karsalakuna

warning : kiss scene


Hiro tidak menanggapi kala Reyna mencubit bibirnya yang mengerucut sejak tadi. Istrinya itu tertawa kecil. “Aduh, adek ngambek.”

Reyna memeluk leher Hiro yang sedang duduk dari belakang. Perempuan itu mengecup sekilas pipi suaminya dan kemudian menempelkan pipi mereka berdua.

“Maaf, ya.”

Hiro tidak bisa menahan dirinya untuk terus cemberut setelah mendapat perlakuan itu. Ia memegang pergelangan tangan Reyna. “Udah, ayo pergi.”

Semalam mereka sudah membicarakan akan mengelilingi area yang ada di sekitar villa yang mereka sewa dari pagi. Namun, Reyna yang tiba-tiba dilanda kemalasan itu membuat rencana mereka menjadi bergeser. Hiro yang sudah antusias dari awal, tapi karena terlalu lama menunggu jadi kesal sendiri. Ia tidak mengatakan itu, tapi Reyna dapat tahu dari raut wajah yang suaminya itu tunjukkan.

“Kita makan dulu, yuk!” ajak Reyna seraya melepaskan pelukannya. Hiro bangkit dari duduknya dan kemudian merangkul pundak istrinya.

“Yuk.”

Mereka berjalan kaki menuju restoran yang sudah mereka cari semalam. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka menginap, jadi Hiro dan Reyna memutuskan untuk tidak naik kendaraan apa-apa. Dengan seperti ini, mereka lebih menikmati waktu bersama. Berjalan beriringan dengan disertai pemandangan yang cukup memuaskan mata.

Restoran yang mereka kunjungi adalah restoran yang menyajikan olahan laut. Reyna awalnya ingin memesan beberapa makanan, tapi Hiro yang malah memesan nasi goreng membuatnya mengurungkan niat.

“Permulaan dikit dulu, Reyn. Kita habis ini, 'kan, mau jajan. Lagian ini deket, kita bisa ke sini lagi besok,” kata Hiro.

Reyna kemudian menuruti karena ucapan Hiro ada benarnya. Tidak akan puas acara jalan-jalan mereka jika Reyna sudah kekenyangan di tempat pertama yang mereka datangi. Ujungnya, Reyna memesan satu porsi udang asam manis.

Butuh waktu cukup lama menunggu makanan mereka datang karena restoran sudah ramai mengingat sebentar lagi memang jam makan siang. Namun, hal itu tidak merusak suasana di antara keduanya.

“Zio ada rekomendasi resto lain, ntar kita coba ke sana kali, ya,” ucap Hiro sembari menunjukkan foto yang Kenzio kirim padanya.

“Boleh,” jawab Reyna. “Gue juga masih ada list-nya, sih, Ro.”

“Kita atur aja, ya, mumpung agak lama juga di sini.”

Reyna menumpukan dagunya pada tangan. “Boros gak, sih, kalo makan di luar terus? Di villa juga ada dapur, kan. Bisa kita manfaatin.”

“Hm, boleh, sih. Tapi gue juga gak keberatan kalo emang mau makan di luar. Ada, kok, uangnya.”

Reyna terdiam sejenak, mempertimbangkan. Pernikahan kemarin tidak mereka laksanakan secara meriah karena keduanya sepakat untuk memberatkan biaya pada acara bulan madu keduanya. Hiro dan Reyna juga sama-sama sudah berdiskusi soal biaya dan mereka menghitung biaya makan mereka dengan jumlah jika mereka membeli di luar terus menerus.

“Nanti kita belanja aja, ya. Setidaknya sehari tiga kali makan itu gak di luar semua.”

Hiro menganggukkan kepalanya tanpa perlu pikir panjang. Itu bukan hal buruk, ia tidak akan memaksa Reyna agar mereka membeli makan di luar setiap saat.

Makanan yang mereka pesan datang. Hiro menerima dan langsung mendekatkan udang milik Reyna pada pemesannya. Ia juga dengan segera mendekatkan nasi goreng seafood miliknya. Perutnya sudah memberontak minta diisi.

Satu suapan masuk ke mulut Hiro dan laki-laki itu memejamkan matanya meresapi rasa yang menyapa lidahnya. Hiro tanpa sadar tersenyum kecil saat mengunyah makanannya, ia puas dengan rasanya.

Begitu matanya kembali terbuka, Hiro langsung disuguhi Reyna yang tengah mengunyah dengan lambat memandangi nasi gorengnya.

“Reyn?”

Reyna mengerjapkan matanya dan kemudian tersenyum canggung pada Hiro.

“Lo mau nyoba? Nih,” ucap Hiro seraya mendekatkan piringnya ada Reyna.

Reyna tadi memandangi makanan Hiro karena penampilannya terlihat enak, belum lagi dengan reaksi yang Hiro keluarkan setelah mencobanya. Ia jadi penasaran. Ditawari seperti itu oleh Hiro, tentu Reyna tidak akan menolak.

Reyna mengeluarkan senyum puasnya setelah mencicipi nasi goreng Hiro. “Enak ... enak banget.”

Mata Reyna masih memandang pada makanan Hiro, mengabaikan makanannya sendiri. Hiro bisa menangkap hal itu, jadi ia bertanya, “Mau dituker?”

Reyna tersadar dan langsung menggeleng. “Eh gak usah, itu, kan, punya lo.”

Hiro tersenyum tipis. “Gue gak masalah kalo lo mau tuker.”

“Ih, Hiro ... jangan gitu, dong.”

“Beneran, Reyn. Mau gak?”

Reyna mengangguk dengan kaku dan Hiro langsung menyerahkan piringnya pada Reyna. Laki-laki itu juga memindahkan piring berisi udang manis milik Reyna menjadi berada di hadapannya.

“Habisin, ya.”

Reyna menggenggam tangan laki-laki itu. “Hiro, makasih, ya.”

“Santai, kayak baru kali ini aja kita kayak gini.”

Ini bukan kali pertama mereka bertukar makanan. Reyna beberapa kali memintanya dulu. Namun, entah kenapa semenjak mereka menikah, Reyna menjadi segan pada Hiro.

“Makan, Reyn,” ucap Hiro menyadarkan Reyna dari lamunannya.

“Ah, iya.”


Hiro langsung merebahkan dirinya di atas tempat tidur begitu mereka sampai di rumah. Perjalanannya memang terasa melelahkan karena mereka berjalan kaki, tapi Hiro menikmatinya.

Reyna duduk di sebelah Hiro sembari membersihkan make up di wajahnya. Setiap gerakannya, diamati oleh Hiro yang masih berbaring.

“Lo ganti lipstik?”

“Iya, Ro. Baru nyadar?”

“Gak, sih, baru keinget nanya. Dari tadi juga gue udah sadar, kok, bos.”

“Alesan.”

“Ih, gue serius.”

Reyna tidak membalas lagi karena ia sekarang tengah membersihkan bibirnya. Setiap gerakan Reyna, tidak pernah terlewat oleh mata Hiro.

Hiro mengubah posisinya menjadi duduk, membuat keduanya setara sekarang. Matanya masih belum lepas dari Reyna yang sibuk sendiri.

“Bos,” panggil Hiro membuat Reyna menoleh padanya dengan raut wajah bertanya.

Hiro tidak langsung membalas. Sebelah tangannya membingkai di sisi wajah Reyna dan kemudian menahannya di belakang kepala agar Reyna tidak terus memundurkan kepalanya.

Reyna terdiam, tidak menyangka Hiro akan melakukan hal ini.

Mata Hiro bergerak mulai dari memandang mata kiri Reyna, bergeser pada mata kanannya, dan berakhir turun ke bibirnya sebelum kembali menatap pada matanya. Wajah Reyna tanpa sadar memanas begitu menyadari maksud Hiro.

“Hiro—”

Reyna tidak melanjutkan kalimatnya karena merasakan ibu jari Hiro pada bibirnya. Jari itu bergerak untuk mengusap bibirnya dengan halus.

“Boleh?”

Reyna terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Hiro tersenyum tipis setelah mendapatkan persetujuan dari Reyna.

Hiro semakin mempersempit jarak wajah mereka berdua. Laki-laki itu awalnya memberi kecupan di kening Reyna, pipi, dan hidungnya. Ia kemudian mengecup bibir Reyna sebelum memulai ciuman keduanya.

Reyna memejamkan matanya ketika Hiro menghisap bibir bawahnya. Perempuan itu mengalungkan tangannya pada leher Hiro ketika ia sudah bisa mengimbangi permainan bibir Hiro.

Hiro melepaskan ciuman keduanya hingga tercipta benang saliva yang entah milik siapa. Laki-laki itu tersenyum menatap wajah Reyna yang memerah. Ia kemudian kembali menyatukan bibir keduanya, belum puas dengan yang sebelumnya mereka lakukan.

Mereka terus beradu lidah sampai Reyna menepuk bahu Hiro karena merasa napasnya akan habis. Hiro menjauhkan wajah keduanya dan Reyna langsung menarik napas dengan rakus.

Hiro tidak tinggal diam. Laki-laki itu menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Reyna. Tangan yang semula ada di belakang kepala istrinya sudah turun ke pinggang dengan satu tangan yang menelusup masuk ke dalam pakaian yang Reyna kenakan.

Hiro memberi kecupan dan gigitan kecil di area yang menjadi tempat kepalanya beristirahat. Tangannya yang masuk ke dalam pakaian Reyna mengelus sepanjang punggung perempuan itu.

Reyna memejamkan matanya kala merasakan hisapan Hiro di ceruk lehernya. Perempuan itu memeluk tubuh suaminya. Reyna membiarkan Hiro melakukan apa yang ia inginkan.

