, lo mau apa?”

“Peluk. Sebentar aja.”

“Sini, lama juga gak papa.”

Detik berikutnya, Aru menabrak tubuh gue. Dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gue. Untuk beberapa menit, gue dan dia gak ada yang bicara.

“Aru, gue juga mau ngasih tahu sesuatu.”

“Apa, Ci?”

“Sekarang lo udah boleh buat memperlakukan gue seperti yang seharusnya. Mulai sekarang kita bisa ngabisin waktu tanpa menyembunyikan status saudara kita,” ucap gue, “maaf, ya. Kemarin gue egois dan minta lo buat bersikap seolah kita tetaplah dua orang yang gak punya ikatan.”

Aru gak balas. Namun, gue bisa merasakan anggukan dia beri.

Aru mempererat pelukannya. Lalu katanya, “Ci, bahagia terus sama dia, ya. Dia kemarin nemuin gue dan bilang kalau dia mau bantu gue buat jaga lo.”

Hoshi as Edward. Sana as Anna. Zoa as Amy.

kissing, typo.


“Amy ada uangnya?” tanya Anna ketika Amy mengatakan kalau ia ingin mentraktir mereka berdua untuk makan malam. Anak tunggalnya itu mengangguk dengan antusias.

“Ada kok, Mi! Aku sengaja nabung, nanti aku juga nabung lagi buat ulang tahun mami.”

Anna terdiam sebentar dan tersenyum tipis. “Kalau kita bayar berdua gimana? Nanti kita beliin papi makanan paling mahal.”

“Hmm ... gini aja, mi. Tetap aku yang traktir, tapi semisal uangku kurang mami boleh bantu. Gimana?”

Anna mengusak rambut anak itu gemas. “Baiklah, as you wish, princess,” katanya lalu kembali menonton televisi.

Mereka berdua sudah bersiap-siap untuk pergi. Hanya tinggal menunggu kepulangan Edward dari kantornya.

“Sekarang kita tinggal tunggu papi. Omong-omong, papi sama mami gak mau aku hari ini nginep di rumah nenek aja?” tanya Amy membuat Anna menatapnya bingung.

“Loh, kenapa harus nginep? Papi sama mami gak akan pergi, kok.”

Amy menatap Anna dengan meledek. “Ya ... siapa tahu ... mami mau ngasih papi hadiah spesial.”

Anna mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu wajahnya terlihat memerah. Dia menggeleng setelah itu, membuat Amy yang memperhatikannya tertawa gemas.

“Mami udah ngasih papi hadiah paling spesial dari lama, sampai sekarang gak ada yang bisa gantiin itu,” ucap Anna tanpa menatap pada Amy, masih malu dan menyesal karena tanpa sadar sudah bereaksi demikian di depan putrinya.

Amy menatap Anna dengan binar penasaran. “Apa itu, Mi?”

Anna balas menatap lalu mengusap pipi Amy pelan.

“Kamu, Sayang.”


Where are we going?” tanya Edward ketika dua orang yang ia sayang sudah duduk dengan nyaman dalam mobilnya.

“Aku udah kirim location-nya ke papi,” jawab Amy dan Edward mengangguk paham. Ia lantas menyalakan ponselnya untuk melihat tujuan mereka.

“Oh ini, 'kan ...,” ucap Anna menggantung, ia turut melihat lokasi yang Edward buka.

“Restoran tempat mami kerja dulu, 'kan? Aku minta alamatnya ke Tante Cherry.”

Amy menatap keduanya dengan bingung karena tak kunjung mendapat balasan. “Kenapa, kok diem?”

Edward terkekeh canggung. “Maaf, jadi kita pergi ke sana, 'kan?” tanyanya sambil menatap pada Anna. Untuk beberapa detik ada hening di antara mereka, sebelum akhirnya Anna mengangguk sebagai balasan.

“Ayo.”

“Uhm ... kalau kalian gak nyaman kita bisa ganti tempatnya,” ucap Amy merasa tak enak. Dilihat dari reaksi kedua orang tuanya, ia tahu ada yang tidak beres.

Anna tersenyum. “Gak papa, kok. Ayo ke sana, Ed.”

Edward mengangguk seraya melajukan mobilnya menuju tempat itu.

Sesampainya, sebelum masuk Anna sempat terpaku di depan pintu. “This place has changed a lot,” gumamnya.

Edward merangkul Anna lalu menuntunnya untuk masuk ke sana. Amy sudah masuk lebih dulu.

“Benar gak papa?” bisik Edward.

Anna tersenyum tipis dan mengangguk. “Iya.”

Alright.”

Ketika sudah mendapatkan meja dan buku menu. Amy meringis melihat daftar harganya. “Ternyata benar mahal, ya.”

“Kalau mau, papi aja yang traktir hari ini,” balas Edward dan langsung diberi gelengan oleh anaknya.

“Aku bawa cukup banyak kok—tapi kalau kurang boleh bantu,” jawabnya diakhiri dengan kekehan.

“Kalau begitu, Amy dulu yang pesan, ya.”

“Tapi ini, 'kan, ulang tahun papi ... harus papi dulu, dong.”

Edward menggeleng. “Gak papa, kamu dulu aja.”

Amy mengangguk pasrah. Menurut. Dia kembali memandangi satu per satu makanan di buku menu itu.

Steak adalah ikon tempat ini. Mungkin kamu mau coba,” ucap Anna ketika Amy tampak kebingungan.

“Kalau daging aku takut gak bisa habis. 'Kan, sayang kalau mahal ternyata gak habis.”

How about spaghetti? I think you will like the pesto one?

“Pesto itu yang mana, ya, Mi?”

“Yang sausnya hijau, Sayang.”

Mata Amy berbinar, kembali teringat dengan makanan yang Anna maksud. “Oke, aku itu aja.”

“Kamu mau steak-nya?” tanya Edward.

“Mau, tapi aku, 'kan, gak terlalu suka.” Amy memang tidak begitu menikmati daging. Terlebih kalau itu bukan ayam.

“Kita bisa pesan yang untuk dimakan bertiga. Jadi, biar papi sama mami yang habiskan, ya.”

Mata Amy berbinar. “Boleh! Papi sama mami mau pesan apa?”

“Hm, sebentar.”

“Kok itu? Papi harus pesan yang mahal dong, 'kan, lagi ulang tahun. Mami juga ...,” protes Amy kala melihat menu yang Anna tulis.

“Ingat gak, apa yang pernah mami bilang soal traktir, Sayang?”

Amy terdiam, mengingat. “Kita harus memesan yang gak lebih mahal dari yang mentraktir?”

“Pintar. Tapi kami benar-benar mau ini, kok, Sayang. Dulu papi sama mami sering beli menu ini.”

Amy mengangguk paham. Setelah itu mereka memesan minuman, menyampaikan pesanan mereka, dan menikmati waktu bersama kala di restoran.

Di sela itu, Anna diam-diam bernapas lega karena yang ia khawatirkan tidak terjadi.


“Aku puas sama makanannya, tapi gak mau sering-sering ke sini ah,” ucap Amy kala mereka sudah berada di luar. Berjalan menuju parkiran.

“Karena mahal?”

Amy mengangguk. “Itu salah satunya, sih. Alasan lainnya karena mami gak begitu kelihatan nyaman tadi.”

“Mami menikmatinya kok, Sayang. Terima kasih, ya, sudah traktir kami berdua,” ucap Anna seraya merangkul putrinya.

Edward tersenyum melihat itu. “Terima kasih banyak, Amy. Papi senang hari ini,” ucap Edward.

Amy balas tersenyum. “Kembali kasih, sekali lagi selamat ulang tahun, Papi!”

Di parkiran, sebelum mereka memasuki mobil ada seseorang yang memanggil Anna. Hal itu membuat langkah ketiganya tertahan.

“Anna! Itu kamu, 'kan?”

Anna spontan memejamkan matanya kala mendengar suara itu. Edward menatap Anna ragu dan Amy bingung dengan suasana ini.

“Ah selamat malam, Pak,” ucap Anna formal seraya menunjukkan senyumannya.

“Ternyata benar kamu, saya pikir tadi bukan,” ucap orang itu lalu menatap pada Amy dan Edward secara bergantian.

Laki-laki itu menunjuk pada Amy. “Dia ....”

“Putri kami, Pak,” ucap Anna dengan sedikit penekanan.

“Sudah besar, ya. Tak terasa kalau kamu sudah sangat lama meninggalkan kami yang membantu namamu naik sebagai pâtissière hebat.”

Anna mengepalkan tangannya tanpa sadar. Hal yang tak ia inginkan terjadi, terlebih kali ini di depan Amy.

“Padahal kamu tetap bisa hidup enak loh kalau bekerja di sini. Gak perlu lelah mengurus rumah dan anak. Uang kamu akan banyak dan namamu juga akan makin dikenal.”

“Sa—”

Belum sempat Anna mengucapkan kalimatnya. Amy sudah memotong dengan berkata, “Bapak ini kenapa, sih? Bicaranya ngaco banget.”

Mantan atasan Anna itu mengernyit. “Kamu anak yang tidak sop—”

“Cukup,” potong Edward, “kalian masuk ke mobil sekarang juga.”

“Tapi, papi—”

“Masuk, Amy.”

Mau tak mau akhirnya Anna dan Amy menurut. Edward jarang menunjukkan sisinya yang satu ini, makanya terlihat lebih menyeramkan dari biasanya.

“Saya belum selesai bicara dengan Anna,” ucap laki-laki itu.

Edward menatapnya. “Pembicaraan kalian sudah selesai sejak istri saya memutuskan untuk keluar dari restoran ini.”

“Kamu ini membujuk istrimu yang tidak-tidak! Dia merelakan karirnya hanya untuk menikah dengan kamu!”

Edward menggeleng. “Dia tidak merelakan karirnya untuk menikah dengan saya. Itu adalah pilihannya agar dia bisa semakin berkembang.”

“Berkembang apanya? Kamu malah membuatnya jadi mundur!”

“Anna punya dua kafe sekarang. Dia juga paham bagaimana harus memperlakukan karyawannya, tidak seperti Anda,” jawab Edward, masih berusaha menjaga nada bicaranya.

“Jaga omongan kamu, ya!”

“Anda yang harusnya menjaga perkataan Anda,” ucap Edward. Laki-laki kelahiran Juni itu pun membuka pintu mobilnya. “Tidak ada yang perlu Anda bicarakan lagi dengan istri saya.”

Sebelum masuk, Edward juga sempat berkata, “Selama dia membangun kafenya, tak pernah ada yang mengenali dia sebagai mantan chef dari restoran ini. Faktanya kalian tidak memberikan pengaruh sebesar itu.”


Keadaan ketiganya saat sampai di rumah adalah canggung.

Anna mengusap rambut Amy pelan lalu berkata, “Istirahat, ya, Sayang. Besok kamu masih sekolah.”

Setelah berkata itu, Anna menuju dapur. Amy mulai menunjukkan wajah tidak enaknya.