Hng, Hiro.”

Dua kata yang baru saja Reyna katakan itu membuat gerakan tangan Hiro berhenti. Untuk beberapa saat, Hiro mematung di tempatnya.

Reyna menjauhkan dirinya untuk melihat ekspresi Hiro. Wajah laki-laki itu sudah merah dan menunjukkan ekspresi seakan tidak percaya dengan apa yang baru ia lakukan.

“Hiro,” panggil Reyna, berhasil menyadarkan Hiro dari pikirannya yang tiba-tiba berkecamuk.

Hiro memegang kedua pundak Reyna dan menundukkan kepalanya. Reyna baru menyadari kalau telinganya pun ikut memerah.

“Maafin gue, Reyna.”

Reyna mengernyit, memandang Hiro dengan heran. Kenapa ia tiba-tiba meminta maaf?

“Kenapa minta maaf, sih? Kan, gue juga menikmati.”

Hiro tidak membalas. Ia malah semakin malu mendengar tanggapan yang Reyna berikan.

Hiro berdiri tanpa aba-aba membuat Reyna semakin kebingungan dengan tingkahnya. “Tolong maafin gue.”

“Hiro—”

Please, maafin gue, Reyn,” ucap Hiro. “Gu-gue mau mandi dulu.”

Dengan gerakan yang menunjukkan kalau ia sedang panik, selaras dengan wajahnya yang masih memerah, Hiro berjalan menuju kamar mandi dengan cepat. Ia meninggal Reyna yang masih kebingungan.

Setelah beberapa saat Hiro ada di kamar mandi, barulah Reyna menggeleng kecil. Ia merebahkan dirinya dan menutup wajahnya sendiri. Rasa malu yang tadi Hiro rasakan, baru menghinggapi dirinya.

“Hiro, cupuuuu!” ucapnya cukup keras, sengaja agar laki-laki itu mendengarnya.

“Maafin gue!” balas Hiro dari dalam kamar mandi.

Ah, gila.

⚠ mention of blood, death, murder


Sana terdiam di tempatnya. Kuas yang baru ia nodai dengan warna itu menggantung di tangannya, membuat catnya menetes ke bawah dan mengotori lantai.

Warna merah.

Warna yang seharusnya sudah biasa ia lihat karena menjadi bagian dari gelapnya dunia. Warna itu kini terlihat asing, tangannya bahkan enggan untuk mengoleskan warna itu pada lukisan yang ada di hadapannya.

Bukan lagi sebuah tubuh yang ia lukis untuk melihat merah. Bukan lagi jeritan yang ia dengar untuk menghasilkan tawa. Bukan lagi senjata yang akrab dengan tangannya.

Sana telah meninggalkan perannya dalam gelapnya dunia. Namun, itu tak membuatnya meninggalkan kegelapan itu sendiri.

Ibunya selalu bertanya tentang siapa sosok berambut pirang yang ia lukis. Sana tak pernah benar-benar bisa memberikan jawaban yang pasti.

Sana terus melukis laki-laki yang sama. Bagaimana ibunya tidak curiga bahwa sosok itu nyata?

Untungnya, ia mau untuk mengerti dan tidak pernah bertanya lagi.

Sana tidak tahu bagaimana cara mengatakan tentang dunianya yang tidak ibunya ketahui. Dunia yang membuat ibunya dapat hidup dengan nyaman di panti meski tanpa dirinya. Dunia gelap yang nyatanya meninggalkan banyak bekas pada dirinya yang awalnya bersenang-senang di sana.

Sana juga tidak mungkin mengatakan bahwa sosok pirang yang selalu ia lukis telah tiada karena Sana lebih memilih ibunya.


Sana ditawarkan kebebasan karena kemampuannya menurun drastis selepas misi yang terpaksa ia lakukan. Sana yang dulunya begitu diandalkan, kini malah menjadi penghambat untuk kelompoknya.

Dengan mundurnya Sana, mereka sudah kehilangan dua alat nyaris sempurna yang dulu sangat disegani.

Si Sayap Hitam telah runtuh.

Bagaimana bisa ia tetap terbang ketika mendapati cintanya terjatuh di hadapannya sendiri?

Terjatuh karena dirinya.

Ibunya begitu senang ketika Sana mengajaknya untuk pulang. Entah apa yang putrinya lakukan selama ini. Ia tak ingin memaksa, yang penting mereka sudah kembali bersama.

Ibunya tidak pernah menyadari bahwa tangan yang kini sering dinodai cat, dulunya dipenuhi oleh darah. Jika bisa, Sana tak ingin perempuan itu mengetahui tentang ini.

Sebuah piring berisi buah-buahan yang telah dipotong diletakkan di dekatnya. Ibunya mengelus rambut Sana sembari menatap lukisan yang dibuat putrinya. Lukisan itu belum selesai, tapi anaknya sudah terlihat melamun lagi.

“Si pirang lagi?”

Sana tersenyum tipis dan mengangguk. “Ya, si pirang lagi.”

Ibunya menunjuk pada dahinya. Terdapat sebuah gambar lingkaran.

“Apa ini?”

Sana terdiam cukup lama. Warna merah yang sebelumnya ingin ia taruh di sana, ia bilas kembali. Digantikan oleh warna kulit yang dengan segera menghilangkan lingkaran tadi.

“Aku lupa menghapusnya.”

Tangan ibunya berpindah menjadi di kedua pundaknya. Perempuan itu melihatnya pelan seraya berkata, “Ibu akan selalu mendengarkanmu, Sayang.”

Sana menatap pada lukisannya dengan ragu. Jarinya menunjuk pada pipi orang yang ada dalam lukisannya.

“Namanya Hoshi, Bu. Tingkahnya sedikit gila dan dia suka bermain dengan api sungguhan tanpa takut terbakar.”

Ibunya menatap Sana dengan heran. “Bermain api?”

Sana mengangguk. “Iya, membakar sesuatu, Bu.”

“Makanan maksudmu?”

Sana tanpa kata mengangguk. Tak ingin mengatakan pada ibunya bahwa Hoshi pada kenyataannya jarang membakar makanan.

“Kamu kenal Hoshi dari mana?”

“Aku belum mau menceritakan itu, Bu.”

Ibunya menghela napas. Setidaknya, ia sudah tahu nama seseorang yang mengisi pikiran anaknya sejak awal mereka kembali bersama.

“Baiklah, jika sudah selesai jangan lupa makan buahnya, ya? Ibu mau mencuci dulu.”

Sana hanya mengangguk sebagai balasan.

Perempuan itu lantas pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Tidak berniat untuk menyelesaikan lukisannya.

Ia memakan sepotong buah yang ibunya sediakan dan kembali tenggelam dalam pikirannya. Kepalanya menoleh begitu mendengar suara ketukan dari jendelanya.

Kening Sana mengernyit melihat siapa yang mengetuk jendelanya. Kemudian raut wajah terkejut ia tunjukkan.

“Hoshi?”

Sosok itu tersenyum padanya seraya memberi isyarat pada Sana untuk membuka jendelanya.

Begitu jendela terbuka, wajah Hoshi semakin terlihat jelas. Ia tersenyum manis dan berkata, “Hello, Princess. How are you?

Sana tidak membalas. Ia menatap penampilan Hoshi yang seperti biasanya. Rambut pirangnya yang tampak memanjang itu tertiup angin.

“Jawab aku, Princess.

Bukannya menjawab pertanyaan Hoshi. Sana malah mengerjapkan matanya, memastikan bahwa yang ia lihat bukan ilusi. Hoshi masih tetap ada di hadapannya.

“Hoshi ... how can you?

Sana masih teringat dengan jelas bahwa peluru itu mengenai Hoshi. Masih segar dalam kepalanya bagaimana tubuh itu terjatuh ke dalam pelukannya.

Kali pertama di mana Sana tak senang melihat darah.

Hoshi tersenyum hangat menatapnya. Matanya bahkan masih memandang Sana dengan penuh puja.

Like I said, Princess. I won't die easily.

Tangan Sana terangkat, berniat untuk menyentuh pipi Hoshi. Namun, laki-laki itu menghindar.

Sorry, but you can't touch me.

Sana memandang Hoshi dengan kecewa. “Why?

Hoshi hanya menggelengkan kepala sebagai balasan.

Sana terdiam seketika.

Ah, Sana nyaris melupakan bahwa dirinya ada di lantai 7.

Napas Sana sedikit terburu-buru begitu dirinya sudah ada di depan pintu ruang rawat Soonyoung. Perempuan itu berhenti sejenak untuk mempersiapkan dirinya.

Sana membuka pintu itu perlahan dan menemukan Soonyoung yang tak kunjung membuka matanya. Laki-laki yang merupakan salah satu staff yang menemani Soonyoung itu langsung keluar dari ruangan begitu meyadari kehadiran Sana. Tampaknya, ia sudah diberi tahu oleh Seungcheol.

Sana juga datang bersama manajernya. Entah perempuan itu mengikutinya atau tidak, yang jelas Sana langsung berlari selepas mereka sampai di parkiran.

Sana menghampiri Soonyoung dengan langkah yang lambat. Ia menatap laki-laki itu dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

Terkadang, Sana membenci kenapa dunia mereka harus berjalan dengan konsep soulmates ini. Hubungan ini membuat seseorang begitu terikat dengan kehidupan orang lain yang menjadi soulmate-nya.

Penolakan jelas selalu merugikan. Bahkan ketika penolakan itu belum disuarakan dan hanya pikiran sekilas, soulmate kita bisa dibuat sekarat.

Sana tak menyangka ia akan mengalami hal itu juga.