“Papi, maaf ... ini karena aku ngajak makan di sana.”

Edward tersenyum tipis menenangkan. “Bukan, Amy. Bukan karena kamu. Makasih, ya, udah traktir kami berdua.”

“Tapi, Mami ....”

“Amy nurut dulu apa kata mami tadi, ya? Biar papi yang ngomong sama mami.”

Amy akhirnya mengangguk pasrah. “Kalau gitu papi susul mami aja. Aku mau diem dulu di sini sebentar baru ke kamar.”

Edward mengangguk. “Okay, jangan lama-lama, ya. Selamat istirahat,” kata Edward lalu menyusul Anna ke dapur.

Amy yang merasa tak enak diam-diam membuntuti ayahnya itu. Setidaknya ia dapat tertidur tenang jika sudah mengetahui maminya akan baik-baik saja.

Di dapur, Anna tengah diam di depan dispenser. Tampaknya dia akan mengambil minum tapi tertahan oleh pikirannya sendiri.

Edward berjalan mendekat, mengambil alih gelas yang dipegang oleh Anna lalu meletakkan di dekat wastafel. Laki-laki itu kemudian mengangkat tubuh Anna agar duduk di atas meja.

“Edward—”

“Diam sebentar di sini,” potong Edward sembari menatap pada Anna yang kini posisinya lebih tinggi darinya.

You know, anna? I am proud of you,” katanya.

“Saya paham kalau dulu keluar dari restoran adalah pilihan yang berat buat kamu. Terlebih rekan kerja kamu tak begitu baik dalam menanggapinya. Namun, kamu hebat karena bisa membuktikan pada mereka kalau keputusan yang kamu ambil tak kamu sesali.”

“Kamu melakukan semua peranmu dengan baik. Saya paham kamu pasti sempat merasa kewalahan karena perlu menjalankan semuanya, tapi kamu tak pernah menyerah untuk salah satunya.”

Edward menatap Anna dengan lekat. “Menjadi seorang atasan yang juga dapat mengajari karyawannya, menjadi seorang anak, menjadi seorang kakak, menjadi seorang ibu yang selalu sedia untuk Amy, dan menjadi teman hidup saya sampai sekarang. Kamu tak pernah menyerah, untuk semua itu saya ucapkan terima kasih banyak.”

Anna memberanikan diri untuk menatap pada Edward. Matanya tampak berkaca-kaca ketika tangan Anna menghiasi kedua sisi wajah suaminya.

It's your birthday, you should be the one getting all the appreciation.

Edward tersenyum tipis. “Saya sudah mendapatkannya dari Amy.”

“Ed, i can't do all that without you.

“Saya hanya menemani, tak membantu banyak.”

Anna menggeleng. “Kamu sudah banyak membantu saya. Kehadiran kamu pun, sudah sangat membantu.”

Anna menyatukan kening keduanya. Edward spontan memejamkan matanya.

Happy birthday, Dear. Thank you for still standing with me until now.

Edward kembali membuka matanya kala merasakan Anna menjauh. Kini keduanya kembali saling menatap.

Edward awalnya menatap pada sepasang mata yang tak akan pernah bosan untuk dipandang. Namun, perlahan tatapannya itu turun. Menjadi pada bibir yang lebih muda.

“Anna ... can i?

Anggukan dari Anna membawa Edward untuk mempertemukan bibir keduanya. Awalnya hanya sekedar kecupan, tapi lama-lama Edward membawa keduanya untuk menyelam semakin dalam.

Tangan Anna kini menghiasi leher Edward. Cukup lama mereka beradu lidah, akhirnya bibir keduanya menjauh walau masih tersambung oleh benang saliva.

Edward membenamkan wajahnya pada ceruk leher Anna walau napasnya keduanya masih sama-sama memburu. Menyembunyikan wajahnya yang memerah, sama seperti wajah Anna.

Tangan Edward melingkar pada pinggang Anna. “Jam tangan yang ada di tas saya dari kamu, 'kan?”

“Iya. Suka?”

Edward mengangguk. “Apa pun dari kamu, saya suka.”

Anna tersenyum tipis, lalu mengusap rambut suaminya pelan. “Syukurlah.”

Tangan Edward yang semula memeluk, kini menjadi meremas pelan pinggang perempuan itu. Gerakan Anna pada kepala Edward terhenti. Ia dapat menangkap maksud Edward melakukan itu.

But anna, can i get another gift from you?”


Di sisi lain ada Amy yang buru-buru masuk ke kamarnya. Menenggelamkan wajah pada bantal kesayangan.

“Aaa harusnya aku tadi nurut buat cepet masuk ke kamar! Bukannya malah diam-diam ngintip terus mereka—lupain, Amy. Lupain!”

*TW: suicidal attempt , harsh words.


Dulu gue merasa takjub untuk datang ke kota ini. Ini bukan Jakarta yang banyak dianggap sebagai tempat dengan banyaknya pekerjaan. Ini Bandung, kota yang bisa mengabulkan mimpi orang yang paling gue sayang.

Entah apa yang ngebuat gue dulu seyakin itu buat nemenin dia datang ke sini. Padahal di saat itu gue masih kebingungan dengan dia yang tiba-tiba menerima tawaran dari perwakilan agensi yang menghubunginya berkat video cover yang ia buat.

Isi kepala si Binar ini terpenuhi dengan berbagai cara supaya pacarnya bisa meraih apa yang dia mau. Termasuk dengan putus hubungan.

Suatu hari, atasannya menemui gue. Dia menawari gue sebagai manajer mereka karena dia sadar kalau gue udah akrab aja sama yang lain. Saat itu, baik gue atau Gibran gak mengatakan bahwa kami punya hubungan.

Namun entah dari mana, orang ini bisa tahu. Lalu dia menjelaskan perihal beberapa perjanjian yang perlu Gibran turuti kalau dia dan teman-temannya mau debut. Salah satunya adalah perihal gak boleh pacaran sebelum dua tahun karir berjalan.

Gue sebagai budak cintanya tentu setuju tanpa mengatakan ini kepada Gibran. Sebagai gantinya, gue bisa jadi manajer mereka dan membuat gue gak akan jauh dari dia.

Namun, Gibran gak berpikiran demikian. Dia gak mau karena secara gak langsung udah membuang gue. Gue menjelaskan kenapa gue perlu melakukan itu, tapi dia merasa itu adalah hal percuma. Alhasil kami berdebat dan berakhir Gibran meninggalkan gue sendiri untuk merenung.

Yang tanpa disangka, pertengkaran kami disaksiin sama Aru. Makanya dia tahu gimana hubungan gue sama Gibran walau gak terlalu detail.

Sekarang, gue kembali teringat sama malam itu. Bedanya kali ini bukan Gibran yang akan meninggalkan gue, tapi sebaliknya.

Sekarang bukan cuma Aru yang mengetahui bagaimana kacaunya hubungan kami berdua. Namun Ian dan Januar, seseorang yang katanya suka sama gue turut menyaksikannya.

“Ngobrol yang bener,” kata Aru, “urang gak bakal bukain kuncinya sebelum kalian berdua damai. Terserah apa pun keputusannya nanti, asal damai.”

Januar sama Ian keluar, lalu disusul Aru. Gue hendak berlari karena gue gak merasa memerlukan ini. Namun gue kalah cepat dengan suara khas pintu yang dikunci.

Gue menghela napas, lalu jatuh merosot di dekat pintu.

“Aru gak akan tega. Sebentar lagi juga dia buka,” kata Gibran yang tampak tenang. Berbanding terbalik dengan kalimatnya di group chat tadi yang memancing emosi.

Gue gak membalas. Untuk beberapa menit, baik gue atau Gibran gak ada yang bersuara.

“Dulu gue gak tiba-tiba mau nerima tawaran agensi ini. Malam itu gue diusir dari rumah, mereka gak menganggap gue lagi, dan gue frustasi. Waktu itu gue mikir kalau nerima tawaran agensi ini adalah cara paling cepat untuk gue menjauh dari rumah.”

Gue menoleh dan Gibran masih ada di posisinya yang tadi. Duduk menghadap ke arah cermin ruang latihan, tapi matanya setia menatap kaki.

Kami berdua saling membelakangi dalam posisi yang cukup jauh. Namun karena hanya ada kami berdua, gue bisa mendengar suaranya dengan jelas.

“Papa gue menentang anak-anaknya buat bermusik. Tapi gue gak paham kenapa dia gak sekeras itu sama Dika. Adek gue masih boleh kalo mau dengerin radio, adek gue boleh punya gitar di rumah, bahkan sekecil latihan nyanyi buat ujian pun, dia gak diprotes.”

Gibran berhenti sejenak. “Beda sama gue. Gue harus sembunyi-sembunyi kalau mau dengerin musik, bersenandung pun kadang takut. Bahkan gue pernah dipukul cuma karena mau jadi penyanyi.”

“Waktu ketemu sama lo tuh gue ngerasa aman, Nar. Lo dengan suka hati dengerin nyanyian gue. Gak ada yang tahu mimpi yang gue mau selain lo, Binar. Cuma lo yang mau dengerin mimpi gue dan nemenin gue kejar itu. Cuma lo.”

Mendengar itu gue berdiri, berjalan menuju Gibran dengan pelan. Seakan dunia memang sengaja melambat untuk kami berdua.

Gue berdiri menatap punggungnya. Kepalanya masih setia menunduk dan gue belum mau untuk merengkuh cowok yang udah lama gue dampingi ini.

“Ibu gue sakit, Dika marah sama gue karena kelihatan gak peduli. Gue gak tahu apa yang dia omongin sama lo, yang pasti Dika berharapnya lo bisa bikin gue pulang ke sana.”

Gue gak tahu Gibran sadar atau enggak keberadaan gue yang udah ada di dekat dia.

“Ke sana udah gak seharusnya gue sebut buat pulang. Gue udah diusir, udah dibuang, udah gak dibutuhkan. Buat apa coba mereka masih nagih keberadaan gue?”

“Binar, gue mau tetap teguh sama pikiran itu, tapi gak bisa. Gue takut kalau ibu pergi ... walau udah lama gak ketemu, gue masih tahu kalau dia hidup dengan layak aja udah cukup. Gak kayak sekarang, sakit ... gue gak mau.”

“Gibran,” panggil gue pada akhirnya. Gue ikut duduk di sebelahnya lalu mengusap pundak cowok itu.

Ibunya sakit disaat dia belum akur sama keluarganya, terus di sini juga Aksa lagi siap-siap buat keluarin single baru. Gibran makin dibuat penuh pikiran, makin enggan berbicara dia butuh apa.

Gibran mendongak. Menatap gue lalu berkata, “Gue juga takut kalau lo pergi, Binar.”

Gue menghela napas tanpa sadar. Gue merasa kalau buat saat ini yang paling kami butuhkan bukanlah satu sama lain. Kami memerlukan ruang buat merenung sendiri.