Perempuan yang lahir di bulan Desember itu duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Soonyoung. Tangan Sana dengan ragu memegang tangan laki-laki itu.

“Soonyoung,” panggil Sana dengan suara yang pelan. Ia terdiam untuk beberapa saat sebelum kembali menyuarakan nama laki-laki itu. Kali ini, lebih keras dari sebelumnya.

“Kwon Soonyoung.”

Sana meremat tangan Soonyoung dengan kedua tangannya. Berharap itu bisa membuat laki-laki itu kembali sadar.

“Soonyoung, aku minta maaf udah buat kamu kayak gini.”

Sana menundukkan kepalanya. “Aku gak bermaksud buat kamu kesakitan, tapi aku gak bisa berhenti mikirin itu. Tanggapan yang mereka beri memang gak semuanya benci, tapi tetep aja ... aku gak bisa berhenti mikirin itu. Aku takut, Soonyoung. Aku takut ini mempengaruhi yang lain juga, bukan cuma kita berdua.”

Sana menghela napasnya dan kembali menatap Soonyoung yang matanya masih terpejam itu. “Aku minta maaf, Soonyoung. Aku bakal berusaha buat berhenti, aku lebih gak rela kalau kamu harus kesakitan karena aku.”

“Aku udah bicara sama anak-anak tadi. Mereka terus ngeyakinin aku kalau ini bukan masalah buat mereka karena dunia kita memang berjalan seperti ini. Dengan pekerjaan ini, kita juga bukan yang pertama.”

“Maaf karena aku menghindar kemarin. Aku mohon bangun, Soonyoung. Jangan ninggalin kami semua. Aku gak bisa kalau harus kehilangan kamu dengan cara ini.”

Sana menggenggam tangan Soonyoung dan mengangkatnya. Perempuan itu mengecup punggung tangan yang lebih tua sebelum kembali menggenggamnya dengan erat.

“Jangan tinggalin aku, Soonyoung.”

Sana memejamkan matanya, mengucapkan permohonan dalam hatinya. Meminta agar ia diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

Sana menyesal kenapa ia tak bisa menghentikan pemikiran buruknya kemarin. Semua kebencian yang ia temui karena pemberitaan tentang mereka berdua jelas lebih sedikit daripada yang mendukung keduanya.

Mereka yang membenci bahkan tidak tahu bagaimana ia dan Soonyoung berinteraksi. Mereka dengan mudah menilai tanpa memastikan benar atau tidaknya. Banyak yang menjadikan ini sebagai kesempatan untuk menjatuhkan keduanya.

Pekerjaan ini membuat ikatan soulmate jadi terasa lebih sulit dari yang seharusnya.

Sana terdiam cukup lama. Dalam hatinya ia tak henti meminta kesempatan agar Soonyoung terbangun kembali. Ia tak melepaskan genggamannya pada tangan Soonyoung, berharap kehangatan dari tubuhnya bisa menyadarkan laki-laki itu.

Secara tiba-tiba, Sana merasakan puncak kepalanya yang disentuh. Ia mendongakkan kepalanya dan mendapati Soonyoung yang sudah membuka matanya. Laki-laki itu menatap Sana dengan matanya yang sayu. Namun, semakin lama mereka bertatapan, mata Soonyoung terlihat berkaca-kaca.

“Soonyoung,” panggil Sana pelan.

Soonyoung mengedipkan matanya dan itu membuat air mata yang ia tahan turun. Tangannya yang semula digenggam oleh Sana bergerak untuk membingkai pipi perempuan itu.

“Sana,” panggil Soonyoung dengan lirih. “Jangan tinggalin aku.”

Sana memegang tangan Soonyoung yang masih ada di pipinya. Kepala perempuan itu menggeleng dan tanpa sadar air matanya pun ikut terjatuh.

“Gak akan, Soonyoung. Aku gak akan kemana-mana,” Ucap Sana sembari menatap pada yang lebih tua.

“Aku di sini, sama kamu.”

Rumah Caca itu memiliki teras yang cukup luas. Sejak dulu, jika mengunjungi rumahnya, mereka lebih senang berkumpul di sana.

Caca sudah menggelar karpet di sana. Oci juga lebih awal datang. Padahal biasanya laki-laki itu paling sering telat, mentang-mentang tempat kumpulnya di rumah pacar.

“Kamu bawa apa, Ci?” tanya Caca sembari meletakkan makanannya.

“Otak-otak, Yang,” balas Oci. “Sama Hasi.”

Caca mengernyit mendengar itu. “Hasi apa?”

Oci tak menjawab, dia malah membuka salah satu tempat makan yang ia bawa. Caca langsung menatapnya sebal. “Itu nasi!”

Tawa Oci pecah setelahnya. “Lumayan, Yang. Kan gak ada yang dari 'n', jadi aku bawa. Kamu?”

“Ceker sama cincau! Kebetulan mama beli cincau lebih tadi.”

“Mantap.”

Tak lama, Jun datang. Laki-laki itu sedikit heboh dengan mangkuk besar yang ada di tangannya.

“Minggir-minggir, ini panas,” ucap Jun membuat Oci dan Caca sama-sama bergeser.

“Lo bawa apa, Jun?”

Jun meniup kedua tangannya. Setelah itu baru menjawab, “Sop gitu, deh. Gue tadi main cemplungin aja jagung sama jamur. Tapi enak, kok, kan gue yang bikin.”

Momo menyusulmenyusul setelahnya. Dia membawa toples besar yang tampaknya berisi manisan mangga. Senyum cerah muncul di wajah perempuan itu.

“Gue bawa buat penutup! Ini manisan bikin sendiri.” Momo mengambil sesuatu dari tas yang ia bawa. “Sama ada makroni, ini snack, sih. Tapi lumayan lah, ya, pengganti kerupuk.”

Jeje dengan Wira di belakangnya datang setelahnya. Jun menyambut kehadiran keduanya dengan senyuman cerah. Lebih tepatnya pada Jeje, sih.

“Mami, bawa apa?”

“Ayam geprek,” jawab Jeje sembari meletakkan salah satu yang ia bawa. “Sama air, soalnya ada lebih di rumah. Jadi, gue bawa aja.”

“Wira?”

“Waffle.”

“Satu jenis aja?”

Wira mengangguk. “Saosnya ada banyak. Jadi, gue gak beli yang lain lagi.”

Mereka berenam duduk melingkar. Baru, Momo akan membuka makroninya, Jun menahan tangannya. “Ntar dulu, Mor. Nunggu dulu Zidan.”

Momo melotot. “Oh, iya! Tumben dia lama.”

“Mungkin jadi ngajak si itu ....” Wira menggantungkan kalimatnya. Melupakan nama yang pernah disebut dalam obrolan mereka.

“Oh, bener! Ngejemput si Ryan dulu,” sahut Jun.

Oci tertawa mendengar itu. “Namanya Rena tahu,” katanya.

“Kenapa Zidan kalo cerita cuma sama lo aja?” balas Jeje, ia tampak tak peduli dengan mengambil satu otak-otak yang Oci bawa dan memakannya.

“Kayak gak hafal aja si Zidan gimana. Tapi itu mungkin karena gue curhat ke dia juga.”

Momo menyandarkan kepalanya pada Jun. “Cowok kok saling curhat?”

“Kita juga punya hati.”

Balasan Wira itu membuat kedua laki-laki yang lain tertawa.

Yang ditunggu akhirnya tiba. Suara pagar yang dibuka membuat mereka semua melirik ke asal suara. Sesuai dugaan, Zidan yang muncul di sana. Namun, yang membuat mereka terkejut bukan apa yang dibawa laki-laki itu, melainkan seseorang yang mengikutinya dari belakang.

“Cieee, Zidan. Beneran bawa si Ryan.” Tentu, Jun yang pertama menggoda. Yang lain ikut-ikutan setelahnya.

Zidan memutar bola matanya malas, tapi secara samar rona merah terlihat di pipi putihnya. “Kan, kalian juga yang minta, monyet.”

Mereka malah semakin menjadi setelahnya.

“Udah, guys. Gue takut dia kabur,” ucap Jeje sadar bahwa Zidan mulai tidak nyaman.

“Kenalin dulu lah, Yang,” balas Oci. Sedari tadi, dia dan Jeje hanya ikut berkata, 'cie' saja.

Zidan berdeham. “Ini Rena. Ren, ini temen-temen gue. Dari yang pake kacamata itu Wira, terus Jeje, Momo, Jun, Caca, sama Oci.”

Rena mengangguk seraya melemparkan senyuman pada mereka. “Salam kenal semuanya.”

“Eh, Rena! Inget aku gak?” tanya Caca, ia baru sadar pernah berinteraksi dengan Rena sebelumnya setelah benar-benar mengamati wajah perempuan itu.

“Ah, Kak Shania! Apa kabar, Kak?” balas Rena.

“Baik, alhamdulillah.”

“Loh, kenal, Yang?”

“Adik kelas aku itu, Cii. Tapi murid baru, jadi gak begitu lama kenalnya. Soalnya keburu lulus.”

“Ooh gitu.”

“Duduk, Zi, Na,” ucap Jeje sembari menggeser posisi duduknya untuk menciptakan ruang lebih.

Zidan mempersilahkan Rena untuk duduk lebih dulu. Kemudian menyusul setelahnya.

“Gue bawa zuppa soup mending dimakan dulu, mumpung masih anget,” ucap Zidan seraya membuka plastik yang ia bawa.

“Rena bawa apa, Ren?” tanya Jun, sok akrab.

“Ini ... gue bawa roti.”

“Mantap, bisa dicocol sama sop gue, nih.”

Mereka kemudian mulai menikmati makanan yang sudah tersedia. Tentunya dengan obrolan yang terus mengalir seolah sudah lama tak bertemu. Padahal keluar rumah saja sudah bisa saling menyapa.

“Pada inget gak? Dulu kita diem di sini setelah dapetin mangga dari pohon pak RT. Tahunya asem, jadi kita cocol gula,” ucap Momo. Manisan mangga yang ia bawa juga suasananya membuat ia teringat kenangan masa kecil.

“Haha iya, ya. Itu pas kita lagi bandel-bandelnya gak, sih?” balas Caca.

“Bener.Udah lama banget, sekarang Momo bisa bawa setoples gitu. Dulu kita main ambil, dapet satu aja kesenangan,” sambung Jeje.

Rena sedari tadi hanya mendengar. Dari obrolannya saja, ia bisa tahu kalau mereka sudah mengenal sejak lama dan nyaris seperti keluarga. Lalu, Zidan mempertemukannya dengan mereka.

Memikirkannya saja sudah cukup bikin pusing.

“Siapa, sih, yang dulu ngide buat maling? Padahal minta juga pak RT ngasih,” sahut Zidan.

Wira mengangkat bahunya sekilas. “Ya, siapa lagi, Zi.”

“Iyaa, gue,” balas Jun dengan tak santai dan sengaja dikeraskan.

Tawa meledak lagi.

Oci mengacungkan ibu jarinya pada Jun. “Gak papa, Jun. Lo gak ngide, pertemanan kita gitu-gitu aja.”

Kepercayaan diri Jun langsung meningkat. “Bisa lah, tahun depan kita dagang lagi pas puasa,” balas Jun.

“Jangan risol lagi, nanti bubar.” Momo.

“Apa salah risol dahhh? Salahnya isinya gak dibuat sama Jeje.” Jun.

“Emang, ya? Gak ada gue, kalian bisa apa?” Jeje.

“Bisa gila.” Wira.

“Jiakh, Mas Wira. Tembak dulu lah, baru ngomong begitu.” Oci.

“Kocak, deh. Yang paling lama PDKT malah belum jadian.” Zidan.

“Emang payah.” Jun.

“Jangan gitu kalian, lihat jadi malu mereka.” Caca.

“Gak papa, tahu-tahu nikah aja nanti.” Wira.

“CUAKS.” Oci, Jun, Momo.

“Pada bacot banget, mending makan sebelum gue tambah ni sambel gepreknya?!” Jeje.

“Rusuh banget, maaf, ya, Ren.” Caca.

“Gak papa, Kak. Seru, kok!” Rena.

“Tuh, seru, Zii. Sering ajak main ke sini lah.” Jun.

“Mager.” Zidan.

“Mager, tapi dijemput, siapppp! Tanteee ini Zidan bawa calo—hmp!” Momo.

Kalimat Momo terpotong karena Zidan memasukkan roti ke dalam mulutnya. Momo memukul pundak laki-laki itu sebagai balasan, tapi rotinya tetap sukses ia telan.

Yang lain tertawa mengamati hal itu. Kembali terlarut dalam perbincangan yang ada.

Caca masih menjadi orang yang paling banyak diajak pergi, tapi dia lebih memilih bersama teman-temannya di sini kalau untuk main.

Oci terkadang masih mengabaikan obrolan di grup, tapi dia tetap menjadi yang pertama kali dihubungi jika mereka butuh bantuan.

Jun tetap menjadi seseorang yang mencairkan suasana dan banyak bertingkah. Namun, dia sudah lebih dewasa dari sebelumnya.

Momo tetap seseorang yang mengutamakan makanan. Namun, tetap memprioritaskan teman-temannya.

Jeje tetap menjadi yang paling dibutuhkan. Sosok ibu dalam kelompok ini secara tak langsung walau kehadirannya sudah jarang karena sibuk bekerja.

Wira tetap dia yang paling tenang. Dia sekarang lebih bebas dalam mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Zidan juga tetap menjadi seseorang yang ucapan dan kelakuannya tidak sejalan. Tetap menjadi yang susah diajak keluar, tapi hadir di setiap perkumpulan mereka.

Mereka tidak banyak berubah.

Waktu terkadang berlalu begitu cepat. Dulu mereka masih terlihat seperti anak SMP yang baru belajar jualan—sekarang juga masih, sih. Bedanya sekarang penghasilan mereka sudah cukup banyak.

Setelah banyak hal yang mereka lalui belakangan ini, baik yang enak atau tidak enak. Mereka sudah cukup memahami agar bisnis ini tetap berjalan meski sudah bukan bulan puasa lagi nantinya.

Ini belum memasuki jam-jam ramai oleh pengunjung. Jadi, ketujuhnya sama sekali tak terlalu memikirkan ketika belum ada pembeli. Alasan lainnya adalah karena mereka takut Jeje mengamuk.

Oci datang lebih lambat dari yang lain. Tanpa berkata banyak, ia menyerahkan uang yang diterima kepada Jeje.

“Macet gak?” tanya Wira setelah Oci duduk di bangku kayu yang mereka bawa.

“Banget,” jawab Oci.

“Jumat, sih. Mana banyak yang gajian pastinya, pada pengen jalan-jalan dulu,” sahut Jun, tiba-tiba bergabung. Padahal sebelumnya laki-laki itu tengah sibuk merapikan sayuran yang dipakai untuk kebab.

Zidan hanya mendengarkan sembari menghitung uang koin sebagai persediaan untuk uang kembali. Entah apa tujuannya melakukan itu.

Di sisi lain, para perempuan masih sibuk dengan tugasnya masing-masing. Jeje dengan risolnya, Caca yang bantu menyusun sesuai isi, dan Momo yang memeriksa minuman yang akan mereka jual.

Menyadari akan ada yang berjalan mendekati mereka membuat Jeje lantas berbalik dan berkata, “Hey, cowok. Tolong itu dilayani dulu.”

Jun lantas berdiri dengan penuh antusias. Wira juga sama, ia lantas mendekat pada meja yang memisahkan mereka dengan pembeli. Zidan kembali ke tempatnya yakni menerima uang dan Oci memilih untuk tak melakukan apa-apa. Toh, sudah ada yang lain.

“Ah, bener. Dia mau beli, pasti anaknya jajan banyak nanti,” kata Jun ketika perempuan itu semakin dekat dengan mereka.

Ketika ibu dan seorang anak kecil yang ia tuntun itu berhenti di depan mereka, apa yang ia katakan pertama kali merupakan hal tak terduga.

“Eh, Mas Wira jualan di sini,” ucapnya membuat keenam orang yang namanya tak disebut melihat ke arah Wira.

Wira tertawa canggung. “Iya, nih. Udah cukup lama juga. Saya ngikut yang lain aja, Bu. Daripada gabut.”

“Jadi, mau pesan apa, Bu?”

“Ini si dedek mau es coklat katanya.” Ia menggantungkan kalimatnya untuk melihat apa saja yang mereka jual. “Sama kebabnya satu, ya. Jangan pedes, Mas.''

” Siap, Bu,” sahut Jun dan langsung membuat kebabnya. Di sisi lain, Momo juga membuat minuman.

“Piscok sama risolnya, Bu, sekalian. Cuma 2 ribu,” ucap Jeongyeon sembari menunjukkan makanan yang ia sebut. “Masih anget, nih, Bu.”

“Aduh, boleh, deh. Nyoba dulu, ya, masing-masing satu.”

Jeongyeon mengangguk dan memberi kode pada Caca. Caca lantas segera membungkusnya sesuai pesanan.

“Dijamin enak, Bu. Ini kami bikin sendiri, loh. Apalagi isiannya, dibikin sama Jeje,” balas Wira dengan tawa ringan yang mengakhiri kalimatnya.

Ibu itu ikut tertawa.Ah, anak muda sekarang, segala pengen dicoba . Bisa aja ngomongnya.

Mendengar kalimat Wira barusan, membuat Zidan menyikut Wira pelan. Gerakan itu tak lepas dari pandangan ibu pembeli mereka yang masih menunggu kebabnya jadi.

Ia melihat pada Zidan dan tersenyum lembut.

“Waduh, Mas Wira ... ini adiknya kah? Sudah besar lagi, ya. Selama ini jarang kelihatan, adiknya ngekos, Mas?”

Mereka selesai berjualan lebih cepat dari biasanya. Sesuai dengan yang dibicarakan di group chat tadi siang.

Para perempuan memang pulang lebih awal karena harus menggoreng makanan yang akan mereka bagikan nanti.

“Bentar dah, gue pengen beli cigor dulu,” ucap Oci sembari meletakkan barangnya kembali di meja untuk mengambil uang dari saku jaketnya.

“Harus banget lo beli cilok tiap hari?” tanya Jun.

“Harus. Gak ada cilok, darah gue gak ngalir,” jawab Oci dengan asal membuat Zidan langsung memukul pundaknya.

“Ngaco.”

“Ya elah, Yang. Mukul mulu. Aduh, ngilu banget.” Oci bertingkah seakan ia kesakitan, padahal tidak sama sekali.

Wira membenarkan kacamatanya. “Ya udah, nanti lo nyusul aja, ya, Ci.”

Oci mengacungkan ibu jarinya seraya menjauh dari mereka. “Oke!” balasnya cukup keras.

“Ayo, balik sekarang. Jeje udah nge-chat disuruh cepet.”


Oci mengangkat sebelah alisnya begitu melihat Caca dan Momo bekerja sama untuk membawa meja.

“Lah, kok malah lo berdua? Yang lain ke mana?” tanyanya seraya mengambil alih meja itu. Tanpa kata, dia malah menitipkan ciloknya pada Caca. Kalau pada Momo, pasti perempuan itu menganggap kalau Oci sengaja memberinya.