“Gibran, lo bisa temuin ibu lo. Sebentar aja, kasih dia lihat kalau lo baik-baik aja. Biar dia gak banyak pikiran dan mendukung kondisinya buat stabil,” ucap gue, mengalihkan pembicaraan.

“Lo gak perlu bicara sama mereka. Dengan ngasih lihat wajah lo ke ibu lo aja itu udah cukup. Pelan-pelan bertahap, mungkin lo bisa jadiin mereka sebagai tempat pulang lagi.”

Gibran tidak membalas, dia malah menatap gue semakin lekat.

“Apa yang mau lo omongin? Jangan dialihin.”

Kan.

Dia pasti nyadar.

“Pengunduran diri gue disetujui sama bos. Jumat ini gue udah resmi bukan lagi manajer kalian.”

“Bin—”

Gue mengisyaratkan pada dia untuk diam. “Gue belum selesai.”

Gibran kembali diam.

“Gue bisa menangkap kenapa lo bersikap kayak gini akhir-akhir ini. Maaf karena gue malah nambah beban pikiran lo dengan sikap gue ini. Gue cuma mau tahu sedikit karena mau gimanapun gue pacar lo, Gib.”

Gue menghela napas. “Gue merasa kita perlu ruang masing-masing, Gib. Buat merenung dan memperbaiki apa yang dirasa salah di diri sendiri. Mungkin gue bakal pulang langsung habis dari sini Jumat nanti.”

Gibran meraih tangan gue yang ada di pundaknya. Mengecup telapak tangan gue dengan dalam.

“Selama merenung itu, gue mau kita jadi dua orang yang gak kenal satu sama lain, Gib.”

“Gue butuh lo supaya tetep waras, Binar.”

Gue menggeleng. “Lo bukan butuh gue, lo butuh buat menuhin keinginan kecil lo untuk lihat ibu secara langsung.”

Gibran menggelengkan kepalanya. “Enggak, gue butuh lo.”

“Tapi gue merasa kita butuh untuk diri masing-masing selama beberapa waktu. Setelah itu, apa pun keputusan kita nantinya gue bakal terima.”

“Keputusan apa lagi?”

“Keputusan lanjut atau enggak.”

Gibran terdiam. “Oke,” katanya dengan pelan dan melepas tangan gue yang tadi ia genggam.

“Maksud lo kita break sebulan, 'kan? Oke, gue terima. Asal lo tetep balik ke gue, Bin.”

Gue menggigit bibir bawah gue tanpa sadar. “Kita ini dari dulu disuruh pisah terus, nyadar gak? Lo kalau gagal ngerebut hati bokap gue mungkin dia gak akan ngebiarin gue nemenin lo kesini. Lalu disuruh putus sama bos dan sekarang ... kita disuruh pisah sama keadaan. Gue sama lo sama-sama gak baik dan kita gak bisa untuk jadi healing masing-masing.”

“Jujur dengan semua itu. Gue ngerasa kalau jalan yang kita raih gak searah, Gib.”

Gibran mendengus lalu mundur. Menciptakan ruang lebih luas antara gue dan dia.

“Kalau lo mau putus bilang. Jangan lama-lama di sini, gue nyesel udah cerita. Lo kalau mau pergi, ya, pergi aja. Gak usah peduliin gue lagi.”.

Gibran bangkit berdiri. Lalu berjalan ke arah kamar mandi dan gue sekali lagi didahului oleh pintu yang tertutup. Gue mengetuk pelan pintu itu.

“Gue cuma butuh kita buat masing-masing untuk beberapa saat, bukan selamanya. Maaf, Gibran, gue agak kesusahan buat bangun kepercayaan sama lo lagi.”

Gibran masih diam di dalam sana. Mengabaikan gue dan gak ada suara air atau benda lain yang tengah digunakan.

“Gue cuma pergi sebentar sambil meyakinkan diri kalau kita layak satu sama lain. Banyak kemungkinan bisa terjadi, Gib.”

“Salah satunya adalah dengan lo yang ninggalin gue dan pas kita ketemu lagi lo mau kita putus,” ucap Gibran terdengar pelan dari dalam.

Gue menggeleng. “Bukan gitu maksud gue—”

“Lo pergi aja! Gue mau sendiri, tolong... please gue mohon.”

Gue mundur selangkah ketika tidak sengaja melihat jari patungnya bergerak. Entah karena ada sesuatu atau memang diarahkan dari dalam.

“Oke,” kata gue, “take your time. Kita ketemu lagi pas lo udah mau bahas kotrak itu.”

“Gue pamit duluan,” sambung gue. Gibran kalau udah kayak gini beneran gak mempan dinasihati. Gue sekali lagi harus menunggu dia buat menjelaskan semuanya.

Tadinya gue mau pergi, tapi gue keburu denger suara teriakan dari dalam. Itu suaranya Gibran disusul sama suara benda yang berjatuhan.

“Gue benci banget, Anjingg! Semuanya aja ninggalin gue! Bangsat!”

“Harusnya gue yang ninggalin mereka! Gue mau mati aja, anjing.”

Gue langsung berlari ke arah pintu yang Aru kunciin. Menggedornya dengan panik supaya mereka mau membuka pintunya. Untung Aru dengan cepat membuka pintu itu.

“Kenapa?”

“Gibran ... di kamar mandi—gue gak tahu.”

Tiga cowok itu langsung menghampiri kamar mandi yang ada di pojok ruangan. Gue mengekori mereka dengan perasaan takut luar biasa.

Gue gak tahu kalau Gibran bisa bersikap begitu.

“Gak ada suara apa-apa, Nar,” ucap Januar.

“Tapi tadi dia banting-banting barang, terus ngumpat terus-terusan. Guys, tolong ....”

Aru buru-buru mendobrak pintu itu. Butuh tiga kali dorongan sebelum akhirnya pintu mau terbuka.

dan kami melihat tubuh Gibran tergeletak di lantai kamar mandi yang dingin. Dengan botol kecil yang entah isinya apa ada di tangan kanannya.

Lee Know as Marvin. Sakura as Cherry.

note : tell about someone's pregnancy, switch roles. kayaknya bisa buat geli.


My Cherry: Kamu udah mau pulang? Our baby wants chocolate ice cream, pap 🥺

Marvin menghela napas begitu membaca notifikasi ponselnya. Memang bukan hal yang sulit untuk sekedar membeli es krim cokelat. Namun dalam keadaan ingin cepat pulang karena padatnya pekerjaan, Marvin merasa ini lebih berat dari biasanya.

Marvin mengambil napasnya dalam-dalam. “Ayo, jangan gini, Vin. Kamu yang mau punya anak,” gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri.

Marvin datang ke rumah dengan membawa satu cup es krim yang diinginkan oleh Cherry dan setumpuk beban untuk menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Marvin sengaja membawanya agar di hari libur besok, ia benar-benar bisa beristirahat.

“Ini es krimnya,” kata Marvin.

Mata Cherry berbinar melihat es krimnya. “Thank you so much, Pap!”

Marvin tersenyum tipis. “Sama-sama. Aku ke kamar dulu, ya. Aku mau lanjutin kerjaan aku.”

“Loh? Makan dulu, Marvin.”

Marvin menggeleng. “Nanti aja, ini biar aku tenang. Tadinya aku mau lembur tapi kasihan kamu.”

“Sebentar aja, Marvin. Makan dulu, aku udah mas—”

“Kamu tuh paham gak, sih? Aku mau nyelesain kerjaan aku! Aku juga mau istirahat dengan tenang. Aku bukan kamu yang enak diem di rumah!”

Selesai mengatakan itu, Marvin langsung masuk ke kamar mereka dengan menghentakkan kakinya. Pintu pun ia banting, entah sengaja atau tidak.

Cherry mengusap perutnya. Dari wajahnya, terlihat jelas kalau ia sedih. Perempuan itu menghela napasnya, mencoba memaklumi.

Looks like tonight it's just the two of us, Dear. Don't be angry, ok? Your papa is tired,” ujar Cherry sembari menunduk. Menatap ke arah perutnya yang sudah membesar.

Begitu Cherry masuk ke kamar, Marvin seperti tak menyadarinya. Entah cuma pura-pura atau tidak, yang pasti Cherry sudah mengantuk dan ingin segera berbaring di tempat tidur. Ia tidak ingin memikirkan hal itu lebih lanjut.

Perempuan itu memutuskan untuk tak mengajak suaminya berbicara. Tanpa kata dia berbaring di tempat tidur lalu memejamkan matanya. Perlahan pergi untuk menjemput mimpi.

Marvin sendiri masih fokus pada laptopnya. Laki-laki itu baru selesai sekitar pukul 11. Dia menoleh ke arah jam lalu ke arah istrinya yang sudah nyenyak.

Marvin meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Laki-laki itu duduk diam untuk beberapa menit sebelum menyusul Cherry untuk menjemput mimpinya sendiri.


Marvin terbangun dengan rasa tak enak pada perutnya. Juga mual yang tak seperti biasanya. Dia berjalan lemah ke arah mandi yang ada di kamar mereka, mungkin ini karena semalam ia tak memasukan sesuap makanan pun ke dalam tubuhnya.

Rasa mualnya semakin menjadi, tapi ketika ingin Marvin muntahkan hanya air liur yang keluar. Laki-laki itu spontan memejamkan matanya ketika sekali lagi merasakan sesuatu pada perutnya. Tidak terlalu sakit memang, tapi rasanya tetap aneh. Marvin merasa ada seseorang yang menendangnya dari dalam.

“Marvin?” panggil Cherry, sepertinya perempuan itu hendak membangunkannya lalu mengajak Marvin untuk sarapan seperti biasanya.

“Cherry, aku di sini,” sahut Marvin, berharap itu bisa terdengar oleh istrinya.

Untungnya, Cherry benar-benar mendengar itu. Cherry masuk ke kamar mandi dan mendapati Marvin yang terduduk lemas di atas toilet. Perempuan itu lantas mendekat dan berlutut di hadapannya.

“Astaga, mual lagi?”

Marvin mengernyit mendengar itu. 'Lagi? Perasaan baru hari ini dah mualnya.'

“Iya,” balasnya, mengabaikan rasa penasarannya.

“Kita harus bicarain ini ke dokter nanti,” ucap Cherry lalu berdiri membantu Marvin untuk berdiri juga. Ketika sudah berdiri, barulah Marvin menyadari ada yang aneh dengan istrinya.

“Sayang?”

“Hm?”

“Perut kamu kok rata? Anak kita ke mana, Sayang?”

Cherry menatapnya heran. Tangan perempuan itu bergerak dan mata Marvin mengikuti arah gerakannya. Hingga pada akhirnya tangan itu berhenti di atas perutnya.

Cherry mengelusnyan pelan lalu berkata, “Ini. Anak kita di sini, Marvin. Kamu kok aneh-aneh aja nanyanya?”

“HAH?!”