“Udah pada duluan, ini dibawa karena gak muat gitu, deh,” balas Momo.

Oci mengangguk paham kemudian berjalan mendahului keduanya. Sebenarnya mejanya tidak begitu berat karena bukanlah meja kecil. Namun, dibawa sendirian dari sini sampai ke masjid memang akan cukup melelahkan.

“Gak mau digotong aja?” tanya Caca.

“Gak usah, santai aja. Lagian kenapa malah lo berdua yang ambil?”

“Soalnya yang lain udah pada sibuk. Udah rame di sana, anak-anak yang ngaji mau bukber.”

Oci mengangguk paham. Sisa perjalanannya hanya ia pakai untuk mendengarkan obrolan Caca dan Momo.

Suasana masjid memang lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena adanya anak-anak yang akan bukber di sana.

Oci langsung menaruh mejanya dan Wira tanpa kata langsung menyimpan gelas-gelas berisi minuman yang mereka buat.

“Kenapa bawa meja lebih dah?” tanya Oci.

“Yang satu dipinjem anak-anak, buat lauk mereka,” balas Wira seraya menunjuk dengan dagunya.

“Oh.”

Caca menarik pelan lengan jaket laki-laki gemini itu. “Oci, ini ciloknya.”

“Oh iya, thanks, Ca.”

Jun mengamati para anak-anak itu. “Kayaknya asik, kita gak mau join apa?”

“Ngaco, yang ada mereka belum ngalas udah lo habisin,” balas Momo. Julid pada Jun seperti biasanya.

“Aku salah apa, ya, Kak Momo?” Balasan dari Jun itu membuat Momo memutar bola matanya malas.

“Udah, jangan berantem,” ucap Jeje menengahi ketika Momo baru membuka mulutnya.

Perempuan itu mengeluarkan kantong plastik hitam berisi enam botol air putih untuk mereka membatalkan puasa nanti. “Nanti pada minum ini dulu, ya. Terus habis itu makan risolnya yang udah gue pisahin, ada di dalem.”

Semuanya mengangguk dan secara nyaris bersamaan mereka berkata, “Siap, Mami.”

“Aduh, tumben sekali Nak Momo ... biasanya ibunya,” ucap seseorang yang menghampiri mereka.

Momo hanya tertawa canggung lalu menyerahkan satu kotak berisi risol juga piscok yang mereka buat dan segelas minuman. “Iya, nih, Pak. Sekalian habis jualan tadi.”

“Semoga laku terus, ya, jualannya. Istri saya pernah beli sekali waktu itu, katanya enak.”

“Aamiin, makasih banyak, Pak.”

“Nanti kalau saya punya info kerjaan, pasti akan saya kasih tahu,” ucap bapak itu.

“Tahu aja, Pak,” balas Caca.

“Minta do'anya, ya, Pak. Semoga kami-kami ini segera dapet panggilan kerja,” sambung Jeje.

“Pasti, pasti akan dido'akan. Kalian ini sudah seperti anak saya. Untuk sekarang, tetap berusaha dan jangan lelah berbuat kebaikan, ya. Kalau kita berbuat baik, pasti balasannya pun akan baik juga. Entah itu kita sadari atau tidak.”

Satu per satu apa yang mereka siapkan diberikan pada orang-orang yang datang ke masjid. Mendekati waktu berbuka, semakin banyak yang datang sekaligus untuk melaksanakan shalat maghrib berjama'ah di sana.

“Saya baru lihat Zidan lagi, loh. Sudah besar rupanya.”

Zidan hanya mengangguk dengan kaku. Senyum yang ia tunjukan pun terpaksa.

Jun merangkul. “Iya, nih, Pak. Emang agak susah diajak keluar, tapi sekarang dia keluar tiap hari buat jualan.”

“Aduh, kalian ini rajin sekali. Semoga jualannya habis terus, ya.”

“Aamiin, minta do'anya juga, ya, Pak. Kami ini pengen cepet dapet panggilan kerja, udah lumayan lama nganggur,” ucap Oci dengan nada bercandanya. Bapak itu tertawa.

“Iya, saya do'akan. Supaya cepat dapat jodoh mau sekalian? Udah pas, loh, kalau kalian mau menikah.”

“Waduh, gak usah repot-repot, Pak. Duit buat ngebiayain diri sendiri aja masih susah,” balas Jun membuat Jeje menyikutnya pelan.

“Jodoh nanti dulu mungkin, ya, Pak. Lagian masih muda kitanya, kerjaan juga bun dapet. Masa tiba-tiba nikah,” sahut Wira diakhiri dengan tawa hambar.

“Loh, bukannya Zidan sama Amora mau menikah? Istri saya dapat kabarnya dari ibu kalian kalau arisan.”

Zidan dan Momo saling berpandangan sebelum sama-sama bergidik ngeri.

“Salah, Pak. Yang mau nikah tuh, ikan saya sama ikannya Zidan,” balas Momo ngawur.

“Udah, Pak. Ayo siap-siap buat shalat,” ajak Oci mengalihkan pembicaraan. “Sama kalau ada info kerjaan, bisa lah, ya, Pak.”

“Bisa apa, toh, Sa? Saya udah pensiun gini.”

“Ya siapa tahu, Pak. Hahaha.”

“Kamu ini, Sa. Ada-ada aja.”

Suara nyanyian Jun dan Momo mendomanisasi mobil itu. Lagu 'Seberapa Pantas' milik Sheila ON7 terdengar samar, teredam oleh suara mereka berdua. Jeje dan Caca bergabung di bagian reff saja, sedangkan Wira sesekali menjentikkan jarinya mengikuti irama. Zidan sudah memasang earphone-nya, melanjutkan tontonannya walau tak benar-benar bisa fokus.

Sesuai kata Wira, perjalanan mereka menuju tempat Helia agak terhambat karena macet. Oci yang biasa mengendarai mobil agak ngebut pun, sekarang mau tak mau harus santai. Sebisa mungkin harus santai karena yang duduk di sebelahnya Caca.

Sebenarnya Oci biasa saja, tapi semenjak Caca ngacangin dia, Oci jadi canggung.

“Bentar lagi ada masjid, Ci,” ucap Wira di sela nyanyian mereka. Ia memang bertugas memberi tahu arah pada Oci, walau laki-laki itu sudah tahu jalannya, tapi tidak dengan tempatnya.

Wira duduk di antara Zidan dan Jun, mereka duduk di tengah. Sedangkan Jeje dan Momo ada di bangku paling belakang. Mereka kalah suit.

“Oke,” jawab Oci singkat dan memilih untuk lebih fokus ke jalanan. Takut masjidnya kelewatan.

Selepas mereka beribadah dan ikut membatalkan puasa di sana, mereka akan meneruskan perjalanan.


Gedung itu sudah cukup ramai. Sesuai dugaan, ini menjadi reuni berkedok pernikahan. Sedari tadi, sudah banyak yang menyapa mereka.

Belum apa-apa, mata Momo sudah mengamati satu per satu makanan yang tersedia di sana. “Gila ... makanannya gak pelit,” komentar Momo.

“Nanti dulu lah, Mo. Salaman dulu sama pengantennya,” ucap Jun seraya menarik belakang baju Momo seperti kucing.

“Ih, lepasin!”

Zidan berjalan memimpin mereka, dia memang paling tidak betah ada di keramaian begini. Bawaannya ingin cepat pulang, tapi sayangnya yang lain bukan tipe yang susah bergaul.

“Yang, pelanan dikit. Buru-buru amat,” ucap Oci sambil menyamakan langkahnya dengan Zidan. Yang lain, spontan juga mengikutinya.

“Jangan lama, deh. Ini rame banget,” ucap Zidan dan yang lain mengangguk paham.

“Ya udah, ayo sapa dulu pengantinnya, makan, terus kita pulang, deh,” balas Caca.

Ini yang membuat Zidan tak merasa kewalahan berteman dengan mereka. Meski semuanya pandai bergaul di dunia nyata, tapi tak ada yang pernah benar-benar memaksa Zidan agar sama seperti mereka.

“Aduh, udah nikah aja ini bocil satu.” Itu adalah kalimat yang pertama keluar dari mulut Jun ketika mereka sudah berhadapan dengan pengantinnya.

Caca langsung memeluk Helia setelah tersenyum pada suami perempuan itu. “Selamat, yaaa, semoga langgeng dan bahagia selalu.”

Momo dan Jeje melakukan hal yang sama setelah Caca, juga dengan ucapan yang menurut Jun khas perempuan banget.

“Yang bener, ya, Mas, jagain istrinya,” ucap Oci sok akrab. Padahal dia sudah melupakan nama orang yang dia ajak bicara barusan.

“Siap, pasti dijagain. Ini yang temen kecilnya Helia itu, ya?” balasnya.

“Iya nih, Mas. Dulu dia paling bawel,” sahut Jun.

Helia menatap teman masa kecilnya itu satu per satu. “Kalian ini disuruh bawa plus one malah bawa satu kampung.”

“Kata Jun, kita 6+1,” balas Wira dengan tanpa ekspresi membuat Helia juga suaminya tertawa. Jun yang namanya disebut mau tak mau ikut tertawa.

“Buset, awet bener kalian bareng-bareng,” ucap Helia. Dia agak tidak menyangka kalau mereka akan datang dengan seperti ini.

Oci merangkul Zidan yang ada di sebelahnya. Kemudian mengukir senyuman bangga. “Lah, kita pas di perut aja udah main gaple bareng.”

Semua menatap aneh pada Oci, tapi itu bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan karena keluar dari mulut laki-laki itu.

Mengikuti permainan, Momo langsung bertanya, “Siapa yang menang?”