Baiklah, Marvin tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang. Sebenarnya pemandangan Cherry menyiapkan sarapannya bukan hal yang aneh. Yang aneh adalah karena perut perempuan itu tidak besar seperti yang seharusnya. Lebih anehnya lagi, perut besar itu kini berpindah pada tubuhnya.

Gila, gila, gila! Itu adalah yang menjadi isi pikiran Marvin sejak tadi.

Cherry meletakkan sepiring nasi goreng juga segelas susu di hadapan Marvin. Perempuan itu memegang pundak suaminya lalu mengecup pipi kanannya sekilas.

“Aku harus ke butik. Katanya Beby bakal ke sini jam 4-an, dia hari ini agak senggang jadi mau aku suruh ke rumah. Aku bakal usahain buat pulang sebelum jam segitu. Makanannya jangan lupa dihabisin, susunya juga jangan dibuang lagi kayak waktu itu, ya.”

Marvin mengerjapkan matanya. “Terus kamu sarapannya gimana?”

“Aku udah nyiapin roti, aku bakal makan di sana nanti. I'm sorry, ini urusannya lumayan penting. But i have to take care of you first,” balas Cherry. Marvin jadi sadar kalau apa yang perlu perempuan itu bawa sudah Cherry simpan di atas meja makan.

“Hari ini sarapan sendiri dulu, ya. Buat makan siang nanti tinggal angetin yang udah aku siapin. Kalau mau ngemil jangan aneh-aneh, do you remember what foods are good for our baby? Oh iya, biskuit dari dokter juga belum kamu makan. Aku simpan di laci kayak biasa. In case nanti kamu bingung.”

Marvin tidak menjawab, masih mencerna semua ini.

“Aku berangkat dulu, Marvin. Hati-hati di rumah, kabarin aku kalau ada apa-apa. Oh iya, kamu gak perlu ngelakuin pekerjaan rumah! Itu sama aku aja nanti. Ponsel kamu ada di ruang tengah, ya.”

But Cherry, ini hari lib—” Belum sempat Marvin menyelesaikan kalimatnya, Cherry sudah menghilang dari pandangan.

Laki-laki itu mendengus lalu dengan malas-malasan ia menghabiskan nasi goreng yang sudah Cherry buatkan. Ketika sedang sibuk mengunyah, ia melirik pada perutnya yang menonjol. Tangannya menggebrak pada meja makan.

What's wrong with today? Why am i like this? Huh!” keluhnya sembari menatap pada langit-langit dapur. Hanya sebentar sebelum ia kembali menyuapkan nasi goreng pada mulutnya.

Nanti dulu mengeluhnya, ia merasa lapar sekarang.

Setelah selesai makan, dengan sedikit kesusahan Marvin meletakkan bekas makannya di wastafel. Biasanya Marvin akan langsung mencucinya, tapi kali ini ia merasa malas.

“Biar aku aja yang cuci bekas makan kita. Kamu istirahat dulu.”

“Aku aja, Marvin. I'm fine, kok! Kamu mandi sana, pasti capek habis kerja.”

“Tapi kamu lagi hamil.”

“I'm fine, sayang. Aku kalau keberatan suka bilang ke kamu, 'kan?”

Marvin termenung karena tiba-tiba mengingat itu lagi. Laki-laki itu tiba-tiba menganggukkan kepalanya, lalu berusaha lebih lama berdiri untuk mencuci piring yang tadi ia gunakan untuk makan.

Selesai makan, Marvin membawa segelas air untuk duduk di ruang tengah. Napas laki-laki itu sedikit memburu, dia menyamankan duduknya lalu bersandar pada sofa.

Marvin memejamkan matanya. “Tuhan, bahkan belum sejam aku bawa perut ini. Tapi rasanya capek ... banget.”

Marvin baru sebentar tapi sudah mengeluh lelah. Bagaimana dengan Cherry yang sudah membawa bayi mereka hampir delapan bulan lamanya?

Oh, god ...,” gumam Marvin ketika merasakan rasa sakit pada punggungnya. Padahal ia belum banyak bergerak. Hanya turun dari kamar, makan, mencuci piring, lalu berjalan ke sini. Tapi sepertinya sudah banyak yang ia keluhkan.

“Aku bukan kayak kamu yang enak di rumah!

Ucapan yang ia ucapkan semalam pada Cherry kembali terngiang dalam kepalanya. Cherry tidak pernah benar-benar mengeluhkan semua ini. Namun terkadang Marvin dapat menangkap apa yang ia rasakan lewat tingkah lakunya.

Sekarang Marvin secara langsung merasakannya sendiri.

Walau Cherry mengambil cuti dan diam di rumah. Dia tidak benar-benar menikmati keberadaanya di rumah yang tak banyak berkegiatan. Banyak keluhan yang Cherry rasakan tapi tak pernah ia katakan. Keluhan yang kini Marvin rasakan sendiri.

Marvin menyesal.

Laki-laki itu menyingkap baju yang ia kenakan. Marvin meringis karena merasa aneh ketika melihat bagaimana bentuk perutnya sekarang.

Perutnya terasa gatal, tapi Marvin ingat kalau itu tidak boleh digaruk. Biasanya Cherry akan memakai lotion khusus. Namun benda itu kini ada di kamar dan Marvin merasa kesusahan untuk sekedar mengambilnya.

Marvin mengelus perutnya, ini terasa aneh tapi menenangkan disaat yang sama. Baru sebentar ia menikmati itu, perutnya kini terasa mulas. Mata Marvin tanpa sadar berkaca-kaca akibat nyeri yang ia rasa.