Oci menoleh pada perempuan itu. “Yang lahir duluan.”

Semua langsung tertawa mendengar itu. Entah dari mana lucunya.

“Ngaco anjir,” ucap Zidan sambil menyikut Oci pelan.

Jun tertawa paling keras, tapi dia tiba-tiba berhenti. Jarinya menunjuk pada diri sendiri. “Lah, gue dong?”

“Iya, lo juaranya dah, Jun,” sahut Jeje seraya menepuk pundak laki-laki itu seakan ia bangga.

Jun membusungkan dadanya kemudian malah berjalan bolak-balik di hadapan mereka sembari berkata, “Permisi, pemenang mau lewat.”

Dia baru berhenti setelah Momo mencubit perutnya lumayan keras.

“Aduh, KDRT mulu!” protesnya.

Helia menggelengkan kepalanya, ternyata mereka belum banyak berubah. Sekali lagi ia menatap satu per satu wajah teman lamanya kemudian berhenti pada Wira yang berdiri berdampingan dengan Jeje.

Wira mengangkat kedua alisnya, bingung karena Helia tiba-tiba menatapnya dengan alis yang naik turun. Helia tersenyum remeh.

“Tapi beneran, nih, kalian semua masih friends aja? Belum ada yang lebih dari itu satu pun?”

Wira melotot mendengar itu, baru sadar dengan maksud Helia. Yang ditatap hanya mengendikkan bahunya tak acuh.

“Udah naik tingkat, kok,” jawab Jeje membuat suasana terkesan berbeda. Wira menatap Jeje was-was, tapi juga tidak sabar.

“Sekarang kita semua best friends,” sambung Jeje lengkap dneban ibu jari juga cengiran khasnya.

Helia menatap Wira sembari menahan tawanya. Laki-laki itu hanya mendengus sebelum menoleh ke arah lain. Malas.

“Aduh, gue kira lo bakal jawab ada yang jadi bedug,” ucap Jun membuat Oci menginjak kakinya.

“Banyak omong!”

“Jangan diinjek juga dong, anjir!”

Helia lagi-lagi menggelengkan kepalanya maklum. “Aduh, ternyata belum ada juga yang maju. Ya udah kalian silakan dinikmati makanannya, ya. Tamunya masih banyak, nih. Gue belum bisa ngobrol lama-lama.”

Mereka mengangguk paham. “Sekali lagi, happy wedding, ya, Helia!”

Mereka menjauh dari pengantin. “Ya udah mencar dulu aja, nanti kita kumpul lagi. Makan yang kenyang lo semua,” ucap Oci.

Oci memisahkan dirinya tanpa menunggu jawaban. Sedari tadi sudah ada yang dia incar.

“Ayo, Ca, mau bareng gak?” ajak Momo, tapi Caca malah menunjukkan wajah ragunya.

“Eh ... aku mau ke toilet dulu. Duluan aja, ya, Mo,” balas Caca. Mereka semua menatap menyelidik karena setelahnya, Caca malah mengejar Oci.

Momo menunjukkan raut bingungnya. “Lah, toiletnya si Oci?”

“Mau bahas yang kemarin kali, biarin aja, deh. Ayo kita ambil bakso aja, Mo,” ucap Jun sembari menarik tangan Momo tanpa permisi. Namun, kali ini perempuan itu tidak protes karena Momo juga menginginkannya.

“Mau ke mana, Je?” tanya Wira pada perempuan berambut sebahu di sebelahnya.

“Gue mau nasi aja,” jawab Jeje dan berjalan ke tempat yang dia inginkan. Wira mengikutinya setelah itu. Menyisakan Zidan yang tetap diam di sana.

Zidan menghembuskan napasnya kasar. Kepalanya menunduk, menatap kakinya yang menendang angin.

“6+1 apanya ... ini mah 6-1.”

Selalu saja seperti ini.

Zidan selalu menjadi pihak yang dilupakan. Di saat yang lain mencicipi hidangan yang tersedia di sana, Zidan malah melangkahkan kakinya keluar dari gedung itu.

Mereka bertujuh sama-sama belum dapat kerja. Jadi, walau terlihat ogah-ogahan, ide Jun untuk berjualan ini tetap mereka jalani.

Mereka berkumpul lagi di depan rumah Momo. Mulai menyiapkan apa yang akan mereka jual.

Jeje sudah mulai menggoreng beberapa risol juga piscok yang mereka buat tadi siang, sementara kebab akan dibuat secara dadakan. Jun sedang merapikan bahan-bahan kebab, Momo menyiapkan untuk minuman, Wira membantu Jun, dan Zidan sedang memindahkan es.

Lagi-lagi tanpa Oci dan Caca. Dua orang itu walau belum kerja, jarang sekali ada di rumah. Dulu sama-sama aktif, jadi pertemanan mereka terhitung luas.

“Oci beneran gak ikut?” tanya Jeje di sela keheningan mereka.

“Tadi waktu ke rumahnya, dia udah pergi,” jawab Wira.

“Lah, terus itu uang siapa?” sahut Jun.

Wira menoleh pada Jun. “Mamanya. Katanya nanti dia bakal minta ganti ke Oci.”

“Nanti pas tarawih gue bilang ke dia,” ucap Zidan. “Kalau udah balik itu juga.”

“Udah, sekarang kita fokus dulu aja,” sahut Momo dan diangguki oleh yang lain.

Jun tiba-tiba menarik mereka agar melingkar. Dengan nada ceria ia berkata, “Biar semangat, nanti pas gue bilang 'Jajanan ceria', lo semua bales pake, 'Semoga berkah!', ya!”

Zidan langsung menunjukkan wajah tidak relanya. “Ogah!”

Jun tentu mengabaikan hal itu. Ia mengulurkan tangannya dan yang lain ikut menaruh tangan mereka di atas milik Jun. Zidan memutar bola matanya malas, tapi tetap ikut menaruh tangannya di paling atas.

“Jajanan ceria?!”

“Semoga berkah!” balas mereka secara bersamaan. Kecuali Zidan yang terlihat malas-malasan.

“Semoga hari ini dagangannya abis!”


Semangat yang ada di antara mereka berlima perlahan luntur setelah 30 menit mereka lewatkan tanpa satupun pembeli. Wira menoleh ke kiri dan ke kanan, hari ini tampak lebih sepi dari biasanya.

“Kayaknya kita kepagian, deh,” ucap Wira.

“Gak, deh. Yang di depan aja biasanya jam segini udah rame,” jawab Momo setelah melihat jam yang ada di ponselnya.

“Orang-orang udah pada ke depan kali,” sahut Zidan dengan nada cueknya.

Momo melihat pada laki-laki itu. “Tapi, kan, mereka lewat sini dulu harusnya.”

Jun yang tadi paling semangat, sekarang belum banyak bicara. Sudah lemas duluan membayangkan dirinya tidak jadi diundang oleh Mata Najwa.

Padahal belum 1 jam...

Matanya berbinar ketika melihat sosok yang dikenalnya mendekat ke arah mereka.

“Teteh! Mau beli?” sapanya langsung pada kakak perempuan Oci itu.

“Iya, nih. Kata Harsa beli takjil di sini aja.”

“Pilihan yang tepat. Mau beli apa aja, Teh?” sahut Momo.

“Piscok aja 5, ya.”

Jeje—selaku yang sedang memegang bagian itu tanpa basa-basi langsung membungkus sesuai yang dipesan. Perempuan itu menyerahkannya pada yang lebih tua. “Ini, ya, Teh. Makasih banyak.”

“Jadinya 10 ribu, ya?”

“Iya, bayarnya ke Zidan, Teh,” balas Wira sembari menunjuk Zidan yang tak kunjung bersuara.

“Loh, Zidan ikutan. Si Harsa malah kelayapan.” Zidan tak membalas, ia hanya menerima uangnya dan lanjut diam.

“Dia ke mana, sih, Teh? Kalau Caca, 'kan, udah banyak janji,” tanya Jun.

Perempuan itu mengangkat bahunya tak acuh. “Dia lagi ikut kegiatan apa gitu, gak terlalu ngerti juga teteh. Udah dulu, ya. Teteh mau pulang.”

“Makasih, Teh! Hati-hati di jalan!”

Jun tersenyum lebar. “Penglaris, habis ini banyak yang beli!” ucapnya penuh percaya diri.

Namun, ucapan hanya sekedar harapan. Butuh waktu cukup lama untuk pembeli berikutnya datang. Itu pun, Lagi-lagi anggota keluarga mereka.

Dimulai dari adik Wira, ibu Zidan, kakak Jeje, ibu Jun hingga ayah Caca yang baru pulang kerja. Mereka membeli dalam jarak cukup lama dan itu pun tidak lebih dari 10 ribu.

Mungkin mereka hanya ingin mendukung bisnis anggota keluarga mereka. Namun, kenapa seperti janjian, ya?

“Kebanyakan kita bikinnya,” ucap Jeje dengan lesu melihat piscok juga risol yang belum digoreng tersisa cukup banyak.

“Baru hari pertama,” balas Wira berusaha menenangkan. “Rezeki gak akan ke mana.”

Jun tiba-tiba mengubah posisinya menjadi jongkok. Raut wajah kecewa terlukis dengan cukup jelas. “Lagian, tumben banget gak pada lewat sini? Giliran ada yang lewat juga cuek aja. Kayaknya kita gak kelihatan sama mereka.”

“Baru hari pertama—”

“Iya, tahu, Wir. Gue lagi menerima realita yang tak seindah ekspetasi.”

“Ya udah lah, lumayan ada yang beli,” ujar Momo sembali melihat pada tempat uang yang ada di tangan Zidan.