Laki-laki itu berusaha meraih ponselnya yang ada di atas meja. Cherry benar-benar menyimpannya di sana karena tahu Marvin akan banyak diam di ruang tengah.

Dengan tangan gemetar, Marvin berusaha untuk menghubungi Cherry. Beruntung, tak butuh waktu lama untuk Marvin mendengar suara istrinya.

“Marvin? Boleh tunggu sebentar? Ini aku ada kli—”

“Sa-sayang, per—ssh perut ... perut aku mules banget rasanya.”

“Tolong tunggu sebentar, Marvin. Ini klienku cuma punya waktu sebentar dan aku gak mungkin relain dia gitu aja. Dia punya nama besar dan itu bagus buat butikku ke depannya.”

“Tapi, perut aku, Cherry. Ini mules ... aku harus—hiks ... gimana? Tolongin aku.”

“Iya, Marvin Sayang, sebentar. Habis dia pergi aku langsung pulang. Ini penting buat aku, tunggu, ya.”

Telepon itu dimatikan secara sepihak oleh Cherry.

“Cherry ... argh!” Marvin meringis, ia tanpa sadar mencengkeram perutnya yang terasa mulas. Mana mungkin ia akan melahirkan sekarang, 'kan? Ini belum waktunya.

Membayangkan bagaimana ia akan melahirkan nanti, rasanya ... tidak, Marvin tidak sanggup membayangkannya.

“Cherry,” panggilnya dengan napas memburu. Pada seseorang yang kini tak bersamanya.

“Cherry, tolong. Ya Tuhan ....”

Marvin terus merapalkan nama Cherry. Berharap dengan itu Cherry bisa muncul dihadapannya. Namun sosok itu tak kunjung muncul.

“Cherry, sayang. Maaf ... maaf, tolongin aku huhu.”

“Cherry, aku ... aku gak kuat. Cherr—”

“Marvin! Kamu kenapa?”

Guncangan pada tubuhnya membuat Marvin membuka matanya. Napas laki-laki itu memburu lengkap dengan keringat dingin yang membasahi bagian atas tubuhnya.

Marvin menatap kosong pada lampu kamarnya, sebelum melihat ke arah samping di mana ada Cherry yang menatapnya khawatir. Secara spontan mata Marvin berpindah pada perut Cherry yang masih besar, lalu pada perutnya sendiri yang sudah kembali seperti biasa.

Jadi, yang ia alami tadi hanyalah mimpi?

Laki-laki itu dengan terburu berubah posisinya menjadi terduduk. Marvin menarik Cherry ke dalam pelukannya. Menelusupkan kepalanya ke ceruk leher istrinya.

“Marvin Sayang, kenapa?”

Marvin menggeleng sebagai jawaban. Tidak ingin membahas soal mimpinya pada Cherry.

“Maaf,” ucap Marvin sembari melepaskan pelukan keduanya. Sekarang kedua tangannya memegang lengan Cherry.

“Aku minta maaf buat ucapanku semalam. Sumpah ... maaf, aku gak akan kayak gitu lagi, Sayang. Maaf, maaf, maaf.”

Cherry mengerjapkan matanya bingung. “Gak papa, aku paham kalau kamu capek dan butuh istirahat.”

Marvin menggeleng tidak terima. “Kamu lebih capek! Aku tahu, aku minta maaf gak seharusnya aku kayak gitu.”

“Kamu udah bawa bayi kita hampir delapan bulan. Udah banyak keluhan yang kamu rasain. Perut gak enak, sakit punggung, mual ... pokoknya semuanya. Maaf aku gak ngertiin itu, padahal kamu cuma butuh waktu aku tapi aku malah—maaf, Cherry. Aku nyesel banget,” sambung Marvin.

“Padahal dia anak aku juga tapi aku malah kesel pas dia mau sesuatu, aku malah marah pas kamu ngajak makan. Aku buruk banget! Kamu juga, udah ngerasain gak enaknya. Kenapa gak pernah bilang ke aku, sih?!”

Cherry tersenyum tipis. Tangan kanannya bergerak untuk mengusap pipi suaminya.

“Marvin, tenang,” ucap perempuan itu. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya napas Marvin kembali normal.

“Memang selama kehamilan ini aku ngalamin beberapa hal yang rasanya gak enak banget di badanku. Tapi kata siapa aku gak pernah bilang? Aku bilang, Sayang. Aku minta kamu pijat aku, aku minta kamu buat menuhin ngidamnya aku, bahkan aku minta kamu buat sekedar olesin lotion.”

Marvin menatap Cherry sendu. “Tapi kamu gak pernah kelihatan gak suka atau sebel sama apa yang kamu alami. Pasti rasanya capek, 'kan? Sayang, aku minta maaf.”

Kini kedua tangan Cherry sudah membingkai sisi wajah suaminya. Laki-laki itu tampak lucu dengan wajah sedih dan pipi yang sedikit menggembung akibat ditekan oleh tangan Cherry.

“Jangan minta maaf terus, dong. Aku jadi sedih,” balas Cherry.

“Maaf ... tapi aku gak bisa berhenti. Aku nyesel banget,” ucap Marvin lemas.

“Ya udah aku maafin.”

Cherry menatap mata Marvin lekat. “Kamu tahu gak kenapa aku gak pernah nunjukkin kalau aku gak suka sama yang aku alami?”

Marvin menggeleng.

Because it's our baby. So, i'm trying to enjoy it all. Aku gak mau sebel sama hadiah yang Tuhan titipin buat kita jaga seumur hidup, Vin.”


—honeyshison.