“Dikit lagi 100 ribu,” balas Zidan, ikut melihat pada tumpukan uang berwarna ungu itu.

“Anak-anak, gimana jualannya?”

Suara ibu Momo itu membuat mereka kompak menoleh ke asal suara.

“Masih nyisa banyak, nih, Mah,” balas Momo langsung.

“Aduh,” katanya sembari mendekat untuk melihat berapa banyak yang tersisa.

“Ya udah, sisanya tante aja yang beli, ya.”

Mereka kompak membulatkan mata. Pasalnya bukan hanya satu atau dua yang tersisa.

“Beneran, Tante? Banyak, loh, itu. Momo mana bisa ngabisin,” tanya Zidan memastikan. Momo mendengar itu cuma bisa melotot pada Zidan.

“Iya, buat takjil di masjid sebagiannya.”

“Alhamdulillah, Ya Allah ... makasih, ya, Tante!” balas Jun seraya menyalimi tangan ibunya Momo. Yang lain juga mengikutinya setelah itu.

Ibu Momo tertawa, merasa terhibur. “Kalian ini.”

“Saya gorengin dulu, ya, Tante,” ucap Jeje.

Kemudian, mereka kembali sibuk.

Walaupun bisa, Soonyoung memutuskan untuk tidak mencari Sana dengan cara biasanya. Laki-laki itu membiarkan yang lebih muda untuk menyepi.

Pikirannya dialihkan dengan pekerjaan juga setiap cerita yang teman-temannya bagikan. Cerita yang membuat Soonyoung kadang tersenyum, kadang juga meringis.

“Aku habis bantu pacarnya Jen lamar dia. Mereka seneng banget tadi. Ikut seneng jadinya.”

“Cuy, Juju ngasih lampu hijau. Minta do'anya supaya cepet, jadi gue gak kepikiran buat nyantet.”

“Gue berhasil ketemu dia. Posisinya kejepit banget, untung tadi ketemu.”

Soonyoung mematikan ponselnya, berniat untuk membaca obrolan grup mereka nanti saja. Laki-laki itu melirik ke arah jam, sudah waktunya makan siang. Ia sudah meminta izin untuk bekerja setengah hari.

Belum sempat bangkit dari duduknya, pintu ruangan itu sudah terbuka. Menampillan asistennya yang semula sudah izin untuk istirahat di luar.

“Kok balik lagi?”

“Oh, siapa?”

“Nona Sana.”

Soonyoung terdiam mendengar nama itu. Ia bangkit dari duduknya. Kabar tentang mereka berdua mungkin sudah tersebar di perusahaan masing-masing. Makanya, asistennya rela kembali hanya untuk menyampaikan kabar ini.

“Ada di mana?”

“Masih di lobi, Tuan.”

“Ya udah, saya aja yang ke sana. Saya hari ini masuk setengah hari. Nanti tetap kabari saya, ya.”

“Siap, Tuan.”

Soonyoung merapikan jas yang ia kenakan. Setelah itu baru ia menutup pintu ruangannya. Sekarang, ia langsung menuju ke tempat Sana berada tanpa basa-basi.

“Sana,” panggil Soonyoung setelah sampai.

Interaksi keduanya tentu mendapat perhatian dari orang-orang yang ada di sana. Secara diam-diam mereka akan melirik dan baik Soonyoung atau Sana menyadari hal itu.

Mereka berdua saling melempar tatapan, seolah berkomunikasi dengan cara itu. Soonyoung mengukir senyuman tipis sebelum menawarkan tangannya untuk digenggam.

Mengerti maksud Soonyoung, Sana menerima tawaran itu. Selanjutnya, Soonyoung memimpin langkah keduanya menuju tempat parkir.

Tautan tangan keduanya terlepas ketika Soonyoung membukakan pintu mobilnya untuk Sana. “Gak bawa kendaraan, 'kan?”

Sana menggeleng. “Gue dianter Kak Ian.”

“Gue anter pulang dulu, ya? Nanti malam gue ke apart lo. Sekarang gue ada urusan.”

Sana mengernyit mendengar itu. Jelas, ia gak menyukai keputusan Soonyoung.

“Kerjaan?”

Soonyoung menggeleng. “Gue udah janji sama anak-anak.”

“Anak-anak?”

“Di panti.”

Sana terdiam mendengar itu. Soonyoung masih menunggunya untuk masuk ke dalam.

“Kalau gue ikut, boleh?”

Kedua alis Soonyoung terangkat. “Mau?”

“Mau.”

“Boleh,” balas Soonyoung disertai senyuman. “Silakan masuk kalau gitu.”

Sana menurut memasuki mobil itu. Soonyoung menyusul setelahnya.

Laki-laki kelahiran Juni itu menyalakan mesin mobilnya. “Lo udah makan?”

“Belum, gue sengaja datang jam segini supaya bisa ngajak lo ngobrol. Soalnya, ini jam makan siang,” jawab Sana tanpa menatap pada lawan bicaranya.

“Kalau gitu kita makan dulu, setelah itu beli makanan buat anak-anak. Lo mau makan apa?”

“Apa aja.”

“Pasta?”

“Boleh.”

Soonyoung tak membalas lagi. Ia mulai melajukan mobilnya menuju restoran yang biasa ia kunjungi untuk menikmati hidangan itu.

Tak ada obrolan yang terjadi selama perjalanan mereka menuju restoran itu. Perbincangan baru terjadi lagi setelah keduanya duduk di dalamnya.

“Lo mau apa?” tanya Soonyoung sembari mendekatkan buku menunya pada Sana.

“Carbonara,” jawab Sana tanpa berpikir.

Soonyoung mengangguk. Ia kemudian melirik pada pelayannya dan menyebut ulang menu yang Sana sebutkan barusan beserta Aglio e Olio untuknya.

Setelah pelayan itu pergi, mereka berdua kembali dilanda keheningan.

“Soonyoung, lo sadar gue ngilang?” tanya Sana dan Soonyoung hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Lo nyariin?”

“Awalnya gue mau nyari. Tapi keburu di-chat sama kakak lo yang nyuruh gue untuk gak khawatir karena lo emang butuh waktu.”

Sana memandang Soonyoung penuh keraguan. “Emang lo khawatir?”

“Banget,” ucap Soonyoung. “Walau gimana pun, gue bakal tetap jadi salah satu yang jaga lo, Sha.”

Senyum terukir di wajah Soonyoung. “Seperti yang udah lo lakuin buat Ochi.”


Perjalanan menuju ke panti yang biasa Soonyoung kunjungi cukup lama. Sana yang baru sampai hari ini pun tanpa disadari tertidur selama perjalanan dan Soonyoung membiarkannya.

“Sha, udah nyampe,” balas Soonyoung sembari mengguncang pelan bahu Sana. Perempuan itu bangun tak lama kemudian dan tampak kebingungan.

So-sorry.

“Gak papa. Capek banget, ya? Lo bisa nemuin gue kapan aja, kita masih punya banyak waktu.”

Tangan Sana mengepal mendengar itu. Ia dengan cepat menahan lengan Soonyoung yang hendak keluar. Soonyoung menatap Sana lekat sebelum mengangguk tanpa alasan.

“Mau bicara sekarang?” tebak laki-laki itu.

“Iya. Kita ini udah kelamaan, Soonyoung. Gue yang kabur kemarin juga udah berapa lama dan lo bilang kita masih punya banyak waktu?” Sana mengucapkan itu dengan menggebu-gebu.

Soonyoung menghela napasnya. Pada kenyataannya, mereka memang masih memiliki banyak waktu. Perjodohannya bahkan belum dibicarakan lagi oleh kedua keluarga mereka. Namun, ia tak ingin membuat emosi Sana semakin memuncak.

“Lo maunya gimana, Sha?” tanya Soonyoung membuat kening Sana mengernyit seketika.

“Lo yang maunya apa, Soonyoung?! Lo bilang mau batalin perjodohan kita dan sekarang bersikap seakan gue yang mau?”

Soonyoung menggeleng. “Lo udah tahu mau gue apa, tapi gue gak tahu mau lo apa, Sha. Kalau kemauan kita gak sejalan, kita bisa buat jadi sejalan. Lo cuma perlu ngomong lo maunya gimana.”

Sana terdiam mendengar itu. Genggamannya pada lengan Soonyoung terlepas.

“Lo kenapa mau batalin perjodohannya?”

“Kayak yang gue bilang waktu itu, Sha. Lo orang baik dan gue gak merasa keluarga gue pantas buat dapatin lo,” jawab Soonyoung dengan tetap menatap pada Sana.

“Lupain soal keluarga lo. Di sini cuma kita berdua. Di hubungan ini, ujungnya cuma ada kita berdua,” balas Sana dengan nada tegas.

Soonyoung menatap perempuan itu. Ia sudah bisa menangkap bagaimana hasil dari kaburnya Sana kemarin.

“Sana,” panggil Soonyoung menggantung, “you want me to fight for us?

Mata Sana membulat mendengar balasan yang Soonyoung berikan. Ia sedikit tak menyangka kalau Soonyoung akan langsung menembak seperti itu.

Sana yang tampak gugup padahal semula berapi-api membuat Soonyoung yakin kalau tebakannya benar. Laki-laki itu meraih tangan Sana untuk ia genggam.

“Bukan cuma lo yang kepikiran selama lo kabur kemarin, Sha, tapi gue juga. Adek gue berulang kali nyuruh gue berpikir. Katanya, gak mungkin mereka mengundang lo untuk masuk tanpa memperlakukan lo dengan baik.”

Sana mengerjapkan matanya bingung. “Mereka?”

“Orang tua gue. Mereka gak mungkin jodohin kita kalau gak berkomitmen tentang bagaimana mereka akan memperlakukan lo nantinya. Gue juga sempat bicara dan mereka gak akan paksa lo untuk gabung ke perusahaan.”

Soonyoung menepuk punggung tangan Sana pelan. “Jawab pertanyaan gue tadi. You want me to fight for us?

“Tapi lo maunya perjodohan ini batal ....” jawab Sana dengan lirih.

“Tapi gue gak berusaha supaya perjodohannya batal. Mungkin terdengar labil, tapi kalau itu yang lo mau. Gue bakal lakuin.”

Soonyoung menunduk, menatap pada tautan tangan keduanya. “Semenjak lo rawat Ochi, gue udah berjanji ke diri sendiri untuk jadi penjaga lo kalau gue udah sembuh.”

Sana ikut menatap apa yang sedang dipandangi oleh Soonyoung. Perempuan itu kemudian menggelengkan kepalanya. “Tapi gue gak mau lo lakuin ini untuk balas budi karena gue udah ngerawat Ochi.”

“Balas budi gue adalah dengan jaga lo,” ucap Soonyoung tenang. “Untuk menjalin hubungan sama lo, itu beda lagi. Gue bakal hadir sebagai Soonyoung bukan Ochi.”

Soonyoung menatap Sana dengan senyuman yang merekah. “Jadi, gimana? Mau coba kenalan dulu sama Soonyoung atau langsung jadi pacarnya Soonyoung?”

Di antara banyak kemungkinan yang terjadi. Eunha tidak menyangka Jihoon akan menjadi orang yang mengantarnya untuk bertemu orang tuanya setelah sekian lama.

Laki-laki itu datang tanpa kendaraan apa pun, menunggu Eunha di depan minimarket. Ia sengaja karena Eunha menginginkan mereka menggunakan kendaraan umum.

Jihoon menatap pada yang lebih muda. “Lo mau beli sesuatu dulu di sini?”

Eunha menggeleng. “Gue gak berencana beli apa-apa.”

Jihoon mengangkat sebelas alisnya, menatap Eunha dengan heran. “Beli dulu lah. Roti atau apa gitu. Udah lama gak ke sana, kan, lo.”

Eunha terdiam, mempertimbangkan. Ia kemudian menghela napasnya karena tatapan yang Jihoon berikan seakan mendesaknya untuk menurut.

“Ya udah, beli di toko Tzuyu aja. Nanti gue tunjukkin.”

“Deket?”

Eunha hanya mengangguk sebagai balasan.

“Ya udah kita ke sana dulu baru pesen gocar.”

Mereka berdua berjalan beriringan menuju toko Tzuyu. Tak banyak yang mereka katakan karena sama-sama merasa canggung.

“Lo udah izin sama cewek lo?” tanya Eunha. Ia sebenarnya sedikit menyesali karena mengajak Jihoon tanpa berpikir panjang. Ini karena dirinya panik setelah mendapat mimpi buruk.

“Belum ketemu,” ucap Jihoon. “Gue gak tahu dia ada di mana sekarang. Udah nanya ke yang lain juga gak ada yang tahu kontak barunya.”

Eunha menghela napasnya. Mungkin, Jihoon juga butuh melakukan sesuatu agar masih bisa waras. Dulu dirinya yang menghilang karena berubah menjadi Uji, sekarang kekasihnya. Mereka berdua mengalami hal yang sama.

“Gue cuma berharap dia baik-baik aja.”

Eunha terdiam dan menghela napasnya. “Semoga dia baik-baik aja.”

Jihoon tersenyum tipis dan mengangguk. Meski laki-laki itu tak sekspresif Uji, tapi Eunha masih bisa menangkap kalau Jihoon menaruh harapan terhadap apa yang ia katakan barusan.

Setelah memberi bolu gulung dari toko tempat Tzuyu bekerja. Mereka berdua lekas menuju stasiun. Selama perjalanan, tak banyak hal yang mereka perbincangkan.

Kedua duduk bersebelahan dengan nyaman. Menuju ke rumah Eunha tak membutuhkan waktu yang sangat lama.

“Habis ini naik apa?” tanya Jihoon setelah ia membeli minum selepas mereka turun dari kereta.

Eunha tak langsung membalas. Perempuan itu malah mengeluarkan ponselnya dan berkata, “Kita mesen lagi aja.”

“Ya udah ayo tunggu di depan, sambil beli sesuatu buat ganjel perut,” ucap Jihoon dan Eunha menurut.

Perempuan itu mengikuti langkah Jihoon dengan mata yang masih fokus pada ponselnya. Hingga bahunya menabrak bahu orang lain cukup keras.

“Yang benar kalau jalan! Jangan main ponsel segala! Ini tempat ramai, dicopet baru tahu rasa!”

Pandangan Eunha menajam pada orang yang baru saja membentak padanya. Mungkin Eunha akan membalas dengan cara yang sama kalau saja Jihoon tak menariknya dan menciptakan jarak antara mereka berdua.

“Gak usah dibales,” bisik Jihoon.

Laki-laki itu memandang canggung pada orang tadi. “Maaf, ya, Pak. Silakan lanjutkan kembali perjalanannya. Sekali lagi kami minta maaf.”

Orang itu hanya berdecih dan berjalan melalui mereka berdua. Jika ini ada dalam komik, mungkin sudah ada perempatan yang tercipta di pelipis Eunha.

Jihoon menarik tangan Eunha, memaksanya untuk terus berjalan. Itu lebih baik daripada tercipta pertengkaran antara Eunha dengan orang asing tadi.

“Ih, yang gitu tuh gak bisa dibiarin! Dia yang duluan nabrak gue, berarti dia yang buta dong, anjir!” protes Eunha pada Jihoon.

“Lo baru ke sini lagi,” balas Jihoon. “Jangan dulu bikin masalah, Na.”

Eunha mendengus dan menolehkan kepalanya ke arah lain. Malas melihat Jihoon.

“Udah ada yang ambil belum?” tanya Jihoon mengalihkan pembicaraan.

Eunha melihat pada layar ponselnya, lalu mengangguk. “Ada, 7 menit lagi.”

Jihoon melihat pada sekitarnya. “Gue mau jajan dulu.”

Karena merasa asing, Eunha mau tak mau mengikuti laki-laki itu. Jihoon melihat pada Eunha ketika kakinya sudah berhenti di depan sebuah penjual.

“Lo mau beli?”

Eunha menggeleng. “Gak perlu.”

Jihoon tak membalas lagi. Namun, ia tetap memesan sebanyak dua buah. Eunha pikir, Jihoon memang membutuhkan lebih banyak.

Dugaannya itu luntur seketika saat Jihoon menyerahkan salah satunya pada Eunha. Eunha menatap Jihoon dengan heran.

“Ini gue yang traktir. Tolong diterima, ya,” ucap Jihoon menyadari maksud dari tatapan yang Eunha berikan.

Eunha menghela napasnya dan menerima makanan itu. Mereka berdua kembali ke tempat semula, menunggu mobil yang mereka pesan datang.

Setelah menghabiskan setengah, Eunha menatap pada Jihoon. Laki-laki itu tampil dengan topi dan jaket kebesaran. Eunha cukup yakin kalau Jihoon sudah mencari tahu tentang keluarganya, makanya laki-laki itu menawarkan diri.

Eunha tak ingin membahas hal itu.

“Ji,” panggil Eunha. Jihoon langsung menoleh dengan mulut yang penuh. Jadi, laki-laki itu hanya membalas dengan gumaman tak jelas.

Kalau boleh jujur, Eunha merasa asing jika berhadapan dengan Jihoon. Ia dan Uji seperti bukan orang yang sama baginya.

“Kenapa, Na?” tanya Jihoon karena Eunha tak kunjung berbicara lagi.

Eunha menarik napasnya dalam-dalam. “Gue tahu lo nawarin diri karena pengen balas semua yang gue kasih ke Uji. Sebenarnya gue gak masalah, lo ganti gelas juga bukan hal yang gue perlukan.”

Jihoon masih memandangnya dan Eunha memberanikan diri untuk membalas. “Habis ini, gak usah lagi, ya. Kalau mau kita temenan aja seakan gak punya hutang buat satu sama lain. Gue udah merasa cukup dengan apa yang lo kasih.”

Cukup lama, tak ada tanggapan dari yang lebih tua. Jihoon mengukir senyuman tipis dan mengangguk. “Okay.”

Eunha membalas senyuman itu. Ia merasa lebih lega sekarang.

“Selama jadi Uji, gue tahu gue ini nyebelin. Tapi lo tetap rawat dan jaga gue. Untuk itu, gue minta maaf dan berterima kasih banyak,” sambung Jihoon diakhiri dengan senyuman yang semakin lebar menghiasi wajahnya.

“Sama-sama.”

Mereka berdua saling melempar tawa. Keduanya sibuk menghabiskan makananereka sembari menunggu mobil yang dipesan datang. Sesekali akan ada komentar yang keluar dari mulut keduanya soal bagaimana seseorang yang lewat berkendara.

Mobilnya datang dan Eunha masuk duluan. Baru Jihoon akan masuk, ada seseorang yang memanggilnya dengan nada bertanya. Memastikan apa itu benar-benar dirinya atau bukan.

“Kak Jihoon?”

Eunha mengamati bagaimana mata Jihoon berbinar kalau melihat sosok yang memanggilnya barusan. Terlihat jelas kalau Jihoon merindukannya.

Eunha mendorong Jihoon pelan dan laki-laki itu menatapnya bimbang.

“Gue tadi bilang udah cukup, 'kan? Sekarang, waktunya kita selesain urusan masing-masing.”